Masih tentang Bahasa Indonesia

 

                                                                                               Sumber : https://pixabay.com/
    Rasa-rasanya jika kita berjalan memasuki sekolah-sekolah di seantero negeri, di kota-kota besar sampai di gang sempit,  masih tetap terpajang dengan bingkai yang menarik teks  Sumpah Pemuda yang diikrarkan   pada 28 Oktober 1928. Tapi entahlah, bisa saja para siswa tidak lagi hapal teks ini, atau para siswa tetap hapal tapi bingung sendiri apa maksudnya. Tapi yang jelas sudah 93 tahun yang lalu momentum Sumpah Pemuda itu diikrarkan oleh para pemuda yang menginginkan kesatuan tekad untuk berjuang mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan, baik Belanda maupun Jepang.

Di dalam pelajaran sejarah sangat diyakini jika  ikrar ini yang membakar semangat  jiwa nasionalisme pemuda dari seluruh nusantara untuk mulai berani melawan dengan berbagai cara  menentang penjajah. Seperti cerita kakek saya yang tugasnya antar-antar makanan ke para pejuang. Menyusup di antara orang dewasa yang diperiksa pasukan bersenjata. Lalu  lolos-lolos  saja karena dikira orang pergi main ke desa tetangga.  Lagi-lagi dengan ikrar ini pula sukses mempertebal rasa persatuan  dan kesatuan bangsa yang berbeda suku, agama, warna kulit, dan budayanya. Dipertegas lagi, Dengan ikrar ini juga, rasa kedaerahan itu pelan pupus menjadi satu bangsa yang tengah berpikir menyusun strategi, serta aksi yang satu untuk merdeka.

Setelah 93 tahun berlalu, masihkan semangat, kebulatan tekad, persatuan antar suku, agama, ras, dan budaya masih utuh seutuh-utuhnya di tengah hantaman budaya asing, terjangan teknologi, dan putaran arus kapitalisme?

Mungkin pembaca masih bersepakat dengan penulis kalau makna paragrap pertama Sumpah Pemuda ini masihlah utuh seutuh-utuhnya. Mungkin akan segera menderas tanya, buktinya mana? Faktanya dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas sampai pulau Rote masih di sebut Indonesia. Bendera merah putih masih sah berkibar merdeka di wilayah terluar tanpa ada klaim gugatan dari penduduk pulau itu. Kantor pemerintah, perusahaan, hotel, pabrik-pabrik, swalayan, masih tetap mencantumkan nama bangsa ini , Indonesia.

Lalu bagaimana ceritanya dengan paragrap kedua Sumpah Pemuda? Kali ini penulis tidak meminta persetujuan dengan pembaca. Tapi harapannya sih membaca realitas yang sama. Jika kita membuka Kamus  Besar Bahasa Indonesia versi digital  dan mencari kata, “bangsa”  maka yang muncul dan relevan dengan pencarian ini yakni (1) kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. (2) bisa juga berarti kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan menempati wilayah tertentu di muka bumi. Coba hitung-hitung sendiri. Jumlah bahasa daerah di Indonesia di tahun 2020 sebanyak 718, jumlah suku sendiri sekitar 1.340 yang tersebar di seluruh Indonesia, jumlah tarian daerah sekira 3.000, jumlah kuliner daerah sekitar 3.259 jenis menurut Prof. Dr. Ir Murdijati Gardjito seorang pengajar di UGM. Perbedaan suku, bahasa , tarian, kuliner, warna kulit, agama, adat,  dan budaya paling tidak sampai detik ini masih tetap diikat dengan kokoh dalam satu frase yakni bangsa Indonesia. Lebih terang, keberagaman ini masih tetap menjadikan kita sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Meskipun juga tidak menutup mata jika ada kelompok tertentu yang menuntut kemerdekaan seperti saudara-saudara di Papua yang akhir-akhir ini trending topic di berbagai media.

Lalu bagaimana keberadaan bahasa Indonesia seperti paragrap ketiga Sumpah Pemuda itu? Kali ini penulis tidak berani beradu argumen dengan pembaca bahwa bahasa Indonesia masihlah menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.  Dari laman VOA  Indonesia.com pernah mengangkat sebuah judul Bahasa Asing Semakin Mentereng, Bahasa Indonesia  Terpinggirkan (1/8/2018) Faktanya,  sebuah papan reklame berisi informasi Asian Games dalam bahasa Inggris terpajang di salah satu sudut kota Solo, Selasa (31/7). Tak hanya itu, papan dari Pemkot Solo juga memasang informasi menggunakan bahasa campuran, Indonesia dan Inggris, yang ditemukan di berbagai wilayah. Perguruan tinggi milik pemerintah atau kampus negeri di Solo pun tak luput memasang istilah dalam bahasa asing, tanpa padanan kata dalam bahasa Indonesia.

Dari Jurnal Lingkar Widyaiswara (www.juliwi.com) Edisi 2 No. 1, Jan – Mar 2015,  dipaparkan  kalau  beberapa restoran  terdapat di sepanjang kawasan jalan Soekarno Hatta Malang. Bertuliskan papan reklame; MurMer DONAT Donat Kentang, Waroeng Steak And Shake, BreadStory Outlet dll. Belum lagi di kawasan usaha di berbagai kota besar di Indonesia,  dari berbagai fenomena ini mengindikasikan bahwa masyarakat cenderung “berlebihan ” dalam menggunakan bahasa asing.  

Kalau dalam pengamatan penulis secara acak masih banyak sekali kosa-kata asing yang justru tidak mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia. Masih kerap ditemukan petunjuk di pintu masuk kompleks perumahan seperti in, out, stop, don’t be noise dan sama sekali tidak ada arti dalam bahasa Indonesia. Kalaupun ada artinya maka kerap itu menjadi kedua. Seolah-olah bahasa Indonesia adalah bahasa  kedua. Huff.

Di acara televisi  masih banyak yang kontras dengan kampanye pengutamaan bahasa Indonesia di media. Acara televise seperti Indonesian Lawyer Club (ILC), breaking news, face2face Desi Anwar, Indonesia now, Talk Indonesia, dan berbagai acara televisi lainnya yang ditonton oleh para pemirsa. Kesan yang muncul  bahasa Indonesia menjadi anak tiri dan bahasa Inggris jadi anak kandung. Padahal jika ditonton sampai tuntas semua acara ini, seluruhnya dominan menggunakan bahasa Indonesia. Toh, pesertanya orang Indonesia dengan berbagai latar ilmu dan profesi. Penonton juga orang Indonesia semua. Jadi, ada semacam salah kaprah penggunaan bahasa Asing di acara publik.

 

            Seandainya sosialisasi tentang  Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2019 tentang penggunaan bahasa Indonesia dapat dapat diterapkan dengan baik pada semua level pemerintahan mulai dari pusat sampai desa tentu kekeliruan penggunaan bahasa Indonesia tidak akan terjadi. Seandainya sosialisasi tentang aturan berbahasa Indonesia dapat dipahami oleh pelaku usaha pada semua tingkatan tentu salah kaprah penggunaan bahasa asing akan semakin berkurang. Jika saja media massa dan elektronik mampu konsisten menggunakan bahasa Indonesia di setiap edisi penerbitannya, maka tentunya bahasa Indonesia untuh menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Semoga.

Posting Komentar untuk "Masih tentang Bahasa Indonesia"