Semoga Lekas Sembuh

  •  Semoga Lekas Sembuh
  • Oleh : Iqrimah Nur Auliah 
  • (Siswi Kelas XII IPA 1 SMAN 1 Pamboang)
                                                                                                     Foto: Masykur Syair Collection
        Kudekap jaket kecilku yang hangat, mencoba meredakan dingin yang cukup menusuk dan menggelitik kakiku. Kuperhatikan keadaan  sekitar untuk mencari solusi, dan ternyata pendingin mobil sudah menyala sedari tadi.  Aku pun mengurungkan niat untuk menghilangkan rasa dingin ini. Tapi yang membuat malam ini lebih dingin adalah suasananya. Benar-benar tak ada hal yang bisa diobrolkan. Hanya suara kecil musik dan bunyi deruman mobil yang bisa sedikit mencairkan ketegangan. Sungguh malam biasa yang dingin.
        Kualihkan pandanganku ke luar jendela mobil. Hanya langit gelap dan beberapa bintang  yang menyembul di balik awan. Aku mengalihkan   perhatianku pada untaian kabel listrik yang terbentang di sepanjang perjalanan. Sungguh pemandangan yang membosankan di malam yang benar-benar biasa. Tak lama, kualihkan kembali mataku pada apa yang dipantulkan jendela. Aku hanya  mendapati  gadis kecil bodoh yang terlihat baru berumur 5 tahun sedang terbaring lemah dan kesakitan di kursi keras itu sambil meneteskan air mata, seolah-olah mengasihani dirinya yang sedang tak berdaya menjalani cobaan Tuhan.
Ah, kali ini jam berapa ya? Aku pun menguatkan diriku bertanya pada Mama, mencoba untuk melirik tempatnya duduk saat ini.
“Maa...hahhh...jam...hhahh..berapa?” Tanyaku dengan terbata-bata.
"Jam 2. Yang sabar ya, Nak.  Kita sudah dekat." Jawabnya sambil menampakkan rupanya dan melihatku dengan ratapan sedih.
        Dengan refleks, tubuhku bak menyuruhku untuk mengejapkan mata, seakan tak sanggup menatap ratapan sendu penuh risau yang diperlihatkan Mama padaku.  Setelah termenung beberapa saat, aku pun mencoba untuk tidur. Katanya, tidur itu solusi untuk semua masalah kan? Mungkin saja bisa menjadi solusi untuk masalahku juga. Akhirnya, kupejamkan mataku, berharap sesak yang aku rasakan bisa sedikit hilang walaupun hanya sekejap.
        Di dalam kegelapan itu, tak jarang terbesit cahaya menyilaukan yang ternyata berasal dari lampu jalan yang terbias melewati jendela mobil di depanku. Uh, benar-benar mengganggu. Aku kan jadi tidak bisa tidur! Pada akhirnya, aku pun membuang niatku untuk tidur.
        Selama cekcok dengan diriku sendiri, tak terasa perjalananku hampir mencapai ujungnya. Jalanan mulai terasa menanjak, dan tentu saja Ayah dengan segera mengover  gigi persnelingnya. Mengagumkan! Tak pernah sekalipun aku tak tercengang setiap melihat kecepatan tangannya melakukan itu! BRUUUMM!! Mobil pun berderum kencang, berusaha melewati tanjakan sepanjang 100 meter yang kemiringannya cukup menantang itu. Tak lama kemudian, Ayah akhirnya memarkirkan mobilnya saat jalan kembali lurus.
        Hai penjaranya orang-orang sakit! Aku kembali lagi. Seperti biasa, aku datang menyerahkan diriku yang tak berguna ini. Tentu tak lupa dengan membawa asma yang menyakitkan ini. Hmmmm, setelah kupikirkan, sepertinya kita sudah sering bertemu sejak umurku baru 1,2 tahun kan? Sudah banyak kenangan yang kita buat bersama. Tapi ayolah, apa kau tak bosan bertemu denganku? Kau bahkan tak membiarkanku menikmati kasur empukku yang ada di rumah dulu! Dasar jahat! Hmmmp... Bibirku gemetar hebat dalam diam dan air mataku tak mau berhenti meskipun sudah kuusap berkali-kali. Aku marah pada tubuhku yang tidak berdaya menghadapi penyakitku.
