Cerpen: Sekuntum Melati di Musim Pandemi

 




                  Gambar: articlearpan.blogspot.com

            Kembali dia melanjutkan aktivitasnya setelah beberapa menit lalu menerima pergantian sif. Dengan  hasmat menyerupai antronot  dia  melangkah memasuki kamar pasien  yang sudah dirawatnya sejak minggu lalu.  Seorang Bapak yang positif terjangkit Covid 19 setelah melakukan perjalanan dinas  ke Jakarta dua minggu lalu. Badannya demam mencapai tiga puluh delapan derajat, sekali waktu batuk berulang-ulang.  Dia mengecek monitor yang menempel di dinding, Sesekali dia memastikan letak beberapa peralatan yang tergeletak di atas meja lalu  mengganti cairan  infus yang sudah hampir habis, terakhir dia memperbaiki posisi masker pasiennya yang melorot ke dagunya. Sekilas  dia melirik jam dinding yang menggantung. 09.00. Ini pasien ke sepuluh yang dirawatnya bersama tim medis khusus Covid 19 di rumah sakit Regional Mamuju. Dua orang meninggal, delapan orang sembuh.  Tersiar kabar dari teman-temannya kalau di luar masih lebih banyak pasien yang akan dirujuk.

“Ini sudah tengah malam, masih jaga ya?”  sebaris pesan whatsapps masuk dari Andri tunangannya.

“Iya, sampai pagi.” Balasnya singkat.

“Iya, istirahat yang cukup, jangan lupa vitaminnya.”

“Iya, sayang.” Kembali dia menekan beberapa huruf sambil menutup mulutnya yang mulai  menguap.

Malam terasa  lebih lama. Desah napas pasien seirama dengan bunyi   layar monitor yang  mengirimkan garis lengkung dan  angka-angka. Matanya tiba-tiba tertuju pada cincin di jarinya. Pelan dia mengelusnya. Ya, cincin tunangan yang mestinya tuntas minggu lalu di atas altar pelaminan bersama Indra yang telah mereka jalin selama dua tahun. Akibat wabah virus Corona yang sudah menjangkit rata di tiga puluh empat provinsi jadilah pernikahan itu ditunda sementara  dengan  alasan kesehatan.

            Bulan lalu sebuah SK dibagikan  sekretaris rumah sakit tentang tim khusus  Covid 19.  Namanya juga tertera, Rina Handayani. S.Kep.

“Apa tidak bisa kau tolak itu SK, Nak? Itu sangat beresiko. Sudah puluhan tim medis yang gugur menangani pasien Covid.”

Ibunya keberatan ketika Rina menujukkan selembar surat.

“Kita tak bisa menolak, Ma. Itu pekerjaan saya. Kita ditunjuk oleh direktur tentu dengan pertimbangan kemampuan, loyalitas dan lainnya.” Rina berusaha meyakinkan ibunya meskipun jauh di dalam hatinya ada rasa was-was.

Sudah dua minggu dia  tak pernah pulang sekadar melihat bunga-bunga yang mulai mekar di halaman, menjenguk keluarga lebih-lebih bertemu Indra dan melepas rindu yang tak terbendung. Aturan rumah sakit tidak memperbolehkan pulang. Semua perawat dikarantina  untuk menghindari penyebaran virus ke keluarga. Itu pun hanya boleh beraktifitas di ruangan khusus yang telah disiapkan.

Mentari kali ini menyapa dengan lembut. Sinarnya menyentuh pucuk-pucuk mahoni yang berjejer sepanjang koridor rumah sakit. Bunga anggrek yang di tanam di beberapa pot besar mengirimkan wewangian dari semilir angin yang berhembus. Beberapa Kutilang bersiulan di pohon sembari terbang dari dahan ke dahan. Beberapa petugas kebersihan kelihatan  sibuk  menpel lantai yang masih basah usai hujan mengguyur semalam.

“Alhamdulillah, perkembangan Bapak semakin membaik. Hasilnya sudah negatif dan  dalam beberapa hari ke depan bisa berkumpul kembali dengan keluarga.” Rina menyapa pasiennya usai dokter  Rey mengecek kesehatannya.

