Cerpen
Oleh:Wahyudi Hamarong
Aku hapal betul sosok siswi yang satu ini. Rambutnya yang tergerai
lurus tanpa aksesoris apapun mampu membedakannya di antara sosok lainnya.
Wajahnya masih alami tanpa sapuan bedak-bedak bermerek khas selera remaja yang
mengejar iklan dan tokoh idolanya. Pakaian putih abu-abu yang kerap
digunakannya kupastikan hanya satu
saja. Itu sangat jelas pada beberapa lekuk baju
yang jahitannnya mulai longgar, bahkan satu dua putus. Di ruang kelas
pun biasa-biasa saja,duduk paling belakang
dan terkesan pasif, hanya
mengamati guru yang sedang berusaha menginjeksi ilmu kepada para siswanya. Selebihnya, nol aktifitas. Dia hanya
Sesekali mengekor petunjuk teman
sebangkunya.
“Musraa!”
“’Tidak
datang ngi,Pak!” Reni spontas
menjawab panggilanku meski bukan namanya. Dia teman sebangku Musra.
“Yang tadi
duduk di sampingmu siapa? Tanyaku memastikan.
“Anu......Itu
Rina dari kelas sebelah. Memang miripki,
Pak!”
“”Apa kirim
surat ha vnggu tidak masuk. Kalau surat sakit tidak
ada,Pak!” Ridan menjawab spontan sebagai
ketua kelas.
Aku tetap mengajar seperti biasanya meskipun sesekali diselingi dengan
humor-humor kecil bahkan kadang bercampur bahasa daerah. Itu hanya untuk
menajamkan makna yang kumaksud. Pukul dua belas biasanya otak siswa sudah mulai buntu menerima
pelajaran. Aku menutup pelajaran dan berjalan
keluar menyusuri koridor sekolah
yang tegelnya mulai retak. Masih
berfikir tentang Musra, sosok siswi yang misterius dengan kesehariannya.
Seperti
biasa di sela jam istirahat. Beberapa guru saling berbincang lepas dengan
beragam topik yang tak fokus. Aku minum
teh yang sudah tersaji beberapa jam yang lalu. Beberapa semut mulai merayap
menggapai bibir gelas, aku hanya mengekor dengan jariku tanpa bermaksud menjentik dan mengenyahkannya
dari kehidupan.
Aku melirik
Bu Rafika yang duduk disebelahku.
“Bu,kalau kita ngajar di kelas Bahasa si Musra
selalu ada ya?”
“Kalau itu
jarang masuk. Bulan ini sudah empat kali tidak datang. Anak itu pasti tidak
lulus padahal tiga bulan lagi ujian.
Sosiologi, PKN, ekonomi juga begitu.
“Jangan mi pusing, anak-anak memang begitu.
Kalau malas paling tidak ke sekolah berhari-hari. Kalau saya sih sudah
biasa kasi tinggal siswa. Bayangkan
banyaknya siswa yang harus diperhatikan. Kalau tidak bisa ikut proses, paling
tinggal kelas dan cari sekolah lain. Selesai !” Bu Rafika menjelaskan lebih
banyak dari jawaban yang
kuharapkan. Dalam pikiranku sebagai
guru, mungkin saja dia terlalu banyak beban. Belum lagi sekian urusan dalam
rumah tangga. Aku hanya mampu mengangguk kecil tak kentara meski dibenakku
tetap menyisakan tanya.
Rimbun pohon Mahoni berjejer rapi
di beberapa sudut sekolah. Batangnya yang kekar dengan kulit yang
retak-retak memberi kesan jenis pohon ini keras dan bermampaat banyak andai di tebang untuk
berbagai keperluan. Tangkainya meliuk mengikuti irama angin yang menyapanya.
