Rein


                                                                                Sumber : fixabay.com
    Demi cinta kita dulu di sini, meniti hari meyusur waktu dan menganulir semua jadwal yang sudah  tersusun dan runut kujalani setiap waktu. Segalanya bias tatkala atas nama perasaan  yang kulabuhkan pada dermaga  yang kuyakini taka akan goyah oleh ombak, tak akan bergeser  hanya karena badai bahkan oleh tsunami sekalipun. Semuanya kita  jalani  seperti alunan melodi yang mengalun merdu dan melenakan. Kita berdua menghabiskan waktu di sini, menatap senja  yang sebentar lagi terbenam  dalam pelukan malam sembari memandang jauh  burung-burung camar yang kembali ke peraduan  setelah lelah seharian mengais makanan pada bentang cakrawala. Di pantai Taraujung yang eksotis, Aku mengambil duduk  persis dua tahun silam ketika kita bersepakat  memilih tempat ini yang tidak terlalu ramai. Aku hanya ingin duduk di sini. Melepas kejenuhan  dari rutinitas kuliah yang mulai membosankan. Membuat makalah, menjelajah buku-buku sumber, membikin slide, mengutip pendapat ahli, terus memaparkan di depan dosen. Walau untuk yang terakhir ini aku berjuang melawan  grogi yang datang begitu saja.

    Aku memilih agak jauh dari para pengunjung cafee  yang datang berkelompok dan duduk santai sambil meneguk minuman di depannya. Beberapa lelaki mengepulkan asap rokok dari bibirnya yang coklat. Aku melihat tak ada informasi apapun kalau di tempat ini di larang merokok. Mungkin ini tips pemiliknya untuk menyenangkan pelanggan.

    Aku refleks meninggikan  rok tatkala ombak terasa menjilat-jilati sampai mata kaki. Setiap sapuan ombak  yang menerpa mampu menghadirkan ketenangan di hatiku. Mataku terpejam  ketika buih putih itu merayapi batu-batu karang dan terakhir menyentuh  kakiku yang sekian waktu lelah menapak anak tangga dan menyusur aspal jalanan dari dan ke kampus. Mataku  sejenak melebarkan pandang pada kapal nelayan  yang balik dari tengah laut. Beberapa lepa-lepa masih setia menari di atas ombak. Para nelayan masih bertahan di sana. Mungkin hasil tangkapannya belum mampu jadi penebus beras dua liter,kopi, dan sekilo gula  untuk sajian  pada sebuah senja yang temaram. Entahlah, tiba-tiba melintas begitu saja sketsa masa lalu tentangmu.

“Rein, Aku mau kuliah di Yogya, memilih jurusan Akuntansi. Aku ingin nantinya bekerja di perusahaan yang besar sebagai akuntan, atau paling tidak jadi PNS di bagian keuangan. Bagaimana menurutmu? Jauh ya?” Bola matamu meraba ekspresi yang semburat di wajahku setelahnya. Aku agak lama terdiam.

“Aku akan datang  di setiap liburan semester. Kita akan selalu ke sini. Akan kuceritakan banyak hal tentang negeri orang. Percayalah!”

“Tak ada yang jauh untuk hati yang menyatu dan tak ada yang dekat untuk hati yang mendua.” Kalimat itu meluncur begitu saja tanpa mampu kutahan lagi.  Erik menjajar langkahku menyusuri bebatuan  yang masih berkilau diterpa matahari senja sembari menggamit lenganku. Aku mengartikannya sebagai penegasan kalimat yang terucap sebelumnya. Matahari semakin meredup tapi masih berusaha bertahan menyisakan  lembayung yang masih nampak.

