Periuk Kosong Bu Eni

 


                                                                     Sumber foto:https://pixabay.com/

Sepagi ini kakiku sudah tergesa menuju kantin di samping laboratorium komputer. Beberapa anak menghampiri kelas. Ada juga yang sudah menyapu di koridor yang kulewati. Dedaunan berjatuhan  dari pohon-pohon mahoni yang berjejer memang lebih banyak kali ini. Semalam seusai magrib, angin barat  yang menerjang dan meliukkan tangkai pohon-pohon. Aku sudah sampai di depan kantin yang belum lama  terbuka. Kudapati Bu Eni sedang menggoreng bakwan dibantu Rani,  mantan siswiku yang kini masih kuliah.

“Nasi kuning  telurnya satu!” Ujarku bersamaan dengan bokong menempel di bangku panjang yang mulai berderit. 

“Iya, Pak!” Bu Eni mencampur pesananku dengan gesit.  Biasanya memang sepagi ini kadang  belum sarapan. Kalau waktu sudah mepet begini biasanya lupa. Biasa juga aku bawa saja ke sekolah. Sambil menunggu pesanan, aku amati beberapa pajangan di dinding papan. Beberapa poster dari BPOM dan  daftar menu yang dijual. Ada juga poster-poster sisa Covid 19 beberapa tahun lalu. Meja panjang dalam lapisan taplak yang bersih. Di atasnya menempel wadah  garpu , sendok, botol kecap, dan lombok. 

Tidak cukup  lima  menit nasi kuning yang kupesan sudah ada di depanku. Di atasnya ada  telur, sambal tomat, saronde, bakwan, dan kerupuk.  Kini sendok dan garpu bergantian mengantar makanan itu ke mulutku. Enak memang nasi kuning Bu Eni, ada lombok tomat yang rasanya khas. Beda dengan nasi kuning  di tempat lain. Sambil melahap makanan, terlihat dua-tiga siswa juga pesan menu yang sama, nasi kuning. Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil. Itu tanda kalau boleh sarapan meskipun ada gurunya di dalam. Sepertinya mereka paham kalau tak boleh makan selain waktu istirahat. 

Sekolah ini cukup luas. Berdiri di atas lahan lima hektar dan memanjang dari selatan ke utara. Bangunan-bangunannnya masih kelihatan kokoh meskipun sudah enam belas tahun berdiri. Sapuan cetnya tetap  terang meskipun mendung. Di sela-sela gedung pepohonan menancap ke tanah. Pohon mangga, mahoni, trembesi kini sudah menjulang tinggi. Bagian bawahnya menjadi tempat berteduh warga sekolah dan kendaraan yang terparkir. Di belakang ruang-ruang kelas, ada kantin yang menjajakan makanan setelah bel istirahat berbunyi. Tepatnya ada empat kantin di beberapa sudut sekolah. Makanan yang dijual macam-macam. Mulai nasi kuning, bakso, bakwan, tahu goreng, kopi, sampai snack. Pemilik kantin berasal dari lingkungan sekitar sekolah yang menggantungkan hidup dari makanan-makanan yang dijual. Mereka sudah lama berjualan  di sekolah. Dari pekerjaan ini mereka bisa makan dan anak-anak mereka bisa sekolah sampai kuliah.

“ini uangnya, Bu!” Kataku sambil mengangsur selembar uang sepuluh ribu.

“Iye, makasih, Pak!” katanya setengah membungkuk. Beberapa anak bergeser tempat duduk sambil tersenyum.  

Anak-anak yang riuh sejak tadi kini beranjak ke kelas masing-masing. Guru-guru sudah mulai masuk kelas untuk mengajar. Beberapa anak merapikan bajunya yang masih belum rapi. Kini koridor, gazebo dan kantin mulai sepi sejak alarm tanda masuk berbunyi.

Aku  kembali ke ruanganku membereskan pekerjaan akhir semester. Ada nilai yang mesti rampung untuk dikelola dan dibagikan ke anak-anak nanti sebelum liburan datang. 

Pak Budi tiba-tiba datang di depanku. “Ada panggilan dari kepsek, Pak.”

“Oh, iya.” Jawabku segera beranjak dari kursi.

Jarak ruang kepala sekolah dengan ruanganku hanya di batasi satu tembok pemisah. Setelahnya itu sudah pintu ruang kepala sekolah. Aku pelan mengetuk sambil berucap salam.

“Pak, tadi ada Babinsa datang, minta laporan jumlah siswa keseluruhan.” Kepala sekolah langsung masuk ke inti pembicaraan.

“Iye, Pak!” Aku mulai detil  menyimak informasinya.

“Begini, itu program Pak Presiden makan siang gratis akan dilaksanakan nanti mulai Januari. Dia minta persetujuan diterima atau tidak. Saya mengiyakan karena itu program pemerintah.”

“Iye, Pak!” Saya hanya menurut saja apa yang disampaikan. Pikiranku langsung tertuju ke Bu Eni, Mama Indah, Mama Novi, dan Mama Indra. Semuanya pengelola kantin.

