Hari-Hari di Pesantren

 Cerpen    

                                                        Hari-Hari di Pesantren

  • Oleh: Ainun Reskia Syam
  •  (Siswi Kelas XII IPA 1 SMAN 1 Pamboang)
                                                                                                       Gambar: https://pixabay.com/id/

Aku pernah mendengar kisah mengharukan saat seorang gadis belia tidak bisa tidur berhari-hari dan enggan menyentuh sesuap nasi lantaran sedih ditinggal pergi sang belahan hati. Itulah Bella Swan, wanita melankonis dalam sekuel film Twilligh, New Moon. Ada juga kisah lain tentang  seekor anak ayam yang kebingungan dan terlunta-lunta  karena ditinggal induknya mencari makan.  Setidaknya gambaran semacam itulah yang paling pas untuk suasana hatiku saat pertama kali menginjakkan kaki di sebuah tempat yang kemudian hari aku kenal dengan nama Pondok Pesantren.

Maka tidak heran jika sebagian orang menempelkan kalimat “Penjara Suci” untuk sebutan lembaga pendidikan yang didesain berkamar-kamar hampir mirip sel tahanan ini. Lebih-lebih bagi santri baru yang sebelumnya belum pernah merasakan tinggal jauh dari orang tua.

Itu  Aku 6 tahun yang lalu, tepatnya pada saat   pertama kali mengenal Pondok Pesantren yang bernuansa putih biru itu dan menghabiskan hari-hariku dalam lingkaran baru yang sama sekali asing bagiku. Hari itu seluruh siswa baru ditempatkan pada satu asrama yang sama di Asrama Salmiah. Deretan lemari berwarna biru dalam asrama tersebut, tumpukan kasur baru yang sedikit berserakan, suara riuh santriwati baru yang gaduh. Ketawa, menangis, lari-larian.  Ada juga dan  beberapa yang meronta-ronta meminta pulang kembali bersama ibunya. Aku hanya duduk   memperhatikan mereka satu-persatu, rasanya ingin menangis dan ikut meronta-ronta meminta pulang seperti beberapa orang yang ada di sana. Tapi aku sadar, aku datang dari sebuah kota kecil  yang jauh di utara, dan bayaran untuk masuk ke pondok pesantren inipun tidak sedikit. Aku tidak mau membuat orang tuaku sedih.

Awalnya, aku sendiri merasa "musykil" dengan keputusan Ayah mengirimku  ke pondok pesantren.  Ketika banyak dari temanku melanjutkan studi ke sekolah-sekolah negeri yang begengsi, sementara aku harus berpisah dengan mereka dan lebih memilih dunia baru dengan teman-teman baru yang asing bagiku.

Yang aku ingat ketika itu, beliau hanya berkata “Kami menyekolahkanmu jauh dari kami bukan karna kami tidak saying, Nak. Tapi justru kami sayang sekali sama kamu makanya kami menyekolahkanmu di sana.” Spontan aku terdiam, hatiku tersentuh dan sejak itu aku mengiyakan untuk disekolahkan di pondok pesantren.

Dan seperti yangi aku kira sebelumnya, sejak masuk pesantren aku tidak lagi bisa bermain-main sebebas waktu di rumah dulu. Semua aktifitas dibatasi dengan jadwal-jadwal yang telah ditetapkan oleh pengurus. Jika dulu setiap hari aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di kamar bermain handphone, saat di pondok jangankan main handphone mendengarkan radio atau membawa barang-barang elektronik saja sudah merupakan pelanggaran tak termaafkan. Ada hal  paling membuatku tidak nyaman ketika itu, jelang mau tidur malam,  tiba-tiba rasanya semua memori selama di rumah mendadak berputar kembali. Kehangatan bersama ibu dan ayah, asiknya bermain bareng teman-teman, sampai perkelahian kecil yang sering aku lakukan bersama adik di rumah seperti terlihat jelas sedang direplay dari layar proyektor dan memantul di dinding asramaku. Duh!

Jika sudah begitu, biasanya tak lama lagi buliran-buliran air mata mengalir menganak sungai dan tanpa sengaja membasahi buntalan sarung yang menjadi bantal tidurku. Ketika hampir mendekati “klimaksnya” mau gak mau aku harus menangis dengan tidak mengeluarkan suara karena malu dan takut jika ada yang mendengarnya. Begitulah setiap hari sampai akhirnya aku gak pernah lagi melakukannya lantaran suatu saat pernah dipergoki teman samping lemariku. Aku terpaksa harus berpura-pura tidur walau dia sudah berusaha mengajakku bicara dan menanyakan aku kenapa.

Sejak saat itu, aku menjadi akrab dengan teman samping lemariku itu. Namanya Nurfadilla Jafar,  akrab dipanggil dengan sebutan Dilla. Dia anak yang periang, murah senyum, suka melawak dan sangat baik kepadaku. Dia  pendengar yang baik,  siap menampung ceritaku ketika rindu dengan suasana rumah. Rumahnya dekat dari pondok pesantren makanya tak heran jika dia bisa dibesuk hampir setiap hari, tak jarang pula dia mengajakku makan bersama dengan orang tuanya ketika dia dibesuk. Seperti yang aku bilang sebelumnya, dia adalah orang yang sangat baik.

Hari demi hari temanku semakin banyak, perasaanku sudah menjadi sedikit nyaman dan lambat laun Aku bisa melupakan ketergantunganku dengan rumah. Aku menjalani hari-hariku di pondok pesantren dengan hati yang ikhlas dan gembira, walau kadang ada beberapa masalah kecil yang aku lalui seperti berselisih dengan temanku yang lain maka aku akan bangun sholat malam agar bisa curhat sama Sang Pencipta. Insya Allah tidak lama kemudian masalah tersebut bisa aku selesaikan dengan baik.

Sekarang, walaupun aku  hanya 3 tahun di pondok dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas di sekolah negeri tetapi aku merasakan bahwa di pondok pesantrenlah pembinaan karakter benar-benar dibentuk secara nyata. Pembiasaan hidup mandiri, melatih diri menahan godaan nafsu dan emosi, dan membentuk kepribadian yang istiqomah hampir setiap hari ditekankan, bahkan sejak pertama kali para santri dan santriwati menginjakkan kaki di ‘penjara suci’ ini.

Aku sendiri sempat berpikir, bagaimana jadinya kalau dulu aku tidak langsung mondok setelah lulus sekolah dasar. Bisa jadi, aku tidak akan punya bekal untuk kehidupanku selanjutnya dan gak bakalan mau dan memberontak karena sudah kadung nyaman menikmati asyiknya pergaulan remaja dengan segala kenakalannya seperti sekarang ini.

Dari sini, aku bisa merasakan masa-masa pahit harus berpisah dari orang tua di usia yang masih belia. Dari pengalaman ini,  saat giliran adikku harus mengikuti jejak kakaknya masuk ke pondok pesantren , Aku bisa menularkan pengalamanku, dan menyampaikan pesan kepada mereka untuk mencari teman yang baik, setidaknya agar adikku tidak takut bersekolah di pondok pesantren.

 

 

 

Posting Komentar untuk "Hari-Hari di Pesantren"