Merah Putih di Dada Matt

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                Sumber foto: https://pixabay.com/

Suatu hari di awal tahun 1950-an. Angin sore itu  berhembus pelan, seolah mengelus helai-helai rambut pirang yang kusut oleh kesedihan dan  mengusap lembut air mata di pipi anak itu.  Matthijs Raharja, seorang lelaki kecil  yang tengah meratapi kepergian ayahnya untuk selamanya. Rambutnya yang kuning dibiarkan kusut selama berhari-hari. Pikirannya dari  tadi dipenuhi dengan kenangan bersama sang ayah. Sosok tinggi besar itu tak ada lagi. Pergi meninggalkannya akibat  di dera serangan jantung di subuh yang dingin. Seketika lamunannya  buyar saat mendengar percakapan ibu dan pamannya, Om Rey dari balik dinding balkon tempat ia merenung.

“Ya, aku akan kembali ke Jawa Barat, akan kubawa Mat bersamaku dan memulai hidup baru di sana.” Suara lembut dari sang ibu, sosok yang sangat  berarti bagi Mat.

“Tidak apa-apa, aku mengerti perasaanmu. Rumah ini pasti menyimpan banyak kenangan, namun kenangan itu tampaknya menyakitkan untuk putra kecilmu.” Balas  Om Rey dengan suara  lirih. Dia melirik  ke  Mat yang sering termenung dengan mata berkaca-kaca ketika mendapati  sosok ayahnya tak lagi bisa disapanya.

Ibu Mat hanya tersenyum dengan anggukan pelan. Dia lalu mengalihkan pandangan pada putra kecilnya yang ternyata sudah menatapnya lebih dulu dengan mata birunya yang sayu di balkon. Hari itu mereka habiskan untuk mengemas barang-barang yang tersisa. Itulah hari terakhir Mat kecil dan ibunya tinggal di rumah itu. Setelah semuanya siap, mereka pun masuk ke dalam mobil. Perjalanan panjang yang akan memakan waktu berjam-jam itu baru saja dimulai.

Sepanjang jalan, Ibu dan Om Rey asyik bercerita tentang masa kecil mereka di kampung, sesekali diselingi tawa dan nostalgia. Namun di antara cerita-cerita itu, Ibu Mat sempat menyelipkan kekhawatirannya tentang anak blasterannya, Mat.

"Rey, apa Mat akan diterima di sana?" tanya Ibu, suaranya tiba-tiba terdengar sendu. Tatapannya mengarah pada Mat yang sedari tadi diam, mendengarkan percakapan mereka dari kursi belakang.

“Semoga saja!” Balas Om Rey dengan senyum tipis yang tampak ragu.

Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba di tempat tujuan. Mobil berhenti tepat di depan rumah nenek Mat. Perempuan tua itu  menunggu sejak tadi di ambang pintu. Senyumnya merekah, ada rona  bahagia memancar dari wajahnya yang keriput. Hal yang  kontras dengan ekspresi  kumpulan anak-anak seusia Mat di ujung jalan tadi. Satu demi satu  menatap sinis ke arahnya. Mat mencoba membalas tatapan anak-anak itu dengan senyuman namun tidak berhasil, mereka malah pergi menjauh seolah eksistensi Mat tidak diinginkan di sana.

“Ibu, mengapa mereka pergi?” Ucap Mat dengan lirih. Suaranya ternyata tidak cukup keras untuk mendapat jawaban dari sang ibu yang perhatiannya sebagian besar tertuju pada nenek Mat saat itu. Malam tiba dengan sunyi yang berbeda dari malam-malam yang Mat kenal di Jakarta. Tak ada suara kendaraan, hanya bunyi jangkrik dan desir angin yang menyusup lewat celah jendela kayu.

 Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya, Pohon-pohon di depan rumah masih menggigil disapa embun semalam. Tampak kupu-kupu mulai mencicipi bunga matahari yang bermekaran. Mat dengan seragam sekolah barunya yang sedikit kebesaran berjalan menyusuri jalan sambil memegang tangan sang ibu menuju sekolah barunya. Di sekolah desa itu, Mat menjadi pusat perhatian sejak langkah pertamanya memasuki gerbang.

"Ibu, apa aku boleh pulang kalau mereka tidak suka?" bisiknya sebelum berangkat.

Ibu mengusap kepalanya lembut. "Coba dulu, Nak. Dunia tidak selalu hangat, tapi kamu bisa tetap jadi sinar."

Saat di kelas, guru memperkenalkan Mat dengan singkat. Seisi kelas diam, tak ada tepuk tangan dan sapaan ramah. Tersisa hanya keheningan yang menyesakkan. Semua orang duduk berpasangan kecuali dirinya. Mat  diberikan tempat duduk di sudut belakang kelas. Meskipun guru dan murid lainnya tampak tidak ramah ia terus berusaha untuk tetap fokus belajar.

