sumber foto: IDN times.com
Sejak tadi jaket warna maroon yang menggantung di dinding kamar itu diamatinya. Lalu tanggannya pelan bergerak meraih benda itu. Sebentar-sebentar ditempelkan ke badannya yang kekar dengan otot dada dan lengan yang menonjol. Terasa pas. Kini dia bergerak menuju cermin di lemari di sudut untuk lebih meyakinkan kalau pakaian itu sangat cocok menempel di tubuhnya bersama teman-temannya yang lain.
Sejak SMA mimpinya memang kuliah.
Tidak muluk-muluk, dia ingin kuliah saja di kotanya, bukan di Makassar yang
tetap saja menjadi ikon dunia akademik di wilayah timur. Beberapa temannya
masih merayunya jelang pendaftaran di jalur prestasi. Mereka yakin dia akan
lulus dengan lembar sertifikat juara lomba sains Matematika yang sudah tembus nasional. Tapi, dia hanya tersenyum
kecil sambil menggeleng. Ada bayangan bapak, ibu, dan ketiga adiknya. Bapaknya
yang mulai renta tiap pagi berangkat ke kebun dan pulangnya memanggul pakan
kambing dalam karung. Ibunya pun begitu, pagi-pagi sudah membuka gerobak jualan
di pinggir jalan dekat pasar kecamatan.
“Bahar, sebelum kamu berangkat
antar dulu barang ke kios. Di sana sudah banyak jualan yang kosong. Jangan lupa
disusun ya!”
“Iya, Ma…!” Masih pagi buta, Bahar sudah
mendorong gerobak ke kios. Dia sudah
paham benar apa yang mesti dilakukannya. Kedua tangannya mencengkram gagang
gerobak diikuti kedua kakinya mendorong beban dari kardus-kardus jualan mamanya. Jalanan masih
begitu sepi. Hanya satu dua kendaraan yang lalu lalang. Itu pun truk-truk
pengangkut sayuran dari kota Enrekang ke Mamuju untuk selanjutnya melintas ke
IKN. Tampak pembantu sopir tertidur. Kepalanya miring bersandar ke jok. Mungkin baru saja bergantian
mengemudi dan istirahat. Selebihnya orang
yang jalan subuh usai sholat di masjid.
Bahar sudah sampai di persimpangan
pasar. Dia mulai menurunkan kardus-kardus itu. Membuka isinya dan menata satu
demi satu. Indomie, kopi sachet, gula, susu, roti disatukannya pada
lapak-lapak berkotak segi empat. Kedua tangannya cekatan menata dan memindahkan
benda-benda itu. Beberapa jualan lainnya dibiarkan menggantung agar semuanya
dapat tempat dan mudah dilihat pembeli.Tak ada kesulitan apapun.
Pekerjaan ini sudah dikerjakan sejak SMP sampai sekarang.
“Saya ke kampus, Ma.” Bahar
menyalami mamanya sambil mencium tangannya yang mulai keriput.
“Hati-hati ya. Kuliah yang benar!” Ibunya
menyalami tangan anaknya sambil tersenyum.
“Iya, Ma!”
Bahar sudah tak kelihatan lagi. Pete-pete
telah membawanya menuju kota. Lebih tepatnya ke sebuah kampus yang dibangun di
atas gunung menuju ke arah timur. Jalanan menuju puncak begitu meliuk dan
mendaki. Beberapa ruas jalan juga belum tersentuh aspal seperti dalam kota. Bebeberapa area kosong berjejer pohon-pohon
rindang menjulang menggapai langit. Di
atas gunung berdiri kokoh gedung-gedung
fakultas tempat para mahasiswa menimba
ilmu. Mulai Fakultas MIPA, Teknik, Kesehatan,
peternakan dan perikanan, sospol, FKIP. Di
sini Bahar dan ribuan mahasiswa lainnya belajar
dari dari dosen-dosen fakultas Teknik dengan gelar magister, doktor, dan
beberapa professor. Bahar termasuk mahasiswa yang ulet, disiplin, dan kritis.
