Seperti biasa Senin, anak-anak tergesa-gesa menuju gerbang sekolah. Pukul 07.15 menit pintu sudah terkunci rapat. Upacara memang setiap setengah delapan. Aturan ini sudah berlaku sejak sekolah ini berdiri lima tahun lalu. Mentari pagi mulai terasa hangat di kulit. siswa kelihatan mulai gelisah, seperti cacing terpanggang matahari. Peluh bercucuran di wajah-wajah belia itu. Ada juga yang dipapah ke kelas, mungkin tidak sarapan dari rumah. Akhirnya kepala sekolah menyampaikan amanatnya.
“Ujian nasional tinggal seminggu lagi, anak-anakku khususnya kelas XII harus mempersiapkan segala hal untuk menghadapi ujian nanti. Ingat, ujian nasional ini akan menentukan perjalanan anak-anakku ke depan. Kami harapkan semua dapat lulus, tentu saja syaratnya adalah banyak belajar………….”. Kalimat –kalimat nasihat terus disampaikan kepala sekolah berkaitan dengan ujian nasional. Intinya, pesan-pesan dalam menghadapi ujian. Upacara usai, anak-anak berhambur ke kelas masing-masing, siap menerima pelajaran. Aku sendiri dengan guru lainnya berjalan menuju kantor sambil bercanda satu sama lain , ada juga yang mengkordinir alat-alat upacara untuk dikembalikan pada tempatnya.
Bel
berdentang satu kali, ganti
pelajaran. Aku siap-siap untuk masuk ke kelas mengajar. Beberapa buku sudah
kukepit di pinggang sementara guru lain
masih sibuk dengan berbagai urusan masing-masing.
Baru saja aku beranjak, Wakasek Humas
tiba-tiba ada di pintu dan membreak kami sejenak.
“Saya
informasikan bahwa kita akan rapat mendadak pada dan dipimpin oleh kepala
sekolah.” Pengumuman itu membuat kami menghentikan aktivitas rutin kami untuk
mengajar.
Dari balik jendela kaca, aku melihat kepsek berjalan ke arah kami. Badannya yang pendek gemuk mengepit buku agenda mengingatkan aku pada dosenku dulu di kampus yang sering diolok-olok oleh teman kuliahku. Warna kulitnya kontras dalam balutan stelan seragam linmas sebagai aparatur Negara. Agak gelap. Kepalanya di suburi rambut bak lidi-lidi yang ditancapkan. Matanya agak sipit meski asli pribumi sementara alisnya hitam lebat mengingatkan aku pada kumpulan awan pekat sebelum hujan ditumpahkan dari langit. Ada juga kumis yang tumbuh tidak subur di atas bibir serta jenggotnya yang lama tak dipangkas pisau cukur. Teman-teman sudah mengambil posisi duduk sesuai kursi masing-masing. Aku sendiri duduk agak di belakang, menyamping pada posisi duduk kepala sekolah yang sudah ada di depan kami. Dia mengedar pandang pada seluruh ruangan, mengamati kursi-kursi yang mungkin masih kosong. Tapi, semua kursi sudah terisi semua. Mungkin karena hari Senin, jadi hadir semua.
“Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh………”kalimat pembukaan rapat lancar disampaikan sebagaimana lazimnya pimpinan rapat. Bisa dimaklumi karena rapat-rapat seperti ini sudah rutin dilaksanakan.
“Bapak-bapak dan ibu sekalian……Bapak mohon maaf karena rapat ini tidak disampaikan sebelumnya sebagaimana biasanya. Berhubung hal ini sangat penting dan bersifat instruksional. Tentu saja Bapak dan Ibu sekalian sudah tahu bahwa ujian nasional tinggal seminggu lagi. Pada tahun ini nilai kelulusan juga naik yakni lima koma lima untuk setiap mata pelajaran dan hanya boleh dua nilai empat lainnya harus enam. Selanjutnya, sesuai dengan hasil kesepakatan rapat di kabupaten bahwa siswa yang ujian adalah “Anak kita Semua”. Saya kira ini kita dapat pahami bersama……”
Teman-teman agak kaget dan saling berpandangan satu sama lain. Mereka sepertinya paham benar apa maksud dan inti penyampaian mahkluk gendut di depan mereka saat ini. Mereka akan siap-siap memberi kunci jawaban untuk semua siswa yang ujian. Mereka tahu kalau ujian tahun kemarin akan kembali mereka lakoni. Mereka mengerti kalo idealisme pendidikan untuk mutu generasi harus dikesampingkan demi citra sekolah, dinas kabupaten dan pemerintah daerah. Aku acungkan tangan dan beranjak meninggalkan ruangan. Aku tak bisa konsentrasi lagi untuk topic berikutnya. Yang pasti, membicarakan strategi curang membantu siswa di ujian nanti. Aku kembali ke ruang sebelah cek roster pelajaran berikutnya. Kebetulan, aku memang ngajar.
