Bung Hatta, Baharuddin Lopa dan Perilaku Pejabat kita

 

 

 

 

                             

            Suatu waktu saya menemukan sebuah artikel tentang Bung Hatta dan sepatu merek Bally. Sepatu ini adalah merek sepatu impor dan sangat terkenal ketika itu. Sebagai seorang kutu buku, Bung Hatta melihat iklan sepatu ini di muat di koran yang terlipat di atas meja. Tentu saja dalam kapasitas wakil presiden mudah saja menggunakan sedikit kewenangannya hanya untuk memiliki sepatu itu. Tinggal memesan ke toko dan dipastikan sepatu itu akan datang diantar tanpa perlu membayar. Atau bisa juga dengan menggunakan anggaran RI 02 dan sepatu itu akan segera menutupi kaki Sang Proklamator dalam acara-acara resmi negara. Apa Bung Hatta dapat sepatu itu? Sebuah pertanyaan lebih lanjut.

    Bung Hatta rupanya menunda keinginannnya. Dia melihat tabungannya dan rupanya tidak cukup. Kalau pun cukup selalu ada keluarganya yang datang meminta tolong. Tabungannya juga hanya cukup untuk biaya rumah tangga baik yang rutin maupun yang datang tiba-tiba. Dia lalu melipat iklan itu ke dalam dompetnya. Sampai wafat sepatu itu tak pernah dibelinya. 
    Kisah lain dari seorang pendekar hukum Indonesia, Baharuddin Lopa. Suatu ketika di Makassar beliau ingin membeli mobil setelah melihat isi tabungannya cukup. Lalu dia dan istrinya mengunjungi sebuah show room penjualan mobil dan bertemu dengan direktur utamanya. Sang direktur menunjukkan sebuah mobil mewah diharga kisaran 100 juta. Baharuddin Lopa kaget begitu tahu harga mobil itu. Dia meminta untuk ditunjukkan mobil dengan harga di bawahnya.Sang direktur kembali menunjukkan sebuah mobil dengan harga 60 juta.
“Masih mahal!” Katanya kepada Sang Direktur.
“Ada harga yang 30 juta ya?” Katanya kembali bertanya.
Sang pemilik kembali menunjukkan mobil dengan harga yang diminta Baharuddin Lopa. Sebuah mobil Toyota Kijang. Baharuddin Lopa langsung mengajukan syarat; diberikan potongan diskon, bisa dicicil, dan jangan ditagih. Sang direktur utama langsung setuju. Tak tangung-tanggung, Diskonnya 25 juta rupiah. Jadi sisa 5 juta rupiah. Baharuddin Lopa menolak mentah-mentah.
“ Jangan begitu, itu tidak wajar.”
“Saya Direktur Utama, jadi bebas mau berapa harga saya pasang untuk Bapak!”
Baharuddin Lopa tetap ngotot tidak mau. Akhirnya disepakati harga mobil 25 juta rupiah dan dicicil. 3 tahun 4 bulan Baharuddin Lopa tiap bulan bertemu dengan Dirut untuk mengangsur cicilannya. Dirut itu Pak Jusuf Kalla. 
    Saya mengajak pembaca untuk bercermin pada kondisi kekinian. Sering kita temukan para pejabat tampil diacara-acara resmi dengan aksesoris impor; Tas merek Luis Vuitton seri tas selempang harganya 51 juta rupiah. Ada juga yang memakai sepatu dengan merek yang sama harganya 14,8 juta. Belum lagi deretan merek jam tangan seperti Richard Mille, Roger Dubuis dan Rolex, yang akrab dipergelangan tangan para pesohor negara. Harganya mulai dari puluhan, ratusan bahkan hingga miliaran rupiah. Kalau tidak percaya coba berselancar di internet. Anda akan disuguhi lebih banyak lagi para pesohor yang aksesorisnya begitu wah.
Selera dalam berkendaraan juga begitu. Mobil-mobil plat merah pejabat negara yang berseliweran di jalan-jalan umum juga begitu. Mulai dari Presiden Soeharto sampai Pak Jokowi hampir semuanya menggunakan kendaraan dengan merek tekenal. Tengok saja harga mobil Volvo seri 264 GL dan telah dipakai sejak tahun 1978. Harganya 400 juta rupiah. Toyota Camry juga menjadi pilihan negara untuk memanjakan para menteri dalam berkendara. Harga mobil ini menembus angka 425 juta rupiah. Apa masih ada mobil di atas merek ini? Masih ada Fortuner seharga 500 juta, Toyota Alphard sampai 1, 8 milyar, Toyota Crown 1,8 milyar, Land Cruiser 2, 2 milyar, Mercedes Bens 3,4 milyar-4,6 Milyar. Hal yang agak menggelitik karena tak ada lagi pemisah yang jelas mana urusan negara dan mana urusan pribadi. Agak ironi memang. Hanya segelintir pejabat yang meniru perilaku Baharuddin Lopa yang menyuruh anak dan istrinya pakai kendaraan umum untuk urusan pribadi dan mobil dinas tetap di garasi. Hanya sedikit pejabat negeri ini yang merendahkan selera berkendaraan dengan membeli mobil pribadi yang harganya di bawah 250 juta dan bolak-balik ke show room mobil untuk mencicil mobilnya setiap bulan. Yang agak lucu memang, berapa gaji dan tunjangan pejabat negara sampai bisa membeli mobil-mobil pribadi yang berkelas itu? Ah, tentang ini jelas tabel gaji pejabat negara itu berseliweran di internet. Silakan hitung-hitung sendiri.
    Bagi saya, tak banyak menteri, anggota DPR, Gubernur dan Bupati di negeri ini yang memendam seleranya untuk mengikuti Bung Hatta yang meyimpan saja iklan sepatu Bally karena uangnya tidak cukup. Hal yang lazim malah sebaliknya, sering kita temukan pejabat yang menggunakan kewenangannya dalam memiliki sesuatu dengan cara salah. Menilep uang di luar gaji dan tunjangannya. Menggunakan amanah kekuasaan untuk menekan pihak lain. Mungkin ini yang sama kita pahami sebagai Korupsi.
Ah, terngiang kata-kata ibuku yang telah berpulang,” Tatapanmu lurus saja. Jangan tengok kiri-kanan, apalagi mendongak.” Sekali waktu ketika saya meminjam selembar baju dan saya mutar-mutar di depan cermin dengan baju itu, “Tidak cocok, Nak..Baju itu kebesaran untuk badanmu yang kecil.” Wallahu Alam.


 
 
 
 
x

Posting Komentar untuk "Bung Hatta, Baharuddin Lopa dan Perilaku Pejabat kita"