Sumber foto: Maskur Syair
Kebiasaan saya selalu menyempatkan bisa duduk di balai-balai yang terbuat dari irisan bambu petung yang terpojok di beberapa sudut kampung. Bagi saya ini ruang yang disiapkan untuk tetap mampu berinteraksi tanpa sekat baju dinas, jabatan, apatah lagi dengan tembok-tembok menjulang di ruang yang kaku. Seperti sore ini menjelang senja yang meredup, saya masih betah duduk bersama beberapa warga ngobrol tentang isu-isu yang sementara lagi menghangat. Di Tengah kepulan asap rokok dan cangkir-cangkir berisi kopi yang tinggal seperempat mengalirlah berbagai cerita tentang potensi anak-anak yang hobbi main bola, harga bahan pokok merangkak naik, nelayan yang pendapatannya lagi menurun akibat hempasan ombak dan terjangan angin kencang. Hal yang tak kalah menarik tentang rekrutmen ASN P3K yang sementara berjalan. Seorang teman usai menyeruput kopinya tiba-tiba mendekat.
“Pak Guru, bagaimana itu mamanya (istrinya), guru honorer ji kodong tiba-tiba tidak aktif BPJS anak-anak termasuk saya. Katanya karena guru honorer dan terdaftar di dapodik. Masalahnya anak ketiga sakit. Saya rawat di rumah saja dulu untuk sementara semoga sembuh.”
Saya menyimak maksud kalimat yang agak panjang itu. Saya mampu menyimak poin yang disampaikan. Kartu BPJS tidak fungsi, anak sakit, dan penyebabnya diduga karena guru honorer terdaftar di dapodik sekolah. Saya tidak mampu berargumen untuk menyangkal penyebabnya karena memang luput dalam pengetahuan saya. Tapi, Beberapa rekan yang masih nimbrung juga mengiyakan masalah itu.
Dalam sebuah laman Kompasiana.com yang ditulis oleh Yana Karyana memaparkan hal yang kurang lebih sama. Seorang guru honorer di kota Tangerang yang menanyakan tentang BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Guru itu akan mengubah status pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk(KTP) dari guru menjadi ibu rumah tangga untuk kepentingan berobat. Alasannya, kalau status guru maka BPJSnya tidak akan aktif.
Tentu saja pertanyaannya mengapa kepesertaan BPJS menjadi tidak aktif yang sebelumnya bisa digunakan untuk berobat ke puskesmas sampai ke rumah sakit rujukan? Apalagi masalah ini juga berimbas kepada anak dan suami atau istri sebagai tanggungan. Jika asumsi yang terbangun bahwa para guru honorer mendapatkan gaji dari pemerintah ataupun yayasan maka dapat dipastikan kalau besarannya sangat kecil. Sebagai contoh besaran gaji guru honorer di sekolah saya sesuai aturan yang ada hanya Rp.15.000 per jam dan sebulan hanya dikisaran Rp.300.000,- Besaran gaji yang sangat rendah. Nominal ini sangat tidak menutupi antrean pemenuhan kebutuhan pokok di rumah para guru honorer. Apalagi kalau klaim kepesertaan BPJS tidak bisa digunakan. Tentu lebih berat lagi.
Memang benar adanya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti mengumumkan tentang peningkatan tunjangan guru Non ASN yang telah tersertifikasi sebesar Rp. 2.000.000. untuk yang lulus PPG tahun 2024 dan penambahan tunjangan guru Non ASN yang telah sertifikasi sebelum tahun 2024 sebesar Rp.500.000,- dari sebelumnya sebesar Rp.1.500.000,-. Tapi semua itu sama sekali belum dirasakan oleh para guru honorer yang selama ini berdiri sejajar di depan dengan guru ASN dalam membangun sumber daya manusia negeri ini.
Tentu pertimbangan para guru honorer yang kepesertaan BPJS menjadi tidak aktif sejak masuk dalam dapodik menjadi masalah yang krusial bagi mereka dan anggota keluarganya. Di samping gaji dan tunjangan sebagai guru honorer sangat kecil masih jauh dari standar upah minimum juga akan semakin berat dengan pemutusan BPJS menjadi tidak aktif. Pemerintah sebagai eksekutor kebijakan perlu meninjau ulang dasar pertimbangan berkaitan dengan kepesertaan BPJS dengan jalan mengaktifkan kembali kepesertaan BPJS untuk para guru honorer dan anggota keluarganya.
Posting Komentar untuk "Guru Honorer Resah Kepesertaan BPJS menjadi tidak Aktif"