Harapan Guru dalam Keterbatasan


 Sumber: idntimes.com

Sepagi ini saya sudah berjalan menyusuri koridor yang menghubungkan kelas demi kelas tempat  mengajar. Sementara di depan sudah lebih dahulu Pak Yogi memasuki kelas. Dia seorang guru muda  yang mengampu mapel bahasa Inggris. Sosoknya ramah dan disukai siswa. Hal itu saya tahu karena sepanjang jalan dia disapa oleh banyak siswa yang berpapasan dengannya.  Orangnya juga energik dan aktif di setiap kegiatan sekolah. Dalam beberapa kali diskusi pengetahuannya juga luas, nyambung dengan topik-topik hangat di media.

Sosok Pak Yogi sama sekali tak mewakili keadaan para guru honorer yang mengabdi belasan sampai puluhan tahun di negeri ini. Meskipun pemerintah sudah memberikan kue kebijakan semisal pengangkatan guru dengan kontrak atau yang lebih dikenal dengan ASN PPPK yang dibagi lagi penuh waktu dan paruh waktu,  tunjangan sertifikasi untuk yang sudah PPG. Tetapi ini hanya berupa terapi yang belum menyentuh persoalan yang selama ini dialami oleh para guru honorer.

Di Sukabumi ada Empan Supandi (51), seorang guru honorer di MTs Thoriqul Hidayah  pergi mengajar menempuh jarak 12 kilometer dengan berjalan kaki untuk mendidik anak-anak Desa Bojong Tikar. Dia diajak oleh temannya di tahun 2011. Awalnya menolak karena belum pernah kuliah. Tapi atas motivasi temannya bahwa sambil ngajar bisa kuliah. Begitulah, mimpi kuliah tetap ada tapi belum juga bisa terwujud.

"Jangankan buat kuliah, kebutuhan sehari-hari saja morat-marit." Begitu jawabannya ketika ditanya oleh detikJabar, Jumat (17/1/2025).Setiap pagi Empan Supandi  berjalan kaki selama tiga jam ke sekolah. Jalan berbatu dan licin kala hujan tak menyurutkan semangatnya untuk mengajar. Gaji mengajarnya hanya dua ratus ribu sebulan. Untuk menutupi itu kadang nyambi berjualan sayuran.

Dari Desa Wulai, Kecamatan Bambanglamotu, Kabupaten pasangkayu, Sulawesi Barat juga memiliki kondisi yang sama. Untuk sampai ke sekolah di SMPN 7 Bambanglamotu harus menempuh medan ekstem. Guru dan siswa harus menyebrangi  sungai dengan arus deras karena tak ada jembatan penghubung yang memadai.

“Sudah lebih enam tahun sungai ini satu-satunya akses yang harus kami lewati setiap hari oleh  guru dan siswa untuk bisa sampai ke SD dan SMPN 7 Watubete. Bila hujan deras dan arus sungai sampai dada mereka di bantu warga di sini untuk menyeberang.” Ujar Wahyuni, salah satu guru SMPN t Watunabe.

Kisah-kisah di atas setidaknya menggambarkan tantangan guru yang masih bergelut dengan lilitan persoalan yang membelit setiap hari. Fakta masalah  seputar  gaji sebagai honorer yang kalah jauh dengan kuli bangunan yang pulang ke rumah dengan membawa upah seratus ribu,  kalau dihitung sebulan bisa sampai tiga juta rupiah. Padahal kompetensi guru jauh lebih di atas dengan keterampilan mengaduk semen dan memasang batu bata itu.

Di luar fakta kesejahteraan yang minim, masalah yang muncul seperti akses ke sekolah yang buruk. Jalanan yang berkerikil, di balik gunung, menembus alur sungai, buku yang kurang. Hal-hal ini semakin menambah daftar  panjang pekerjaan rumah pemerintah di masa mendatang.

Tapi apapun itu, problem guru yang mendera setiap pagi seperti video klip yang diputar setiap waktu nyatanya tak mampu meruntuhkan semangat, keberanian, dan keikhlasan para guru untuk terus menjadi cahaya dalam gelap, suluh menuju  terang, dan meretas kehidupan siswa agar lebih baik ke depan. Mereka menyadari bahwa pintu kesejahteraan, perang kebodohan, dan negara hanya dapat dibangun dari generasi yang berilmu, beradab, dan bertanggung jawab. Satu harapan masih membulat dalam niat guru, terutama para guru honorer. Negara semakin tegak meruntuhkan aral yang mendera guru selama ini, terutama kesejahteraan dan pemenuhan sarana pendidikan di seluruh pelosok negeri. Semoga. 



Posting Komentar untuk "Harapan Guru dalam Keterbatasan"