Matahari agaknya tak bersahabat lagi. Panasnya memanggang apa saja yang ada di bawahnya. Aku menyusuri koridor sekolah yang diatapi seng tapi terik itu masih tetap terasa membakar kulitku yang memang sensitif. Kupelototi benda bundar dipergelangan tanganku. Pukul 13.15. Denting bel tiga kali, anak-anak berhamburan keluar, saling berebut bis sekolah di sela panas yang memanggang. Tapi, ada juga yang naik kendaraan sendiri. Aku sendiri naik motor butut, warisan almarhum Bapak yang sudah ketinggalan jaman. Asapnya mengepul memaksa para pejalan kaki tutup hidung. Aku rebahkan tubuhku di atas kasur lapuk .Kupandangi langit-langit kamar. Kelihatan jelas atap rumbia yang sudah bolong-bolong. Ada sinar matahari yang tembus dan menerpa. Tapi bagiku biasa. Toh, aku memang belum sanggup mengganti gubuk ini dengan penghasilan sebagai guru honor yang digaji cuma berdasar jam. dua ratus delapan puluh ribu rupiah sebulan untuk aku dan mama tersayang. Itu pun dari komite yang dibayar tunai dengan beberapa potongan di akhir semesteran. Aku tak bisa tidur. Pikiranku terus menjelajah mencoba mencari pembenaran pada keputusan kepala sekolah yang tidak masuk diakalku. Memang, kebiasaan sekolah selama ini untuk membantu siswa pada saat ujian. Beberapa trik dilakukan. Pengawas independen dan pengawas ruang “diservice” dengan baik, seramah mungkin dan kalo sudah begitu biasanya lancar kunci jawabannya ke anak-anak. Kalau pengawasnya galak, biasanya dicarikan sela supaya bisa mengambil soal dari siswa setiap lembar lalu disusup lewat jendela sehingga soal yang lain masih tetap di atas meja. Jadi,tidak ketahuan. Kalau cara ini juga tidak berhasil, maka dirancang cara agar para pengawas bisa lengah dan soal tetap bisa terbang ke guru mata pelajaran. Biasanya, dikerja di rumah yang dianggap aman. Yang paling fatal, semua jawaban siswa dikerja ulang alias diganti oleh jawaban guru. Jadi, guru yang ujian…..
Pikiranku terus berkecamuk. Apa besok aku harus membantu lagi anak-anak itu? Apa aku ikut lagi per intah kepsek dengan alasan demi citra sekolah ? Bagaimana dengan sanksi pidana kala ketahuan. Siapa yang bertanggung jawab? Trus, bagaimana kalau banyak siswa yang pintar selama ini tidak lulus, sementara siswa malas mencoret-coret bajunya di jalan karena sukses mendapat jawaban guru. Apa adil namanya? Belum lagi anggaran negara yang besar hanya untuk mengangkat mutu pendidikan sia-sia belaka. Satu demi satu pertanyaan itu mengembara dalam fikiranku. Setiap pertanyaan dijawab dengan “Negatif”oleh hatiku. Aku menggeliat gelisah, tak bisa tidur. Akhirnya kantuk itu datang juga, seiring dengan keputusanku untuk katakan“TIDAK”. Senin, pukul 07.00. Aku lagi menikmati berita Liputan 6 Pagi, memang akhir-akhir ini perhatianku agak focus pada pemilu legislative, kisruh dpt, penghitungan ulang, Demokrat –Golkar yang cerai, sampai koalisi partai. Begitu menarik, sampai kadang aku cancel beberapa acara pavoritku dan sering telat makan.
Tiba-tiba Handphoneku berdering. Sms masuk. Aku menyambarnya. Aku tengok si pengirim. Kasek. Aku jadi gugup. Kuberanikan membuka inboxnya, “Soal sudah ada di mejaku. Bapak tunggu di sekolah. Segera!” Benda itu kuletakkan kembali, Aku diam agak lama tanpa reaksi. Terngiang kembali keputusanku semalam untuk katakana tidak. Tapi, bagaimana membalasnya? Jantungku berdegup kencang, bukan takut. Tapi, baru kali ini aku berani menolak perintahnya. Kuraih kembali benda itu, Tanganku pelan memencet tombol demi tombol, “Maaf,Pak…Aku tak bisa membantu.”
Kuletakkan kotak kecil itu kembali di
atas meja dengan irama jantung yang
lebih cepat dari biasanya. Sms masuk lagi.