“Ya, Allah. Terima kasih Bapak di temani oleh para perawat sesabar ini. Mudah-mudahan kalian tetap sehat dan sukses dalam pekerjaan. “ Matanya berkaca-kaca membayangkan ketulusan dan kesabaran pasien menanganinya dalam  beberapa minggu terakhir.

Rina bersama empat orang rekannya off dari tugas, tapi tetap tak boleh pulang. Mereka menempati kamar isolasi yang disiapkan oleh rumah sakit. Nutrisi mereka diperhatikan agar stamina  tetap terjaga. Biasanya setiap hari ada enam butir telur, madu, dan susu sebagai suplemen wajib yang mesti dikonsumsi.

“Say, kabari Mama klo aku belum bisa plng, aku mmg off dua minggu tpi tetap di sini. Tadi Aku  telp tpi tdk aktif. Sabr ya say. Doakan  ini berakhir secepatnya.” Jemari Rina agak lama menekan tuts androidnya. Memilih kata yang pas untuk kekasihnya. Paling tidak mampu mewakili kerinduan yang semakin lama semakin mengganggunya.

“Iya, nanti saya ke sana setelah meeting dari kantor selesai. Jaga kesehatan ya!” refly Indra masuk.

“Makasih, say.” Rina membalas sambil tersenyum. Terbayang kebersamaan mereka di berbagai spot wisata di Mamuju. Jalan sore sambil menyeruput kopi  jelang senja dari kafe yang berjejer sepanjang  pantai Manakarra. Sekali waktu menginap di tempat wisata Kelapa Tujuh hanya untuk memandang  hamparan lampu kota yang memancar  dari atas ketinggian. Paling mendebarkan, menyeberang ke pulau Karampung yang begitu eksotis dengan laut biru, batu-batu karang dan  pasir putih membujur bersih sejauh memandang.

Sebuah ambulans meraung-raung memasuki pelataran rumah sakit. Beberapa petugas medis memakai APD lengkap menurunkan seorang pasien yang tak berhenti batuk. Seorang petugas bergerak cepat memberikan penanganan sesuai standar protap Covid 19.

Rina melihat pasien itu dari jendelara kamar isolasi yang ditempatinya. Pikirannya mengambang, menduga-duga kapan penyakit ini akan berhenti. Sementara di luar warga masih ramai di pasar, ngopi di kedai dan solat berjamaah. Bahkan anjuran menggunakan masker banyak yang tak peduli. Paling tak masuk akal, memaksa mudik untuk berlebaran bersama keluarga.

Tiba-tiba Rina merasakan badannya panas, kepalanya berdenyut-denyut dan seketika merasakan tubuhnya seperti tak bertulang. Erna yang bersamaan sifnya pagi itu  mengetuk pintu kamar.

“Hey, kamu kenapa, Rin?” Erna memperbaiki posisinya. Dia   menempelkan tangannya di dahinya.

“Demam.” Ucapnya lirih. Terbayang Covid 19 menjangkiti Rina. Dia segera menghubungi call  Centre UGD.

“Hasil rafid test menunjukkan positif Covid 19, tapi kita tunggu dulu hasil swabnya.” Dokter Pieters memberikan keterangan kepada Indra beserta Ibu dan beberapa anggota keluarga lainnya. Mereka sock mendengar kabar itu. Indra berusaha menenangkan calon mertuanya yang begitu terpukul.

Hanya empat hari saja hasil swab  keluar. Positif. Rina tak lagi bisa dikunjungi oleh Indra, keluarga dan rekan-rekan perawat, kecuali tim medis yang memang ditunjuk untuk itu. Semua ditangani dibawah   protap Covid 19. Seluruh riwayat kontak dengan Rina ditelusuri oleh petugas medis, termasuk keluarga Rina. Kabar itu seperti udara menyebar ke pelosok negeri. Begitu cepat. Suasana rumah sakit mencekam. Pengunjung sangat dibatasi sesuai standar.