    Sejak kepergian Erik praktis aku kehilangan. Tak lagi kutemukan senyumnya yang simetris dengan gigi putih yang tersusun rapi sambil membentang koran Kompas yang  memuat tulisan-tulisannya. Tak ada lagi temanku berdiskusi tentang apa saja, meski biasanya dia bertahan untuk sekedar memanas-manasi atau menguji pertahanan argumentasiku. Jujur, ada kerinduan yang meletup-letup datang tak sengaja tatkala letih fisik dan jiwa mendera. Dia memang rajin menelepon seperti janjinya sebelum pergi  tapi  tetap saja terasa hambar tanpa membaca ekspresi dari sebuah pertemuan.

Jemariku masih menari di atas tombol keyboard laptop. Sekilas kulirik jarum jam  yang menggantung di dinding. 24.15.

“Makalah ini belum juga beres. Besok sudah harus  di meja Pak Indra  sebelum pukul sembilan.

“Sudah larut, berikan hak tubuhmu untuk istirahat!” Sebuah pesan BBM masuk.

“Makasih, Sayang. Ini agak tanggung. Lima belas menit lagi selesai.” Aku membalas pesan itu.

    Erik meskipun jauh di Yogya tapi selalu menanyakan keadaan dan aktivitasku setiap hari. Kadang melalui video call dan  blackberry messanger. Tak pernah lupa dia mengirim foto-foto kegiatannya seperti aktivitas di kampus, perpustakaan, teman-teman cowok maupun ceweknya. Aku pun demikian, rajin memberi  kabar tentang kegiatan-kegiatanku. Tentang dosen yang jarang datang mengajar, tentang  tugas yang bertumpuk-tumpuk, tentang sulitnya mencari buku-buku sumber, termasuk tentang hatiku yang mendamba sebuah pertemuan dengannya.

“Hey, masih sendiri ya? Pasti di sini  hanya untuk memandang bola merah itu lagi? Ayo, ngaku!” Rina tiba-tiba menodongku dengan pertanyaan beruntun.

“Sudahlah, di  kampus juga banyak. Pengen yang mana? Yang putih, sawo matang, hitam, bermotor, bermobil? Tinggal pilih…pasti gak ada yang nolak kalau ceweknya kamu.” Bibir Rina terus  nyerocos tanpa sempat kutanggapi.

“Aku seperti hempasan ombak di batu-batu karang itu yang setia merayapi batu-batu karang. Itu karena aku memegang teguh  janji.” Aku menyela dengan lembut tapi masih jelas untuk jarak tak cukup semeter meski deru ombak di kejauhan masih terdengar. Rina hanya angkat bahu.

“Sudah, minum yuk! Aku yang traktir.” Rina menarik lenganku seiring lembayung senja yang semakin memudar.

  Seorang pelayan  mendekat, menyodorkan menu yang ada. Kami sama-sama pesan jus alpukat plus roti bakar sementara tangan Rina masih sibuk membalas beberapa pesan yang masuk. Aku mencermatinya sekilas sambil memandang  Bangau yang hinggap di atas pohon kelapa. Dari jauh nampak daunnya bergoyang.

“Rein, boleh aku ngomong?” Aku hanya mengangguk.

“Ada cowok yang menjadi pengagum setiamu, dia hadir di antara kebersamaan kita  selama masuk di kampus Unsulbar. Kalau ada tugas kelompok, dia minta  namanya diikutkan bersama namamu. Dia juga masuk Mapala  karena ada kamu. Kalau kamu pulang, dia siapkan helm itu juga untuk kamu.

“Fahry?” Ujarku spontan karena kaget.

“Ya, dia Fahry. Teman kita sejak SMA. Dia tak pernah capek menanyakan tentangmu. Tapi, begitulah orangnya, pendiam, pemalu, dan kurang terbuka. Kamu pasti tahu itu. Sampai sekarang pun masih tetap menikmati kesendiriannya. Menunggumu, entah sampai kapan.

    Bayangan cowok itu begitu jelas bagi Rein. Dia hadir dan bersama mereka hampir di semua kegiatan kampus yang diikutinya. Tentang wataknya persis apa yang  diceritakan Rina.