Setiap penjelasan dosen selalu membuatnya penasaran. Kalau sudah begitu dia
akan terus bertanya sampai benar-benar paham. Tangannya tak berhenti mencatat
ulasan dosen yang tak ada dalam diktat.
Kini Bahar juga tak sekadar kuliah.
Memasuki semester tiga, dia merambah kehidupan baru sebagai aktivis kampus.
Awal-awal hanya sebagai anggota himpunan jurusan Teknik Elektro seperti Anto,
Rio, Erni, Rey. Kini sudah menjadi anggota BEM Fakultas hasil pemilu kampus
yang cukup alot. Rio teman gengnya terpilih jadi ketua dan Bahar dipilih
sebagai kepala bidang sumber daya
melengkapi formatur kepengurusan.
“Bantu saya menjalankan program BEM
Fakultas ya. Biar lebih fokus aspirasi anggota mampu kita jalankan dengan
baik.” Rio menepuk bahu Bahar dengan wajah serius.
“Iya, saya akan bantu semampu
saya.” Bahar mengangguk menyanggupi.
Ada yang berbeda dengan Bahar yang sudah bergelut di organiasi kampus. Rambutnya yang hitam tebal dibiarkan lebih panjang sampai bahu. Baju yang dipakai tak lagi hanya kemeja yang selalu disetrika. Tapi sudah lebih banyak dengan kaos oblong hitam bergambar Iwan fals. Begitu pun celananya, kini tergantikan jeans dengan beberapa sobekan di lutut. Tas yang setiap hari menempel di punggunya isinya sudah bercampur dengan buku pemikiran Machiavelli, Tan Malaka, Soekarno, Syahrir dan Moh. Hatta.
"Nanti malam ikuti rapat di Gedung DH. Pukul 20.00. Penting!” Pesan Rio masuk. Dia melirik jam tangannya. Pukul 17.00. Tanggung untuk pulang. Tangannya memencet huruf, berkirim kabar ke adiknya.
Sebuah
ruangan lapang sekira enam kali delapan
meter dan di atas plafon tripleks lampu led empat puluh watt menggantung dan mengirim cahaya terang. Semua pengurus BEM sudah berkumpul
meskipun belum fokus ke acara rapat. Beberapa masih berdiskusi dan bercanda
satu sama lain. Selebihnya, di belakang menyiapkan kopi dan pisang goreng untuk
acara rehat sebentar.
“Saya
kira rekan-rekan tentu membaca situasi
dua hari terakhir. Rilis dari BEM se-Indonesia kalau tanggal 25 nanti akan ada demo besar di
seluruh kampus. Tuntutannya: bubarkan DPR, turunkan pajak, adili para koruptor,
Perluas lapangan kerja. Kita akan ikut dengan aksi itu. Peserta demo lima ribu
mahasiswa dari berbagai kampus. Surat pemberitahuan ke polres sudah dikirim.” Rio mengantar agenda rapat di
depan rekan-rekannya. Semua tampak serius menyimak paparan ketua rapat malam
itu. Termasuk Bahar yang sejak tadi hanya diam dan membayangkan situasi
lapangan demo itu nanti.
“Mungkin
ada pendapat sekaitan aksi itu nanti?” Anto yang memandu rapat membuka sesi
diskusi.
“Saya
setuju dengan aksi ini. Sudah saatnya kita suarakan keresahan masyarakat yang
semakin tertekan. Pekerjaan susah, daya beli rendah, sementara anggota DPR
tepuk tangan dengan tunjangan barunya.” Erni bersemangat menyampaikan
persetujuannya dengan aksi yang akan digelar.
“Yang
penting jangan anarkis, jangan merusak, dan tak perlu terprovokasi dengan
masyarakat yang ikut demo.” Rey menyela untuk mengingatkan anggota rapat.