Aku penasaran. Sejak keluar dari ruang kepala sekolah aku langsung menjelajah internet seperti apa program itu berjalan nanti. Program Makan Bergizi Gratis, itu program Bapak Presiden. Untuk memperbaiki gizi dan memaksimalkan pertumbuhan anak-anak usia sekolah. Biayanya tujuh puluh satu triliun. Nanti memberi makan anak sembilan belas juta lebih,  termasuk ibu hamil dan  menyusui. Pemerintah menyiapkan  delapan puluh lima satuan pelayanan di seluruh Indonesia. Itu  semacam rumah makan besar tempat mengelola makanan sampai pengantaran. Dari sini beras, sayur-sayuran, telur, ikan dan susu diolah para juru masak terlatih yang  diawasi ahli gizi.  Di sini pula makanan dikotakkan oleh petugas operasional unit pelayanan, Selanjutnya makanan dikirimkan ke sekolah  melalui mobil.

 Aku meninggalkan gawai sejenak.  Pikiranku kembali ke Bu Eni, Mama Indah, Mama Novi, dan Bu Indra. Para penjual di kantin yang saban hari menyiapkan menu untuk seluruh siswa. Anak-anak yang sudah  begitu akrab dengan mereka. Ibu-ibunya   ramah dan senang melayani sambil kadang  menggoda para pembelinya.

Mendung menaungi sekolah. Awan hitam menggantung  tebal di sebelah barat. Biasanya sebentar angin akan menerjang, meliukkan pepohonan, mematahkan tangkai-tangkai kering dan hujan akan mengguyur setelahnya. Sejenak aku melirik jam  yang melingkar di pergelangan tangan. Sepuluh tiga puluh. Anak-anak  sudah menghambur ke kantin sejak tadi untuk mengganjal perutnya.  Hujan deras mencipta udara  dingin menjadikannya lebih cepat lapar. Aku juga begitu, merasakan perut yang keroncongan sejak tadi. Hanya kutahan-tahan karena ada beberapa tamu yang minta bertemu untuk urusan penelitian dan sosialisasi perguruan tinggi. Aku bergegas ke kantin Bu Eni, tempatku biasa makan.

Anak-anak seperti semut di kantin ini. Bergerombol, antre, dan sedikit berdesakan. Bangku-bangku panjang penuh. Banyak yang belum kebagian tempat duduk. Aku sendiri berdiri mematung begitu tiba. Begitu melihatku berdiri, Anto siswa XII 4 mendekat, menawarkan kursi yang sejak tadi didudukinya.

“Minta maaf, nasi kuningnya sudah habis, Pak.” Bu Eni menjelaskan sebelum  aku pesan. 

“Biasanya Bapak minta diantarkan.” Katanya lagi seperti merasa bersalah.

“Ndak apa-apa. Alhamdulillah kalau sudah habis.” Jawabku santai.

Aku kembali kembali ke ruangan. Mencoba memanggil  Ayu, siswi kelas  sebelas tiga  untuk dibelikan nasi kuning di kantin Mama Indah yang letaknya lebih jauh. Di pojok utara belakang sekolah. Sekitar seratus meter. Sambil menunggu aku meminum kopi yang diantarkan  seorang staf ke ruangan. 

“Assalamualaikum, nasi kuningnya habis, Pak!” Tangannya mengembalikan uang yang saya kasih. 

“Iya, ndak apa-apa. Terima kasih.” Tidak sampai jam sebelas makanan sudah habis di kantin-kantin sekolah. Padahal, kalau dihitung hampir enam ratus anak-anak ada di sekolah ini. Belum termasuk guru dan stafnya. Hari itu makan siangku akhirnya di rumah. Ada tetangga yang datang ke rumah untuk memasak setiap hari.

Seperti kebiasaan sebelumnya,  di ruang  guru berkumpul  para pengajar di jam istirahat pertama. Mereka menyeruput kopi atau pun teh yang disiapkan sekolah. Untuk kuenya kadang ada traktiran teman, biasa juga beli di dekat-dekat ruang tata usaha.

“Kalau sudah ada Makan Bersama Gratis gurunya juga gratis ya?” Pak Yanto membuka diskusi sambil mengangkat gelas tehnya.

“Kebagian kalau ada siswa sakit atau bolos.” Sela  Bu Pak  Beni muncul dari samping.

“Ya, karena diaturannya hanya siswa, ibu hamil dan menyusui.” Kembali Bu Reni menjelaskan.

Aku hanya tersenyum  mendapati teman-teman hangat membicarakan paket Makan Bersama Gratis. Rupa-rupanya pengetahuan mereka cukup tentang program itu. Aku sebenarnya menunggu diskusi lanjutan  tentang kehadiran kantin sekolah seperti apa nantinya. Tapi nihil. Kini satu persatu  bergeser, kembali menjepit buku menuju kelas. Tinggal aku sendiri menuntaskan segelas  kopi yang sudah kelihatan ampasnya. Entahlah, selepas guru-guru pergi, aku dihantui perasaan was-was. Apa yang dijual Bu Eni dan pengelola kantin lainnya ketika anak-anak sudah kenyang dengan paket makan siang gratis itu. Diganti dengan Snack? Lalu bagaimana Bu Eni dan lainnya melanjutkan hidup bersama anak-anaknya di rumah? Sepuluh hari lagi masuk Januari. Waktu yang ditentukan untuk Makan Bersama Gratis. Ada teka-teki yang belum terjawab.

                                                                                        Pamboang, 21/12/'24

                                                                                        Wahyudi Hamarong













Posting Komentar untuk "Periuk Kosong Bu Eni"