Cerpen
Hari-Hari di Pesantren
- Oleh: Ainun Reskia Syam
- (Siswi Kelas XII IPA 1 SMAN 1 Pamboang)
Aku pernah mendengar kisah
mengharukan saat seorang gadis belia tidak bisa tidur berhari-hari dan enggan
menyentuh sesuap nasi lantaran sedih ditinggal pergi sang belahan hati. Itulah
Bella Swan, wanita melankonis dalam sekuel film Twilligh, New Moon. Ada juga
kisah lain tentang seekor anak ayam yang
kebingungan dan terlunta-lunta karena
ditinggal induknya mencari makan. Setidaknya gambaran semacam itulah yang paling
pas untuk suasana hatiku saat pertama kali menginjakkan kaki di sebuah tempat
yang kemudian hari aku kenal dengan nama Pondok Pesantren.
Maka tidak heran jika sebagian
orang menempelkan kalimat “Penjara Suci” untuk sebutan lembaga pendidikan yang
didesain berkamar-kamar hampir mirip sel tahanan ini. Lebih-lebih bagi santri
baru yang sebelumnya belum pernah merasakan tinggal jauh dari orang tua.
Itu Aku 6 tahun yang lalu, tepatnya pada saat pertama
kali mengenal Pondok Pesantren yang bernuansa putih biru itu dan menghabiskan
hari-hariku dalam lingkaran baru yang sama sekali asing bagiku. Hari itu
seluruh siswa baru ditempatkan pada satu asrama yang sama di Asrama Salmiah. Deretan
lemari berwarna biru dalam asrama tersebut, tumpukan kasur baru yang sedikit
berserakan, suara riuh santriwati baru yang gaduh. Ketawa, menangis,
lari-larian. Ada juga dan beberapa yang meronta-ronta meminta pulang
kembali bersama ibunya. Aku hanya duduk memperhatikan mereka satu-persatu, rasanya
ingin menangis dan ikut meronta-ronta meminta pulang seperti beberapa orang
yang ada di sana. Tapi aku sadar, aku datang dari sebuah kota kecil yang jauh di utara, dan bayaran untuk masuk ke
pondok pesantren inipun tidak sedikit. Aku tidak mau membuat orang tuaku sedih.
Awalnya, aku sendiri merasa
"musykil" dengan keputusan Ayah mengirimku ke pondok pesantren. Ketika banyak dari temanku melanjutkan studi
ke sekolah-sekolah negeri yang begengsi, sementara aku harus berpisah dengan
mereka dan lebih memilih dunia baru dengan teman-teman baru yang asing bagiku.
Yang aku ingat ketika itu, beliau
hanya berkata “Kami menyekolahkanmu jauh dari kami bukan karna kami tidak saying,
Nak. Tapi justru kami sayang sekali sama kamu makanya kami menyekolahkanmu di sana.”
Spontan aku terdiam, hatiku tersentuh dan sejak itu aku mengiyakan untuk
disekolahkan di pondok pesantren.
Dan seperti yangi aku kira
sebelumnya, sejak masuk pesantren aku tidak lagi bisa bermain-main sebebas
waktu di rumah dulu. Semua aktifitas dibatasi dengan jadwal-jadwal yang telah ditetapkan
oleh pengurus. Jika dulu setiap hari aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di kamar
bermain handphone, saat di pondok jangankan main handphone mendengarkan
radio atau membawa barang-barang elektronik saja sudah merupakan pelanggaran
tak termaafkan. Ada hal paling membuatku
tidak nyaman ketika itu, jelang mau tidur malam, tiba-tiba rasanya semua memori selama di rumah
mendadak berputar kembali. Kehangatan bersama ibu dan ayah, asiknya bermain
bareng teman-teman, sampai perkelahian kecil yang sering aku lakukan bersama
adik di rumah seperti terlihat jelas sedang direplay dari layar proyektor
dan memantul di dinding asramaku. Duh!
Jika sudah begitu, biasanya tak
lama lagi buliran-buliran air mata mengalir menganak sungai dan tanpa sengaja membasahi
buntalan sarung yang menjadi bantal tidurku. Ketika hampir mendekati “klimaksnya”
mau gak mau aku harus menangis dengan tidak mengeluarkan suara karena malu dan
takut jika ada yang mendengarnya. Begitulah setiap hari sampai akhirnya aku gak
pernah lagi melakukannya lantaran suatu saat pernah dipergoki teman samping
lemariku. Aku terpaksa harus berpura-pura tidur walau dia sudah berusaha
mengajakku bicara dan menanyakan aku kenapa.
Sejak saat itu, aku menjadi akrab
dengan teman samping lemariku itu. Namanya Nurfadilla Jafar, akrab dipanggil dengan sebutan Dilla. Dia anak
yang periang, murah senyum, suka melawak dan sangat baik kepadaku. Dia pendengar yang baik, siap menampung ceritaku ketika rindu dengan
suasana rumah. Rumahnya dekat dari pondok pesantren makanya tak heran jika dia
bisa dibesuk hampir setiap hari, tak jarang pula dia mengajakku makan bersama
dengan orang tuanya ketika dia dibesuk. Seperti yang aku bilang sebelumnya, dia
adalah orang yang sangat baik.
Hari demi hari temanku semakin
banyak, perasaanku sudah menjadi sedikit nyaman dan lambat laun Aku bisa
melupakan ketergantunganku dengan rumah. Aku menjalani hari-hariku di pondok
pesantren dengan hati yang ikhlas dan gembira, walau kadang ada beberapa
masalah kecil yang aku lalui seperti berselisih dengan temanku yang lain maka
aku akan bangun sholat malam agar bisa curhat sama Sang Pencipta. Insya Allah
tidak lama kemudian masalah tersebut bisa aku selesaikan dengan baik.
Sekarang, walaupun aku hanya 3 tahun di pondok dan melanjutkan
Sekolah Menengah Atas di sekolah negeri tetapi aku merasakan bahwa di pondok
pesantrenlah pembinaan karakter benar-benar dibentuk secara nyata. Pembiasaan
hidup mandiri, melatih diri menahan godaan nafsu dan emosi, dan membentuk
kepribadian yang istiqomah hampir setiap hari ditekankan, bahkan sejak pertama
kali para santri dan santriwati menginjakkan kaki di ‘penjara suci’ ini.
Aku sendiri sempat berpikir,
bagaimana jadinya kalau dulu aku tidak langsung mondok setelah lulus sekolah
dasar. Bisa jadi, aku tidak akan punya bekal untuk kehidupanku selanjutnya dan
gak bakalan mau dan memberontak karena sudah kadung nyaman menikmati asyiknya
pergaulan remaja dengan segala kenakalannya seperti sekarang ini.
Dari sini, aku bisa merasakan
masa-masa pahit harus berpisah dari orang tua di usia yang masih belia. Dari pengalaman
ini, saat giliran adikku harus mengikuti
jejak kakaknya masuk ke pondok pesantren , Aku bisa menularkan pengalamanku,
dan menyampaikan pesan kepada mereka untuk mencari teman yang baik, setidaknya
agar adikku tidak takut bersekolah di pondok pesantren.
Posting Komentar untuk "Hari-Hari di Pesantren"