Pohon ini di tanam pertama kali oleh bupati sebagai tanda peresmian gedung lima
belas tahun silam. Meskipun masih tetap
banyak jenis pohon lainnya, tapi pohon ini tetap menjadi idola para
siswa untuk bernaung sekedar berkumpul sambil bercanda dan berbagi rasa. Tapi,
Gadis itu tak pernah di sana berbaur dengan siswa lainnya, tertawa lepas,
ngerumpi, dan seabrek tingkah polah remaja kebanyakan. Dia biasanya lebih
memilih tersudut di pojok di gedung kelas yang berdekatan dengan kantin dan
menyaksikan teman-temannya keluar masuk. Sesekali dia ditemani Rina teman
sebangkunya yang sering mengajaknya masuk ke kantin, tapi dia lebih banyak
menolak ketimbang mengiyakan.
“Rina, kamu
kan dekat dengan Musra. Kenapa temanmu itu
tidak masuk sekolah?’’ Aku mencecar Rina dengan satu pertanyaan singkat.
“Saya sudah
ke rumahnya kemarin tapi dia tak bicara apa-apa. Dia hanya tunduk dan pergi
begitu saya dekati.”
“Bapak ingin ke rumahnya. Tolong alamatnya di mana?”
Anak itu mendadak diam, tidak langsung mengiyakan permintaanku.
“Anu...anu,Pak......
Bagaimana kalo saya saja yang ke sana lagi. Mudah-mudahan sudah mau masuk
sekolah?” Rina justru menawarkan diri dan tak sekalipun mengiyakan
permintaanku.
“Bapak
justru ingin tahu lebih banyak tentang anak itu.” Ucapku singkat dan pelan.
Rina lalu menjelaskan alamat yang kumaksud. Bagiku tidak terlalu susah melacak
alamat siswa. Kecamatan ini tidak terlalu luas dan lebih banyak saling mengenal
satu sama lain, Bahkan banyak yang masih satu rumpun keluarga besar.
Matahari sudah menggelincir ke barat dan menyisakan bayang tubuhku di
belakang. Tapi terasa panasnya masih tetap menyengat. Aku memandanginya
sejenak. Benar, tak segumpal awan pun
yang membayangi kali ini. Kemarau panjang yang sudah berlangsung lebih dari
enam bulan menyisakan kegersangan di mana-mana. Tangkai-tangkai pohon jati
juga meranggas meluruhkan daun-daunnya
ke tanah hanya sekedar untuk tetap
bertahan hidup.
Aku menuju alamat yang dimaksud oleh Rina dengan motor yang selalu
setia menemaniku untuk semua urusan.
Kali ini agak pelan. Di beberapa sudut
jalan masih terpajang atribut kontestan pilkada dengan gaya khas
masing-masing. Tapi, tak ada satu pun yang cemberut, semuanya senyum simetris dengan tagline yang mampu menghipnotis pembacanya.
Jalan menuju
rumah Musra semakin dekat. Tinggal beberapa meter lagi. Aku berhenti di dekat
jembatan sesuai petunjuk Rina dan mulai
menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi ilalang yang batangnya mulai
mengering. Beberapa rumah permanen bertingkat
berjejer di sepanjang jalan dengan model yang nyentrik minimalis
mengikuti model-model majalah. Di atap rumah
semuanya menancap benda melingkar serupa piring besar bertuliskan Matrix,
Orange.
Aku penasaran, tak ada lagi rumah setelah
rumah-rumah yang kulihat sebelumnya. Aku hampir pulang ketika pandanganku menabrak sebuah atap dari kejauhan. Pelan
kudekati bangunan itu, semakin jelas. Sebuah gubuk terpencil sekira emat kali lima meter beratap
rumbia dengan dinding papan yang tak utuh lagi, beberapa lembar lepas dimakan
usia. Aku hanya termangu sesaat dan nanar mencari di mana penghuninya. Seorang
perempuan tua muncul dari samping. Wajahnya keriput dengan rambut yang mulai
memutih.
“Naiki di rumah,Puang!” Dia menyapaku hampir tak jelas. Aku mengikutinya. Pelan
kakinya menyentuh anak tangga demi anak tangga dengan lancar. Tapi, Aku tak
yakin bisa melakukannya. Biasanya di banyak rumah, anak tangga di buat dari papan yang kuat dan lebar mengikuti panjang kaki orang dewasa.