        Ketika kudengar suara pintu mobil yang ada di kepalaku terbuka, aku pun mengikuti iramanya, berusaha sekuat tenaga membangunkan diriku yang terbaring lemas. Ayah yang tampak sedikit lelah pun menggendongku keluar dari mobil, mendekapku dengan lembut. Saat kusenderkan kepalaku di pundak Ayah, kutemukan juga punggung Mama yang kuat dan seakan memberitahuku bagaimana usahanya untuk menyembuhkan penyakitku selama ini. Sepertinya Mama sedang mengumpulkan beberapa barang yang ada di sela-sela kursi mobil tempatku tadi berbaring.
        Ayah akhirnya melangkahkan kakinya pada anak tangga yang akan membawaku ke UGD. Kueratkan pelukanku, bersiap untuk memasuki ruangan yang ada di depanku. Seketika pintu terbuka, bau khas rumah sakit yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata langsung menyerangku. Perawat yang berjaga ikut bangkit dari tempat duduknya, menuntun ayah untuk menidurkanku di salah satu brankar dorong yang berjejer rapi, sepaket dengan tiang infusnya.
        Perawat memberikan pertolongan pertama padaku dengan memakaikanku oksigen. Meskipun sudah mengalaminya berkali-kali, tetap saja aku tak pernah terbiasa setiap selang oksigen memasuki lubang hidungku, rasanya sangat-sangat menggelikan. Tapi, aku tak akan pernah mengelak kalau  tabung oksigen ini telah menyelamatkan hidupku berkali-kali.
        Sambil diikuti Ayah dan mama, brankarku didorong oleh perawat tadi, keluar dari ruangan sebelumnya. Lampu neon yang berjejer di sepanjang jalan yang cukup menyilaukan mata itu sepertinya tak akan pernah berhenti menggangguku. Suara brankar yang kutiduri juga seakan tidak ingin ketinggalan untuk ikut mengiringi kesunyian malam ini.
        Aku pun tiba di sebuah ruangan bercat merah muda, tak jauh dari UGD. Stiker lucu bergambar kartun yang memenuhi ruangan ini sungguh unik hingga aku tak bisa melepaskannya dari perhatianku. Kulihat perawat lain yang mulai berdatangan mendekatiku, bersiap untuk melakukan tugasnya. Ayah pun ikut membantu, kebetulan dia juga seorang perawat yang sudah cukup ahli.
        Ayah mencoba memegang pergelangan tanganku sambil memutar-mutarnya, lalu memukul-mukul punggung tanganku dengan jari telunjuknya. Insting dan pengalamannya sebagai mantan perawat  akhirnya mampu menemukan pembuluh darah yang cocok untuk ditusukkan jarum.  Perawat yang lain pun mencoba menusukkannya di tempat yang ditunjukkan Ayah, sembari kucoba menahan rasa sakitnya. Tentu saja infusnya tak langsung bekerja, mungkin karena aku sedang dehidrasi. Pada percobaan yang ketiga, akhirnya infus berhasil terpasang berkat usaha semuanya. Sungguh menyesakkan!
        Akhirnya, aku dibawa ke ruangan kecil membosankan bercat hijau itu. Tempat bagai penjara yang sudah sering kulihat. Tentu saja tidak lain adalah tempatku  menghabiskan waktu. Penjara berkedok ruang perawatan anak. Hari-hari seperti ini sudah biasa bagiku, dan akan terus berulang hingga waktu yang tak kuketahui. Semoga lekas sembuh, diriku...

 

 

Posting Komentar untuk "Semoga Lekas Sembuh"