“Tidak…Aku tak bisa. Sampaikan maafku untuknya!” Aku mengucapkan terima kasih dan menggamit lengan Rina mengajaknya pulang. Jus Alpukat masih tersisa setengahnya dan kutinggalkan begitu saja. Beberapa pengunjung cafee agak kaget dengan langkahku yang tergesa.

“Besok saya pulang ke Mandar, kita ketemu di tempat biasa.” Sebuah pesan inbox kuterima dari Erik. Aku baru ingat kalau ini akhir Juni, liburan semester. Jemariku memencet beberapa huruf membalasnya. Ada degup yang terasa lebih cepat dari biasanya.

    Tak ada yang terlalu berubah dengan tempat ini, masih tetap menawarkan pesona sunset yang  memukau untuk para pengagum keindahan. Hempasan ombak masih tetap setia menjilati batu-batu karang dan berakhir di hamparan pasir putih. Beberapa pengunjung melepas sandal dan sepatu hanya untuk merasakan  sentuhan relaksasi ombak yang menjilati kaki-kaki mereka. Sementara yang lain memegang kamera dan mengabadikan setiap spot  yang berkesan. Para nelayan juga masih tetap menari-nari dengan perahunya, bermain pada arus laut yang kadang ramah kadang tak bersahabat.

    Rein memastikan sosok Erik dari jauh yang turun dari  motor. Pemilik tinggi seratus tujuh puluh senti itu berjalan dalam balutan kaos oblong hitam  khas Yogya, Malioboro. Plus jeans ketat dan sebuah tas kecil yang menggantung di sampingnya.

“ Sorry, aku telat. Tadi ada teman di rumah, baru-baru pulang.” Erik langsung membuka pembicaraan. Mungkin membaca pikiranku yang agak bosan menunggu.

“Yuk, duduk di sana, di sini terlalu ramai.” Rein. Rein sama sekali tak memberi isyarat duduk. Lelaki itu sudah tahu betul di mana posisi yang selama ini mereka pilih. Sebuah tempat duduk agak ke tepi dan diapit dua batu karang. Di tempat ini ombak masih mampu menjilati kaki-kaki mereka yang telanjang. Mereka duduk bersisian dan memandang ke laut lepas. Sekilas Erik melirik Rein sejenak.

“Hey, kulit kamu kok jadi hitam begini, Rein? Kamu pasti sering hiking lagi ya? Mendaki Karampuanna, Latimojong sampai ke Bawakaraeng sana. Sudahlah, Aku tidak larang tapi kalau sudah begini gak baik juga.” Komentar Erik sambil mengelus kulitnya yang memang agak mengelupas. Aku hanya diam dan kembali memandang ke laut lepas. Sepintas masih kelihatan para nelayan mengayuh sampannya mencari spot ikan yang  lebih banyak.

“Itu cara mengusir sepi.” Ujar Rein pelan. Erik tak menjawab lagi. Dia hanya mengelus rambut perempuan itu pelan karena sesungguhnya dia tahu aktivitas itu semata membunuh rindu yang tak berujung dan kerap hadir bersama kejenuhan.

“Aku tinggal setahun di Yogya, setelahnya kembali ke kampung dan merenda masa depan. Kita akan merajut hari esok. Percayalah.” Erik kembali meyakinkan Rein tentang arah hubungannya. Sisa waktu yang ada mereka mampaatkan untuk memupuk kebersamaan seperti dulu. Rein kembali menemukan sesuatu yang telah lama menghilang seperti butir-butir embun yang lembut menyentuh di pagi hari  lalu setelahnya lenyap seiring mentari yang menyembul. Ada rona bahagia yang semburat di wajahnya. Erik telah kembali sibuk dengan kuliahnya di Yogya sementara Rein pun demikian.

Rein masih sibuk dengan tugas-tugas makalahnya yang harus rampung secepatnya. Beberapa kali dia membuka lembar-lembar buku yang berbeda sampul. Kali ini dia mencari beberapa pendapat ahli pendidikan tentang konsep pemerataan pendidikan di internet.