“Besok Bapak menghadap setelah selesai ujian. Pukul 11.15. Di ruangan saya”. Demikian isi balasan smsnya. Aku sudah menduga sebelumnya kalau kasek pasti bereaksi keras atas penolakanku. Aku agak was-was juga. Tapi, ada setitik keyakinan dalam hatiku bahwa hal yang kulakukan adalah benar. Terlalu yakin malah. Aku sudah berada di pintu gerbang sekolah…..teman-teman memandang dari jauh dengan tatapan yang tak biasanya. Pak Baso, wakasek kurikulum tersenyum masam menatapku sekilas. Ada juga Bu Neni, guru bahasa Indonesia duduk di kursi panjang sedang bercanda dengan siswa, begitu melihatku menjadi kaku. Hanya Pak Ahmad, teman diskusiku selama ini yang senyum simpul menatapku. Pikiran-pikirannya memang sejalan denganku untuk hal yang bertema pembaharuan pendidikan. Aku terus melangkah sambil menyapa teman-teman. Tapi kurasakan ganjil kali ini.
Pukul 11. 13 menit. Aku masuk ke ruang kasek. Kudapati dia duduk di kursi putarnya.
“Assalamu alaikum.” Aku menyapa dengan salam. Sekilas dia menatapku. Tergambar jelas ekspresi wajahnya mewakili perasaanya. Aku duduk saja di depannya, menunggu moment selanjutnya. Menunggu apa yang akan disampaikannya. Dia memperbaiki posisi duduknya.
“Bapak sangat menyayangkan tindakanmu kemarin. Termasuk para wakasek dan guru lainnya. Mereka menyesalkan hal itu. Apalagi, kamu hanya guru honor yang mengais rezeki dari kantong siswa. Maka berdasarkan rapat internal dengan guru, diputuskan bahwa tenaga kamu tidak dipakai lagi di sekolah ini. Ini sk pemberhentian anda.” Sebuah amplop dikeluarkan dari laci mejanya dan diangsurkan padaku. Aku menerimanya.
“Tapi, Pak…saya rasa ini tidak adil…!
“Mengapa kita harus membantu lagi? Ini virus pembodohan, selalu berjangkit ke siswa. Dimana logika Bapak ketika kita membantu lagi. Selama ini mereka sudah dibimbing sekian bulan melalui les, belum lagi bimbingan di luar. Kita saja yang terlalu berlebihan. Mengapa kita harus dituntut kuantitas lulusan kalau memang minus kualitas. Mengapa kita tak pernah belajar untuk mengubah cara kita yang salah? Kalimat-kalimat itu terlontar dari mulutku tanpa bisa kutahan lagi. Aku juga heran, baru kali ini aku mampu berbicara banyak di depannya. Mungkin di dorong oleh emosiku yang tak terbendung lagi………
Dia hanya menatapku
tanpa reaksi sedikitpun. Mungkin pernyataanku banyak masuk bersemayam
dinuraninya.
“Tapi, terima kasih atas semuanya.” Ujarku singkat dan berlalu. Aku melangkah keluar. Beberapa teman yang sedang santai kusalami satu-satu. Aku pulang. Seperti kebiasaanku setiap pagi, nonton tv sambil nyeruput secangkir kopi dan terasa segarnya udara lewat jendela yang bingkainya sudah rapuh dimakan rayap. Dari jendela sesaat kulihat butir embun jatuh dipelepah daun pisang yang akhirnya jatuh ke bumi dan kering seiring sinar mentari. Tanganku sibuk mencari cannel favoritku.SCTV. Sekilas aku melihat jam dinding yang tergantung di atas tv. Pukul 06.30 Wita.
“Kepala Sekolah dan 6 guru SMA
Negeri Barata Yuda Kab. Sindang Wangi ditangkap aparat kepolisian
setempat. Mereka terbukti memberi kunci jawaban kepada para siswa yang sedang
ujian. Mereka dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan sehubungan dengan kasus ini.” Mataku tak
berkedip sedikitpun ke layar kaca. Jelas `sekali kepala sekolahku, Pak Yono,
Bu Neni, Pak Baso, Pak Imran, Pak Indra, dan Pak Yance digiring aparat polisi
ke mobil yang sudah siap membawa mereka ke kantor polisi. Aku penasaran.
Kupencet hpku dan calling ke Pak
Ahmad. Kutanyakan perihal berita yang baru saja kusaksikan.
“Benar, Pak..Mereka dipergoki pengawas independen sedang kerja soal di ruang BK dan dikirim ke anak-anak lewat sms. Kasus ini sudah diketahui dinas. Dan yang paling penting, Bapak tidak jadi dipecat. Saya ceritakan persoalan ini ke Sekda perihal nasib Bapak, dan oleh beliau bapak tidak jadi dipecat. Tinggal sk Bapak yang ditunggu satu dua hari ini.” Aku masih tertegun, mencerna kalimat-demi kalimat yang baru saja suap dari tellingaku. Ada rasa sedih menembus dalam hatiku. Tapi, aku juga tersenyum karena tak jadi dipecat.
Pamboang, April 2011
Posting Komentar untuk "Keputusan"