Ini hanya terbuat dari balok rapuh ukuran lima kali lima centimeter. Aku ragu.
Perempuan
itu rupa-rupanya menangkap keraguanku
meskipun tak juga berusaha meyakinkanku.
Kakiku
menapak anak tangga pertama. Sebuah bunyi menderit jelas. Aku kaget dan refleks
membungkuk. Aku tetap berusaha sampai di pintu dengan berpegangan pada anak
tangga yang belum kulalui.
Aku tak
mampu menjelaskan secara detail lagi seperti apa ruang rumah yang kudatangi. Aku hanya membayang pada acara
bedah rumah di beberapa stasiun tv swasta.
“ Saya, Pak
Yudi. Wali kelasnya Musra. Datang ke sini untuk cari tahu kenapa Musra tidak pernah datang ke sekolah.” Ujarku
pelan.
Dia tak segera menjawab. Dia hanya menunduk.
Butir bening mengkristal di sudut matanya.
‘’Saya minta
maaf, sudah sering mi ku kasi tahu.
Tapi, dia hanya menangis dan terus murung. Kemarin dia keluhkan pembayaran
sekolahnya. Tapi saya bilang sabar mi
dulu, nanti kalo sudah laku batu-batu itu baru dibayar. Sebenarnya, hidup tak begini sulit
andaikan Aba masih hidup. Paling tidak ada keluarga besarnya yang peduli dan
menengok sesekali. Ada warisan yang ditinggalkan tapi hanya jadi rebutan
keluarganya.”
“Begini,Bu....kalau
bisa Musra masuk kembali belajar. Tentang pembayaran sekolahnya saya siap urus
di sekolah, tidak perlu bayar. Dia ujiannya sudah sangat dekat. Jangan sampai
tidak bisa ikut ujian. Ujiannya nanti awal April.
Dia hanya
mengiyakan dengan anggukan kecil. Masih
tersisa butir kristlal
bening yang luput dari sapuan tangannya.
Aku sudah beringsut dari alas yang kududuki sambil mengangsur sebuah kantongan putih yang kubawa sebelumnya
sebelum berangkat. Beras, gula, teh, dan susu
buah tangan yang rutin kubawa sekedar
menyambung silaturrahmi.
Tiba-tiba
Musra muncul di pintu sambil
membungkukkan badan. Ukuran tubuhnya lebih tinggi dari pintu rumah. Dia kaget
begitu melihatku. Itu jelas dari raut wajahnya yang pias meski kulitnya memang kuning langsat. Dia
mengambil tempat agak jauh dan menunduk.
“Bagaimana
kabarmu, Nak? Sudah beberapa minggu ini kamu tidak ke sekolah. Beberapa
temanmu bertanya-tanya. Apa ada
masalah?” Aku membuka percakapan dengan pelan sambil mendekat berusaha menangkap segala keluh
kesah yang akan muncul dari pemilik bibir tipis di depanku.
Aku dari
tadi menunggu sebaris dua baris kalimat yang akan meluncur meski
tersendat-sendat. Tapi kalimat-demi kalimat yang kutunggu tak kunjung terucap
dari bibirnya. Aku juga tak berniat
menelisik lebih jauh tentang
kesulitan-kesulitannya. Ada kekhawatiran kecil kalau itu menjadikannya
lebih tertekan.
“Tidak
apa-apa, tapi harapan Bapak kembalilah bersekolah, terbentang masa depan yang
luas ketika kamu lulus. Tentang kesulitan pembayaranmu, saya sudah sampaikan ke
orang tuamu. Insya Allah sekolah akan menanggung itu. Tentang ujianmu nanti
tanggal empat April ini, biodatamu harus
ter- kirim ke pusat terakhir 15 Pebruari
ini.”
