Jejak Tetua dan Amanah Kehidupan

     

                                                                                                Foto: Wahyudi Mubarak
    Saya masih masih duduk menekur ubin lantai sembari bertahlil bersama undangan lainnya. Dari jauh suara  Pak Imam fasih mengucap tahlil diikuti jamaah. Suara itu berirama mendayu dalam ruangan yang sesak dengan  kipas angin yang berputar. Di kolong rumah juga begitu,  halaman sesak oleh warga yang bertahlil sambil menunggu buka puasa bersama. Aroma makanan mengudara menggoda hidung para undangan yang hadir. Ya, ini acara kenduri untuk sepuh  yang berpulang  empat belas hari lalu dalam usia tujuh puluhan  tahun.  

    Mataku kembali mengedar pandang, mengamati satu-persatu orang-orang yang hadir sambil tetap lirih mengikuti imam mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Upss, refleks otakku mengabsen orang-orang yang tak lagi  hadir.  Sudah tak hadir  H. Sudarmi, mantan ketua DPR, tokoh pendidik, tokoh agama, tokoh masyarakat yang biasanya menjadi tempat keluh-kesah warga untuk berbagai urusan. Biasanya beliau duduk di samping Pak Imam baik untuk acara nikah, Maulid, Isra Mikraj, pun acara-acara lainnya. momen seperti itu nyaris tak ada yang terlewatkan kecuali beliau benar-benar berhalangan. Tak ada lagi H. Hamzah, pensiunan guru IPA yang  begitu kharismatik dan selalu dikenang muridnya.  Biasanya  bila hadir seperti ini duduknya di bagian dalam bersisian dengan orang tua lainnya.  Begitu juga tetua lainnya, Pak Rahman, Pak Masud Husain, Pak Masud Abdullah,  Pak Jalil,  Pak Kadir, Pak Nasruddin, Imam Bustan, Imam Abdullah, H.  Pawannari, H. Huduri, dan sederet nama-nama lainnya yang tak mampu tersebut satu demi satu. Yang masih lekat dalam ingatan, Pak Minhaj, imam masjid besar, tokoh pemuda yang aktif dalam kegiatan di kampung maupun level atasnya juga telah berpulang beberapa bulan lalu.

    Tetua itu  di masa hidupnya punya peran masing-masing, besar ataupun kecil, sebutir pasir sekalipun. Lekat dalam ingatan H. Sudarmi dengan nasihat dan kebijaksanaannya memandu acara untuk sebuah urusan warga, seperti pembangunan masjid. nyaris tak ada yang menolak  kecuali bertanya hanya sekadar memperjelas urusan. Masih terngiang dengan jelas para imam, bolak-balik mengurus acara pernikahan dengan segala ritualnya tanpa pernah memandang status sosial, kaya atau miskin, pejabat atau bukan, apatah lagi ningrat atau orang biasa. Belum lagi H. Mas ud Abdullah pencipta lagu  Wattu Timor di Pamboang yang legendaris itu, biasanya sambil duduk di balai-balai, dia akan bercerita lucu sambil menirukan dialek setiap kampung, persis. Warga yang mendengar ceritanya akan tertawa sambil menunggu cerita berikutnya.

    Nyatanya, deret generasi yang mengambil peran-peran kemasyarakatan kini beralih. Anak, ponakan, cucu dalam rumpun keluarga besar di kampung ini meneruskan kebiasaan-kebiasaan baik itu dalam bungkus adat dan budaya. Prosesi  acara nikah seperti meroa (mengundang), meatada' (melamar) mattandajari (peresmian), melattigi (pemberian restu orang terpilih), sampai hari H mulai memadukan peran orang tua dengan generasi di bawahnya. Tak lagi ganjil ketika mendapati generasi muda memadukan jas, kopiah, sarung sa'be berdiri memandu acara, menerima tamu bahkan mulai ikut dalam melamar perempuan  di kampung-kampung lain. Begitupun dalam hal mengurus jenazah, peran-peran anak muda lebih dominan dalam bergotong royong seperti membangun tenda, mengumumkan di masjid, memandikan, mengkafani, sampai penguburan. Orang tua yang masih hidup hanya sebatas memberikan petunjuk sekaligus mewariskan kebiasaan baik itu.

    Ada hal yang agak ironi memang sejauh ini tentang kesiapan kita mengambil peran estafet yang ditinggalkan oleh tetua kita yang kini hanya bisa  'memandang jauh' dari alam kubur. Kadang kita gagap mengambil tugas-tugas yang tiba-tiba harus dijalankan. Menjadi pemandu,  memimpin diskusi, mengatur acara, mengurutkan posisi undangan, bertutur dalam bingkai etika dan adat, bahkan cara duduk pun belum rapi sesuai kebiasaan. Marilah kita cermati ketika pembacaan barzanji untuk maulid misalnya,  imam masih ditemani deretan orang tua yang masih hidup bergiliran membaca kitab petuah itu. Meskipun mereka sama sekali tak pernah menolak, tapi sesungguhnya suara mereka sudah serak dan nafas mulai tersengal-sengal menuntaskan bacaan-bacaan itu. Lalu di mana kita? 

    Kini generasi muda kampung ini berada di arus persimpangan zaman. Di tengah arus perubahan yang begitu cepat dan menyeluruh kita 'dipaksa' tetap teguh merawat  adat kebiasaan para sepuh yang telah pergi. Marilah kita cermati anak-anak kita yang tak bisa lepas dari gawai itu, dari pagi sampai malam, dari bangun sampai tidur lagi. Prestasi di sekolah menurun drastis, mereka datang dengan mulut menguap, mata merah, dan kadang tidur di ruang kelas. Marilah kita telisik lebih jauh tentang anak-anak kita di ujung malam masih berada di bawah temaram lampu jalan dan nyaris tak mengenal orang-orang yang lewat di depannya. Marilah kita renungi tentang perilaku anak-anak kita yang tak lagi mampu membedakan dengan siapa dia berbicara dan posisi mana seharusnya dia bersikap. Jangan-jangan berdiri yang seharusnya duduk dan tidak menyela. Perhatikanlah anak kita yang tumbuh jadi generasi rebahan dan banyak halusinasi tentang masa depan, kontras dengan perilaku yang ditampilkan saat ini. Semoga ini menjadi perenungan dan kegelisahan bersama ke depan terlepas dari norma dan kebiasaan baik yang telah ditunjukkan selama ini. Semoga.

                                                                    Rumah Kata Pamboang, 30 Maret 2023

    

   

    

Posting Komentar untuk "Jejak Tetua dan Amanah Kehidupan"