Sumber : https://pixabay.com/
Di dalam pelajaran sejarah sangat
diyakini jika ikrar ini yang membakar
semangat jiwa nasionalisme pemuda dari
seluruh nusantara untuk mulai berani melawan dengan berbagai cara menentang penjajah. Seperti cerita kakek saya
yang tugasnya antar-antar makanan ke para pejuang. Menyusup di antara orang
dewasa yang diperiksa pasukan bersenjata. Lalu lolos-lolos
saja karena dikira orang pergi main ke desa tetangga. Lagi-lagi dengan ikrar ini pula sukses
mempertebal rasa persatuan dan kesatuan
bangsa yang berbeda suku, agama, warna kulit, dan budayanya. Dipertegas lagi,
Dengan ikrar ini juga, rasa kedaerahan itu pelan pupus menjadi satu bangsa yang
tengah berpikir menyusun strategi, serta aksi yang satu untuk merdeka.
Setelah 93 tahun berlalu, masihkan
semangat, kebulatan tekad, persatuan antar suku, agama, ras, dan budaya masih
utuh seutuh-utuhnya di tengah hantaman budaya asing, terjangan teknologi, dan
putaran arus kapitalisme?
Mungkin pembaca masih bersepakat dengan
penulis kalau makna paragrap pertama Sumpah Pemuda ini masihlah utuh
seutuh-utuhnya. Mungkin akan segera menderas tanya, buktinya mana? Faktanya
dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas sampai pulau Rote masih di sebut
Indonesia. Bendera merah putih masih sah berkibar merdeka di wilayah terluar
tanpa ada klaim gugatan dari penduduk pulau itu. Kantor pemerintah, perusahaan,
hotel, pabrik-pabrik, swalayan, masih tetap mencantumkan nama bangsa ini ,
Indonesia.
Lalu bagaimana ceritanya dengan paragrap
kedua Sumpah Pemuda? Kali ini penulis tidak meminta persetujuan dengan pembaca.
Tapi harapannya sih membaca realitas
yang sama. Jika kita membuka Kamus Besar
Bahasa Indonesia versi digital dan
mencari kata, “bangsa” maka yang muncul
dan relevan dengan pencarian ini yakni (1) kelompok masyarakat yang bersamaan
asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.
(2) bisa juga berarti kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan
bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan menempati wilayah tertentu di muka
bumi. Coba hitung-hitung sendiri. Jumlah bahasa daerah di Indonesia di tahun
2020 sebanyak 718, jumlah suku sendiri sekitar 1.340 yang tersebar di seluruh
Indonesia, jumlah tarian daerah sekira 3.000, jumlah kuliner daerah sekitar
3.259 jenis menurut Prof. Dr. Ir Murdijati Gardjito seorang pengajar di UGM.
Perbedaan suku, bahasa , tarian, kuliner, warna kulit, agama, adat, dan budaya paling tidak sampai detik ini
masih tetap diikat dengan kokoh dalam satu frase yakni bangsa Indonesia. Lebih
terang, keberagaman ini masih tetap menjadikan kita sebagai satu bangsa, bangsa
Indonesia. Meskipun juga tidak menutup mata jika ada kelompok tertentu yang menuntut
kemerdekaan seperti saudara-saudara di Papua yang akhir-akhir ini trending topic di berbagai media.
Lalu bagaimana keberadaan bahasa
Indonesia seperti paragrap ketiga Sumpah Pemuda itu? Kali ini penulis tidak
berani beradu argumen dengan pembaca bahwa bahasa Indonesia masihlah menjadi
tuan rumah di negerinya sendiri. Dari
laman VOA Indonesia.com pernah mengangkat
sebuah judul Bahasa Asing Semakin Mentereng, Bahasa Indonesia Terpinggirkan (1/8/2018) Faktanya, sebuah papan reklame berisi informasi Asian
Games dalam bahasa Inggris terpajang di salah satu sudut kota Solo, Selasa
(31/7). Tak hanya itu, papan dari Pemkot Solo juga memasang informasi
menggunakan bahasa campuran, Indonesia dan Inggris, yang ditemukan di berbagai
wilayah. Perguruan tinggi milik pemerintah atau kampus negeri di Solo pun tak
luput memasang istilah dalam bahasa asing, tanpa padanan kata dalam bahasa
Indonesia.
Dari Jurnal Lingkar Widyaiswara
(www.juliwi.com) Edisi 2 No. 1, Jan – Mar 2015, dipaparkan
kalau beberapa restoran terdapat di sepanjang kawasan jalan Soekarno
Hatta Malang. Bertuliskan papan reklame;
MurMer DONAT Donat Kentang, Waroeng Steak And Shake, BreadStory Outlet dll.
Belum lagi di kawasan usaha di berbagai kota besar di Indonesia, dari berbagai fenomena ini mengindikasikan
bahwa masyarakat cenderung “berlebihan ” dalam menggunakan bahasa asing.
Kalau dalam pengamatan penulis secara
acak masih banyak sekali kosa-kata asing yang justru tidak mengutamakan
penggunaan bahasa Indonesia. Masih kerap ditemukan petunjuk di pintu masuk
kompleks perumahan seperti in, out, stop,
don’t be noise dan sama sekali tidak ada arti dalam bahasa Indonesia.
Kalaupun ada artinya maka kerap itu menjadi kedua. Seolah-olah bahasa Indonesia
adalah bahasa kedua. Huff.
Di acara televisi masih banyak yang kontras dengan kampanye
pengutamaan bahasa Indonesia di media. Acara televise seperti Indonesian Lawyer Club (ILC), breaking news,
face2face Desi Anwar, Indonesia now, Talk Indonesia, dan berbagai acara
televisi lainnya yang ditonton oleh para pemirsa. Kesan yang muncul bahasa Indonesia menjadi anak tiri dan bahasa
Inggris jadi anak kandung. Padahal jika ditonton sampai tuntas semua acara ini,
seluruhnya dominan menggunakan bahasa Indonesia. Toh, pesertanya orang
Indonesia dengan berbagai latar ilmu dan profesi. Penonton juga orang Indonesia
semua. Jadi, ada semacam salah kaprah penggunaan bahasa Asing di acara publik.
Seandainya
sosialisasi tentang Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2019 tentang penggunaan bahasa Indonesia
dapat dapat diterapkan dengan baik pada semua level pemerintahan mulai dari
pusat sampai desa tentu kekeliruan penggunaan bahasa Indonesia tidak akan
terjadi. Seandainya sosialisasi tentang aturan berbahasa Indonesia dapat
dipahami oleh pelaku usaha pada semua tingkatan tentu salah kaprah penggunaan
bahasa asing akan semakin berkurang. Jika saja media massa dan elektronik mampu
konsisten menggunakan bahasa Indonesia di setiap edisi penerbitannya, maka
tentunya bahasa Indonesia untuh menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Semoga.
Posting Komentar untuk "Masih tentang Bahasa Indonesia"