“Akhirnya selesai juga” Ujar Rein dalam hati.  Dia segera beringsut dari duduknya dan meraih kotak kecil yang selalu setia menemaninya.Smartphone.

“Apa kbr sayang? Kangen!” Sebuah pesan singkat ke WA Erik. Rein menunggu tak berkedip berharap ada kata yang sama untuk pesan yang dia kirim. Nihil.

Rein mencoba membuka pertemanan mereka lewat facebook. Tujuh pesan masuk. Dia berharap beberapa pesan dari Erik. Tapi tak  satu pun status untuknya. Semua dari teman-teman kampusnya. Hanya satu yang tersisa.

“Rik, thanks banget say…nemenin aku seharian ini. Beautiful day.” Rein menetralkan perasaannya yang campur aduk. Jarinya menyentuh kronologi  pengirim status itu.  Arfina Susanty, Jurusan Akuntansi Mahasiswa semester 6 UGM, tinggal di Yogya. Rein sudah mulai gemetaran tapi rasa penasaran lebih mendorongnya untuk membuka lebih. Rein kaget, ratusan foto Erik bersama Fina terpajang berdua  dengan fose yang beragam di berbagai tempat eksotis kota Gudeg.  Berdekap di Pentas seni Candi Prambanan, berenang di Pantai Sadeng, melingkar lengan di bahu Fina mengitari Malioboro, Menatap  Telaga Biru Kidul sambil mendekap dari belakang, sampai  menyusuri Puncak Kosakora dengan latar pantai yang  indah di bawahnya. Rein tak mampu lagi menggerakkan jarinya untuk detil melihat satu demi satu. Rein pingsan.

----------------------

Rein kini lebih sibuk dari biasanya, asistensi  ke dosen, ikut seminar, menghandle rapat BEM dan lebih penting skripsi yang harus dirampungkannya. Selama itu pula androidnya off untuk siapapun.

“Rein, sudah seminggu Bapak kirim koreksi proposal penelitianmu. Kok, kamu tidak balas ya?” Pak Candra, dosen pembimbingnya memberondongnya di depan pintu.

“Maaf, Pak….android saya tercecer. Insya Allah nanti saya baca, Pak!” Rein menjawab dengan gugup. Dia tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Rein hanya menatap smartphonenya, terasa kembali ada sesuatu yang menyesakinya.

“Ah, ingin kubuang saja benda ini. “ Ujarnya dalam hati. Benda itu akhirnya diaktifkan juga. Puluhan pesan masuk via bbm, wa, pun fb.

“Rein, smartphonenmu off terus, kamu kenapa? Kamu sakit ya? Kok, tidak balas inboxku?” itu pesan Erik via bbm, wa, fb. Rein hanya mematung, dia menata hatinya, berusaha lebih tenang. Dia sejenak duduk sambil memandang awan-awan hitam yang berarak ke timur. Beberapa kutilang  hinggap di pohon kelapa bersiul parau.

Rein meraih benda itu dan mulai menyentuh beberapa huruf.

“Aku baik dan akan tetap baik-baik saja.”

“Kamu ‘napa, Rein?” Aku  salah ya?”

“Ya, karena ada Afriany Susanti di antara kita yang rapi kamu tutup. Foto-foto itu lebih jujur dari apa yang kamu tunjukkan. Sudahlah, tak ada yang jauh untuk hati yang menyatu dan tak ada yang dekat untuk hati yang mendua. Apalagi jauh untuk mendua.”

Rein sudah ingin mematikan benda itu tapi masih ada koreksi laporannnya dari Pak candra yang belum dibacanya. Tetap saja masih ada pesan masuk.

“Ass..jgn lupa besok pagi rapat.09.00. Nanti saya jemput.” Itu inbox Fakry. Sosok cowok itu kini jadi lebih jelas di matanya. Celoteh Rina tentangnya kini membisik kembali.