Rina tak tertolong. Upaya maksimal tim medis berujung tragis. Rina menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Tak seorang pun boleh menyentuhnya kecuali para petugas medis dengan APD lengkap. Kabar itu membuat duka yang sangat dalam untuk keluarga dan rekan-rekannya. Puluhan karangan bunga ucapan duka berjejer di rumah sakit  dan di rumah duka.

Pagi itu sebuah mobil jenasah melaju ke selatan kota menuju tempat pemakaman. Sirine mobil meraung-raung sepanjang jalan mengirim duka. Di depan para petugas keamanan bergerak menghalau kendaraan yang berpapasan dengan mobil jenasah. Hampir dua ratus sampai ke pemakaman ketika  tiba-tiba  sebuah kerumunan massa memblokade jalanan. Beberapa anak muda berdiri di badan jalan.

“Kami warga desa menolak jenasah Corona di makamkan di pekuburan ini. Virusnya akan menyebar ke warga.” Seorang lelaki paruh baya  berjalan mendekat diikuti oleh warga lainnya.

“Iya, kami menolak dimakamkan di sini.” Beberapa suara dibelakang lebih keras ke arah rombongan.

“Kamu siapa?” Seorang polisi mencoba menginterogasi lelaki itu.

“Saya kepala dusun, Pak?” Jawabnya singkat.

“Jadi begini, Jenasah yang meninggal karena Corona tidak menularkan virus setelah dimakamkan. Virusnya mati bersama jenasah. Lagi pula yang kuburkan nanti bukan bapak-bapak, tapi petugas dari rumah sakit dengan pakaian anti virus. Jadi, tak perlu khawatir apalagi menolak.” Polisi itu berusaha menjelaskan sambil meminta blokade dibuka.

“Kami tetap menolak dimakamkan di sini. Maaf, Pak.” Kepala dusun tetap bersikukuh.

“Hei, dimana perikemanusiaan Bapak-Bapak. Dia meninggal karena merawat pasien korona. Dia berjuang menyembuhkan pasien, siang-malam dia rawat. Dia korban dari orang-orang yang egois, tidak mengindahkan anjuran pemerintah, termasuk saudara-saudara.” Indra muncul dari kerumunan dan berteriak histeris.

Indra kini berlari cepat  mendekati sebuah nisan. Wajahnya pucat  dan matanya tajam memelototi para pendemo.

“Mengapa bukan  itu yang kalian tolak? Dia mati di penjara karena korupsi.” Tiba-tiba Indra   menunjuk sebuah makam yang  tanahnya masih basah.  Semua warga diam, tapi  tak juga  membuka jalan untuk  jasad Rina.



                                                                            Pamboang, 5 Mei 2020

                                                                            Penulis:  Wahyudi Hamarong

                                                      

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5 komentar untuk "Cerpen: Sekuntum Melati di Musim Pandemi"

  1. Pandangan dari cerita ini menurut saya sangat memprihatinkan karena seorang petugas pasien covid 19 yang ditolak masyarakat untuk di kubur di pemakaman yang tidak bermoral untuk ditiru

    BalasHapus

  2. Sungguh cerita yang sangat bagus, membuat hati bergetar ketika membaca. Jujur, jika dilihat dari sudut pandang saya ketika membaca, sungguh moral masyarakat sangat memprihatinkan untuk sekarang. Karena, takut untuk tertular covid-19 sampai² menolak jenazah untuk di kebumikan di pemakaman yang seharusnya. Tidak ada orang yang mau mati di karena covid-19. Tapi, apa boleh buat jika itu sudah takdir kita.









    BalasHapus
  3. Cerpen yang sangat bagus.Pandangan penulis yaitu mengenai kondisi yang sangat memprihatinkan karena petugas pasien COVID-19 ini karena ditolak untuk di kebumikan atau dikuburkan di tempat yang seharusnya.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Rasa takut masyarakat akan penularan covid-19 sangat tinggi hingga melupakan perikemanusiaan, tidak memikirkan pengorbanan yang dilakukan oleh tenaga medis covid-19

    BalasHapus