Waktu istirahat telah tiba, Mat membuka bekalnya di bangku taman kecil sekolah untuk menghindari sesaknya kelas. Tiba-Tiba beberapa anak mendekat, melihat isinya, lalu berkomentar setengah mengejek,

“Itu apa? Roti? Bukan nasi?” ujar Bagas di tengah kerumunan gengnya.

Anak-anak lain kemudian tertawa sesaat setelah Bagas mengucapkan hal itu. Mat hanya menunduk dan terdiam sambil menggenggam erat roti seolah itu satu-satunya yang membuat Mat bertahan di tempat asing ini.

Siang harinya saat pulang sekolah, Mat melewati sekelompok anak-anak tetangga yang sedang bermain sepak bola. Salah satu dari mereka berteriak keras.

“Hey, anak Belanda! Tangkap bolanya!” Bola itu melesat  ke arah Mat. Tawa mereka pecah, tapi bukan karena lucu.

Mat diam. Ia berjalan lebih cepat, menolak menoleh ke belakang. Tapi sorot matanya sudah tak bisa menyembunyikan perasaan kecewa, lelah, dan asing. Hari-hari berlalu tanpa banyak berubah. Tatapan itu masih sama, dingin seolah menembus kulit dan menolak kehadirannya. Bisikan-bisikan lirih yang terpotong saat ia lewat masih terdengar cukup jelas dan membenamkan luka.

Hari ini  suasana kelas ramai. Ada  tugas kelompok.  Budi terlihat bingung. Dia nampak kesulitan mengerjakan tugas menggambar peta karena  pensil warnanya patah. Mat memperhatikan dari bangkunya, lalu dengan Langkah ragu mendekatinya.

“Kau butuh ini?” sambil menyodorkan pensil warna miliknya, pensil pemberian ayahnya yang selalu ia simpan dengan baik.

Budi awalnya menatap ragu dan bingung, tapi akhirnya mengangguk dan menerima.

“Terima kasih,” ucapnya.

Sejak hari itu, Budi yang awalnya hanya diam ketika Mat diejek mulai membela, bahkan tidak ragu untuk menemani Mat makan dan belajar setiap hari.  Ketika Agustus datang, semangat kemerdekaan membakar desa, Mat membantu membuat gapura dari bambu di depan sekolah. Tubuhnya yang menonjol di antara sebayanya  memanjat tiang setinggi empat meter dan mengecat huruf “Dirgahayu”. Mat juga baru saja ngos-ngosan dari rumahnya mengambil kain merah putih peninggalan ayahnya.

“Aku ingin mereka tahu, aku pun mencintai Indonesia,” gumamnya di suatu hari menatap bendera merah putih yang berkibar di setiap sudut desa.

Mengadakan lomba di hari kemerdekaan telah menjadi tradisi di desa itu. Semua orang berkumpul di lapangan untuk menyaksikan dan mengikuti berbagai perlombaan termasuk Mat, yang sangat bersemangat mendaftarkan diri dalam beberapa kegiatan di antaranya.

“Baik, sebelum lomba dimulai, kita akan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Siapa di antara adik-adik sekalian yang berkenan memimpin lagu hari ini?” Suara Kepala Desa menggema ke seluruh penjuru lapangan. Tanpa ragu, Mat mengangkat tangan. Ia kemudian maju dan memimpin sekelompok anak menyanyikan lagu kebangsaan sore itu.

Kemudian saat lomba tarik tambang berlangsung, salah satu peserta terpeleset dan talinya putus, Mat cepat tanggap mengulurkan tangannya untuk membantu peserta tersebut berdiri lalu berlari ke pos panitia untuk mengambil tali yang baru. Dengan bantuan Mat, lomba kembali berjalan dengan lancar. Ketika lomba usai, Kepala Desa mengucapkan terima kasih kepada Mat.

“ Terima kasih untuk, Mat yang sudah membantu selama acara berlangsung. Semangatmu luar biasa, Nak.”

Mat tersenyum dan untuk pertama kalinya merasa benar-benar dilihat. Semua orang memerhatikannya, bukan karena warna rambut atau matanya, tapi karena kepeduliannya. Budi menepuk pundak Mat mengekspresikan rasa bangga kepada temanyang baru saja akrab dengannya.

Sejak hari itu, semuanya berubah. Anak-anak yang menatap sinis mulai mengajaknya bermain, warga yang dulu berbisik pelan mulai menyapa ramah. Mereka akhirnya mengerti, Mat bukan warisan kekejaman masa lalu. Ia menatap langit jingga yang memancarkan sinar seolah memeluknya hangat sambal berkata dalam hati,

“Ayah, lihatlah… aku mulai diterima di rumah kita yang baru.”

 

                                        Karya: Ayu Ramadhani, XII-1. UPTD SMAN 1 Pamboang

 

 

Posting Komentar untuk "Merah Putih di Dada Matt"