“Biarlah nafas waktu yang mengurai, Biarlah hempasan aral mendera setiap langkah. Pada akhirnya restu Ilahi akan mengamini semuanya.” Rein membatin.

 

Majene, 20 Januari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

34 komentar untuk "Rein"

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Menurut saya ketika kita berjanji kita harus menepati janji tersebut, dan jangan mudah mempercayai ucapan seseorang karena sifat manusia dapat berubah sewaktu-waktu.

    BalasHapus
  3. Menurut saya, semua orang bisa berjanji tapi tidak semua orang dapat menepati janji nya dan jangan mudah percaya pada manusia karna sewaktu-waktu manusia dapat berubah sifatnya

    BalasHapus
  4. dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, boleh baik tapi jangan terlalu baik karana itu tidak baik kadang kebaikan bisa disalah gunakan.

    BalasHapus
  5. Nurathifah Ramadani Subhan
    Jangan mudah mempercayai ucapan atau janji seseorang, karena manusia sifatnya dapat berubah.

    BalasHapus
  6. Jangan berjanji kalau tidak ditepati

    BalasHapus
  7. tidak semua perkataan ituu berakhir dengan indah karna terkadang perkataan ituu lebih manis dari ada madu, seperti kata pepatah bahwa sakit gigi itu berawal dari yang manis2

    BalasHapus
  8. dari cerita tersebut saya bisa menarik kesimpulan bahwa masing-masing manusia mempunyai keinginan tersendiri untuk kehidupannya. pada satu sisi, kita harus melanjutkan pendidikan dengan baik, tetapi di sisi lain kita juga harus menepati janji yang telah kita sepakati sebelumnya. jangan pernah memberikan sebuah janji jika tidak mampu untuk menepati. kita juga harus paham bahwa manusia memang memiliki sifat yang mudah berubah seiring berjalannya waktu.

    BalasHapus
  9. Jangan mudah mempercayai seseorang karena tidak semua orang itu sama dan sifat manusia akan berubah-ubah seiring waktu berjalan

    BalasHapus
  10. Menurut saya jangan pernah percaya omongan orng kalau tdk ditepati

    BalasHapus
  11. Jangan terlalu percaya omongan pasanganmu karnah itu bisa menyakiti hati yang begitu sakit

    BalasHapus
  12. Menurut Saya Jangan Terlalu Mempercayai Omongan Seseorang,
    Lebih Baik Kita Terus Memperbaiki Diri Daripada Harus Menunggu Janji Yang Tidak Pasti

    BalasHapus
  13. Dalam suatu hubungan harus dilandasi dengan kepercayaan karena kepercayaan sangat dibutuhkan dalam hubungan kapan kepercayaan itu tidak ada maka hubungan bisa hancur , dan jangan percaya sama janji tanpa adanya bukti karena manusia sifatnya bisa berubah kapan saja

    BalasHapus
  14. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  15. Jangan pernah percaya omongan org sekalipun itu serius jangan pernah berekspektasi lebih padanya sebab manusia adalah makhluk dinamis yg diucapkannya sekarang belum tentu akan sama dikemudian hari ingat berharap kepada manusia sama sajah melangkah menuju kecewa

    BalasHapus
  16. Menurut saya dari cerita di atas jangan terlalu mudah percaya dari omongan seseorang karena orang tersebut bisa saja mengecewakan anda dan fokuslah untuk memperbaiki dirimu sendiri

    BalasHapus
  17. Menurut saya, dari cerita yang telah saya baca, saya bisa menarik kesimpulan bahwa masing-masing manusia mempunyai keinginan tersendiri untuk kehidupannya. pada satu sisi, kita harus melanjutkan pendidikan dengan baik, tetapi di sisi lain kita juga harus menepati janji yang telah kita sepakati sebelumnya. jangan pernah berjanji jika tidak mampu untuk menepati. kita juga harus paham bahwa manusia memang memiliki sifat yang mudah berubah seiring berjalannya waktu.