Aku sudah berdiri dan menyalami mereka satu-satu. Kuelus pundak Musra
sebagai pesan bahasa tubuh untuk sabar
dan bersemangat di tengah badai tantangan yang
selalu siap menghempas. Aku pamit pulang sambil mengangsur sebuah
kantongan plastik berisi kebutuhan
pokok. Orang tua itu menunduk sambil menyeka airmata sambil berucap terima
kasih.
Aku balik
pulang menyusuri setapak yang kulalui sebelumnya. Beberapa tetangganya
memandangiku dari jarak yang cukup jauh. Aku hanya senyum. Masih sempat kupelototi spanduk pasangan kontestan pilkada di sisi jalan raya dengan program kerja ; Ayo pilih kami, bebas bayar di rumah sakit,
Bedah rumah Kumuh, Pendidikan gratis...... Pikiranku melayang mencari pembenaran pada apa yang baru saja
kualami.
Seminggu lebih berlalu sejak
kunjungan ke rumah Musra. Dia tak juga muncul di sekolah. Aku selalu
menyempatkan waktu menanyakan kabar kehadirannya di sela kesibukanku dengan
segala urusan pencerdasan, Tapi hasilnya tetap nihil. Gadis itu tak
muncul-muncul juga. Hatiku mulai membaca tentang kesulitan-kesulitan hidupnya.
Tentang sepiring nasi di meja makan, tentang lauk-pauk setiap hari, tentang tagihan listrik dari tetangga. Teringat waktu
kunjungan sore itu, Sepiring pisang muda
rebus yang ditumbuk dengan buah jambu mete dipotong-potong sebagai lauknya. Bukan nasi
dan ikan seperti biasa. Aku jadi berpikir,
Jangan-jangan biasa tak makan.
Ternyata tak sesederhana pikiranku tentang kebutuhan-kebutuhan rumah
tangga itu. Bukan hanya urusan sekolah yang memaksanya tak hadir di sekolah.
Lebih pada urusan perut.
Senja yang temaram di kaki langit menyisakan lembayung di antara
mega-mega yang menggumpal hitam. Burung-burung gereja masih setia mengepakkan
sayap menghias angkasa di bawah rinai
hujan yang mulai jatuh. Hujan turun semakin deras di antara sayup lantunan ayat
suci Al-Quran dari pengeras suara mesjid. Selokan serupa sungai-sungai
kecil yang airnya meluap.
Aku masih
duduk di beranda membaca berita dari layar segi empat mungil yang sibuk
kumainkan dengan jari-jariku. Segelas kopi dan pisang goreng terhidang di meja
sejak tadi.
“Assalamu
Alaikum.” Aku mencari sumber suara itu.
“Waalaikum
Mussalam.” Aku refleks membalasnya meski
kurang jelas sosok itu.
“Anu Puang, Musra sudah mau sekolah lagi.
Besok dia masuk.” Kalimat itu meluncur lancar dari bibirnya. Ada semangat yang
menyala-nyala mengalahkan tubuhnya yang
menggigil basah kuyup oleh air hujan.
Aku hanya menatapnya sesaat tanpa mampu
menjawabnya. Dia mencermati raut wajahku yang kaku dan belum bereaksi apa-apa.
“Maaf di, Pengiriman data ujian ke Jakarta
berakhir seminggu lalu. Musra tak masuk daftar karena sudah sebulan tidak
pernah datang tanpa kabar.” Sebait kalimat meluncur lirih dari bibirku nyaris
dikalahkan oleh suara air hujan yang semakin deras.
Perempuan
tua itu tertunduk lesu. Semangatnya
memudar. Air matanya mengkristal dan jatuh ke lantai.
“Tabe, Puang!....Permisi !”
“Tunggu
dulu, masih ada waktu tahun depan.”
Dia menerobos hujan dan pekatnya malam
sembari membayang kegelapan
pada
kehidupan anaknya yang semakin suram.
Pamboang, 11 02 2016
Posting Komentar untuk "Cerpen: Semua tentang Musra"