“Bakar
ban boleh, Ketua?” Nurdin tiba-tiba memotong.
“Saya
kira aparat masih bisa toleransi kalau hanya bakar ban. Tapi ingat harus tetap
dalam kendali korlap” Rio menjelaskan ke anggota rapat lainnya sebelummenutup
pertemuan itu.
Bahar
sudah pulang. Motor bekasnya menembus gelapnya jalan raya yang kini mulai lengang. Hanya satu dua kendaraan yang
berpapasan. Jas almamater maroon menempel di tubuhnya dan menjadi penahan dingin.
Gerimis menyapanya. Ada gumpalan awan yang lebih tebal di kejauhan. Bahar melirik jam di pinggir kota. 24.23.
Akhirnya dia sampai juga. Dia tak membangunkan siapapun. Dirogohnya anak
kunci dalam kantongnya dan ditusukkan ke
kuncian pintu rumah di depannya.
Bahar tak juga tertidur sejak pulang
rapat. Badannya bolak-balik dan katup matanya mengering. Mungkin pengaruh kopi sachet
yang tadi di minumnya di sekret. Dipandangnya jas almamater maroon dan kumpulan buku-buku yang menempel di
dinding. Tampak dua ekor cicak berkejaran menembus plafon yang berlubang.
Terngiang keputusan rapat tadi; lusa
demo, 5000 orang mahasiswa, bubarkan DPR, Adili koruptor, pengangguran, uang susah, makan sulit, kuliah
tutup.
Pagi itu suasana di depan kator DPR
mulai ramai. Para pedagang makanan dan minuman sudah membuka lapak jualannya.
Lapak mereka membujur di sebelah kiri jalan. Area ini menjadi spot UMKM
yang mencoba mengais rezeki dari keramaian kota. Para pembeli akan singgah hanya untuk beli minuman dingin,
pentolan, es buah, kopi varian rasa dan menu-menu lainnya. Ada juga yang
singgah sambil mencicipi menu yang mereka beli.
Matahari hampir tegak di atas kepala. Angin berhembus kencang menerbangkan sampah dari tong tanpa penutup. Tiba-tiba mobil dan motor polisi melintang di utara dan Selatan jalan. Beberapa petugas mengalihkan kendaraan ke jalur alternatif. Hanya sekira lima belas menit long march mahasiswa berjas almamater marooo, biru dan warna lainnya mengular memenuhi ruas jalan. Dari corong pengeras suara, Rio memulai orasinya di depan kantor DPRD kota. Ratusan aparat polisi dan tentara berjejer rapi mengawal jalannya demonstrasi. Benar saja jalanan sesak, mahasiswa dan masyarakat meluber. Beberapa perwira polisi dan tantara tampak mulai sibuk memberikan komando.
“Hidup
mahasiswa, hidup mahasiswa…Saudara-saudara, Gerakan hari ini berangkat dari
keprihatinan bangsa. Tentang jalannya reformasi yang terseok-seok menuju tempat
sampah. Bukan jalan tol menuju pintu gerbang kesejahteraan. Lihatlah
tunjangan DPR kembali naik mengejek nasib rakyat yang susah makan karena sulitnya pekerjaan. Lihatlah…para pejabat, pengusaha pelaku korup
dan merampok milyaran sampai triliun
tanpa bisa dihukum berat. Kita berdiri hari ini, di tengah panas yang
memanggang, di antara tatap mata polisi dan tentara. Tujuan kita jelas,
memperjuangkan nasib rakyat. Hidup mahasiswa, hidup mahasiswa!” Rio berapi-api
menyuarakan keprihatinan di tengah ribuan demontran. Ban-ban bekas bersusun
tiga mulai menyala, menyisakan api dan asap pekat beterbangan. Aparat mulai
membujuk beberapa mahasiswa agar tidak
membakar ban. Tapi mahasiswa menolak dan berkilah kalau arus lalu lintas tetap
lancar.