    BalasHapus
  18. Menurut saya jangan terlalu percaya terhadap perkataan seseorang dan Jangan berharap lebih dari seseorang tersebut, walaupun dia berjanji kata janji itulah akan menjadi kata penenang bagus seseorang yang disakiti, satu kata dari saya selaku pembaca, "KETIKA KEPERCAYAANMU SULIT UNTUK DIDAPATKAN,, TETAPLAH JUJUR DAN KONSISTEN, KESETIAANMU AKAN MEMBUKTIKAN SEGALANYA"

    PAMBOANG, 28 JULI 2023
    ATAS NAMA AHMAD ARSYAD XII 1SEBAGAI PENGOMENTAR

    BalasHapus
  19. dari cerita ini, kita bisa belajar untuk tidak terlalu percaya orang lain sekalipun orang itu berjanji, dan tinggalkan orang yang menyakiti karena orang yang benar-benar cinta tidak akan menyakiti secara intensional.

    BalasHapus
  20. Menurut saya dari cerita diatas bahwa, Manisnya janji jika tidak ditunjukkan lewat perbuatan nyata hanya akan menggoreskan luka di hati, kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu hati di dalam hati dan berjanji tidak akan menghianati.

    BalasHapus
  21. alur ceritanya sangat menarik pak, mengajarkan kita untuk tidak terlalu percaya pada seseorang yang sudah berjanji karena janji itu masih bisa diingkari,janji itu bullshit

    BalasHapus
  22. Nabila Hidayani:Alur cerita ini menceritan tentang kisah cinta yang memiliki janji yang tidak bisa di pegang,janji yang bersifat hanya sebagai penenang namun pada akhirnya menjadi pengingkar

    BalasHapus
  23. Kita tidak boleh mempercayai janji manusia sepenuhnya karena manusia memiliki sifat dan perasaan yang bisa berubah kapan saja. "Don't waste your time on someone who can't take care of his heart for you."

    BalasHapus
  24. MUH.NAZRUL RAMADHAN
    ALUR CERITANYA SANGAT MENARIK MENGAJARKAN KITA UNTUK TIDAK SELALU PERCAYA KEPADA ORANG LAIN

    BalasHapus
  25. Umriah:kesimpulan dari cerita ini tentang seseorang yang mengenang masa lalu sebelum sekarang menempuh hidup masing masing dan melupakan semua kenangan yang berkaitan dengan janji yang tidak dapat ditepati

    BalasHapus
  26. Ahmad Rifat Idham: jangan terlalu percaya pada perkataan atau omongan seseorang, apalagi percaya kepada yang namanya JANJI

    BalasHapus
  27. Nur Aeni :
    Jangan membuat seseorang menunggumu hanya karena ada perjanjian di antara kalian

    BalasHapus
  28. Herdiansyah

    Jangan percaya sama omongan orang krna orng tersebut kapan saja bisa menghianatimu

    BalasHapus
  29. Menurut saya kita tidak bisa memastikan sebuah janji akan terwujud,maka kita berusaha muwujudkan janji yang lebih bernilai dari sebuah janji bukanlah sebuah kata kata tapi sebuah tindakan .

    BalasHapus
  30. Imelda putri

    Jadi dari cerita ini,kita bisa belajar untuk tidak terlalu mudah mempercayai ucapan atau janji seseorang.

    BalasHapus
  31. Pentingny baik menilai seseorang

    BalasHapus
  32. Menurut saya, jangan terlalu percaya pada ucapan dan janji seseorang karena pada akhirnya itu bisa membuatmu patah hati

    BalasHapus
  33. Menurut saya alur ceritanya yang sangat menarik, mengajarkan kita untuk jangan mudah percaya kepada seseorang yang berjanji karna manusia memiliki sifat yang mudah berubah. Manusia biasanya hanya manis diawal dan pahit di akhir, dan mudah berjanji tapi tidak pada pembuktiannya

    BalasHapus