“Saudara,
saudara..mestinya hari ini kita di kampus. Membaca buku, diskusi, selesaikan
projek, dibimbing dosen-dosen hebat kita. Tapi siang ini, di bawah matahari
yang membakar. Kita satukan tekad karena panggialn ibu pertiwi. Mari kita
lantangkan suara rakyat yang tertindas.
Membela para ojol, tukang becak, pedagang kaki lima, para pengangguran, petani,
dan buruh. Sementara di sana pejabat kita berjoged, menari di atas korupsi, dan
mengejek kita karena miskin. Hidup mahasiswa!” Fahrul dari ketua BEM Fakultas
Ekonomi kali ini dapat giliran untuk berorasi di depan ribuan mahasiswa.
“Saudara-saudara…Uang
negara dikorup ratusan, milyaran, bahkan triliun oleh anggota DPR, pejabat negara, pimpinan
BUMN, gubernur, bupati, kepala dinas. Uang-uang itu mereka pakai untuk
memperkaya diri, bersenang-senang, untuk keluarga mereka sampai tujuh turunan.
Sekarang mari tuntut mereka; hapus tunjangan perumahan DPR, pangkas tunjangan
transport, reses, makan- minum. Kalau mereka menolak maka mari tuntut DPR agar
dibubarkan saja. Saudara-saudara, untuk para pejabat negara yang koruptor mari
kita tuntut agar mereka dihukum penjara seumur hidup bukan empat
tahun, enam tahun, apalagi bebas..” Kini giliran Bahar yang suaranya
menggelegar ke penjuru kota. Tangannya mengacung ke langit. Gerak tubuhnya
menegaskan keresahan rakyat. Orasinya disambut gegap gempita para demonstran.
Suaranya melengking di antara asap ban
yang mengepul ke angkasa.
Tiba-tiba
beberapa sumbu api terlempar menembus
kaca kantor DPR. Kebakaran melebar. Lidah api merayap ke beberapa ruangan dan mulai menjilati dinding. Beberapa petugas pemadam berlari mendekati api dan memuntahkan air
dari selang mobil. Petugas keamanan pun
mulai mendekati demonstran dan mulai bertindak menghentikan pembakaran.
“Rekan-rekan
mahasiswa harap tenang. Jangan anarkis. Pisahkan barisan dari masyarakat jangan
sampai disusupi.
Tiba-tiba Bahar melompat dan menerobos barisan mahasiswa yang sedang mendengar orasinya. Dia melihat sebuah bom Molotov menghujam gerobak penjualan di depannya. Dia berlari mengejar pelakunya yang menggunakan topi hitam. Mereka kini berhadapan. Sebagai kenshi Kempo tidak sulit melumpuhkan serangan Jodan chuki. Dengan uwa uke geri, sebuah tangkisan dan tendangan ke perut sudah cukup untuk melumpuhkan penyerang. Polisi kini mengamankan pelaku. Bahar bergegas mendekati pemilik gerobak. Di antara kerumunan warga, seorang ibu terkapar tak berdaya. Bajunya terbakar, wajahnya bersimbah darah. Jualannya berhamburan ke badan jalan.
“Nak,
saya hanya jualan. Kenapa dibakar.” Suara ibu itu mendesis lalu pingsan. Sebuah
ambulans mendekat. Para petugas medis
mengangkatnya ke mobil. Sirine meraung-raung diangkasa mengirim pesan
darurat dalam kota.
Bahar
kini dikawal polisi sebagai saksi. Beberapa wartawan mengambil gambarnya
sementara kerumunan warga semakin banyak. Mereka penasaran dengan pelakunya.
Bahar tak peduli dengan keadaan sekitarnya. Di pikirannya terbayang wajah
ibunya. Persis seperti ibu yang terkapar
tadi
Pamboang, 30 September 2025

Posting Komentar untuk "Molotov untuk Ibu"