Cerpen: Dua Puluh Persen

 

Cerpen:

Dua Puluh Persen

Oleh: Wahyudi Hamarong 




                “Ditunggu di Dinas pukul 09.00!” Sebuah pesan singkat masuk di nomorku. Kulirik alamat pengirim. Drs. Rudi Amir Daud, M.Pd. Aku tertegun, mereka-reka urusan belakangan ini yang berhubungan dengan kepala dinas.  Sia-sia.

“Saya ke dinas, ada panggilan mendadak. Kalau ada tamu,  tolong dilayani!” Pesanku ke Pak Budi, Wakaur Kurikulum  seperti biasa kalau tinggalkan sekolah.

Bokongku segera mendarat di atas sadel motor yang mulai pecah-pecah di panggang matahari. Aku melirik benda bulat dipergelangan tanganku. Pukul 08.31. Motorku meraung-raung meyalip beberapa kendaraan  yang  masuk menghalangi. Sebuah mobil balik menyempritku dengan lengkingan panjang menghardik  tak mau kalah.

“Tunggu sebentar,  Bapak lagi keluar!  Kira-kira sepuluh menit  lagi sudah balik.” Seorang pegawai  perempuan berambut sebahu mendekat sambil mengulur tangan menyalamiku. Aku lebih gesit membalasnya.  Aku lama tertegun dalam ruang berukuran sekira  lima kali lima meter. Ku amat-amati benda-benda yang terpajang . Gambar  Presiden dan Wakil Presiden begitu berwibawa dalam balutan jas  warna hitam. Sebuah mesin pendingin menempel di dinding  dan mengirim hawa sejuk  ke seluruh ruangan.  Beberapa bundel  berkas tersusun kurang rapi pada rak-rak segi empat.

Aku agak kaget juga sekonyong-konyong Kepala Dinas  sudah duduk di depanku sambil menggeser posisi duduknya. Perawakannya yang besar dengan rambut seperti lidi-lidi  yang ditancapkan membuatku jadi  agak kikuk. Sejenak dia menatapku dengan pandangan menyelidik.

“Begini, Pak Indra, Sekolah Bapak saya masukkan sebagai penerima dana   DAK tahun ini untuk pembangunan empat ruangan kelas bertingkat baru sesuai usulanmu dengan anggaran Rp.652.000.000 juta. Dana ini dikelola dengan sistem swakelola. Artinya Bapak sebagai pengelola dana untuk pembangunan itu dan sekaligus sebagai penanggung jawab.” Kalimat-kalimat pembuka meluncur dari bibir sambil mengepulkan asap . Fikiranku mencoba focus mencerna makna kalimat-kalimat yang meluncur. Terasa semakin asing.

“Tapi tidak usah pusing, semuanya akan dilaksanakan oleh anggota saya sampai selesai. Bapak tinggal  menerima  dan tanda tangan saja. Termasuk tim pemeriksanya, semuanya sudah diatur. Hanya saja saya minta jatah dua puluh persen dari anggaran itu.

“Tapi, Pak….itu terlalu banyak.”Kataku menyela di selingi keringat dingin.

“Uang itu nanti bukan cuma untuk Saya. Saya hanya dapat lima persen. Lima belas persennya untuk yang di atas apalagi sebagai incumbent. Butuh dana besar” Kalimat itu mengunciku. Aku hanya menyipitkan pandang sejenak.

“Tapi,apa jadinya gedung itu nantinya dengan anggaran yang sudah terpotong begitu?” Ujarku pelan.

“Begini saja, kalau Bapak menolak saya akan alihkan, daftar tunggu banyak dan tunggu mutasi untuk Bapak!” Aku kembali diam dan tak berkomentar apa-apa lagi.

“Minggu depan  sudah mulai dikerja. Harap segera difasilitasi dananya. Untuk  dua puluh persennya nanti saya yang menelpon.” Aku tak bersemangat lagi menanggapinya.

“Permisi,Pak!” Aku menggamit tas hitamku dan berlalu dari hadapannya. Beberapa pegawai yang saya kenal menyapaku. Aku hanya membalasnya dengan senyum kecut.

Daun-daun  berguguran dari Mahoni dan Ketapang  yang meranggas menyisakan sampah yang beterbangan dihempas angin timur yang meletup-letup. Beberapa siswa yang berseliweran dengan aktivitas belajar di berbagai tempat sontak menunduk dan menutup mukanya. Sementara yang lain berlarian masuk ke kelas. Kemarau  yang panjang kali ini menyisakan kekeringan yang merata di semua tempat. Saluran air yang menjalar di berbagai sudut gedung   tak menyisakan air setetes pun.

Aku masih di ruangan ini. Sebuah ruang  tempat aktivitas rutinku sebagai kepala sekolah sejak enam bulan lalu. Di ruangan ini pula aku menelorkan konsep-konsep pengembangan sekolah yang diamini oleh para guru. Aku menjadikan mereka sebagai teman kerja dan bukan melulu bawahan. Pelan tapi pasti semangat bekerja dan merasa memiliki hadir menelusup dalam setiap aktivitas mereka. Mereka merasa dihadirkan dalam setiap program sekolah. Aku sendiri terpilih jadi kepala sekolah berdasarkan seleksi Kemdiknas melalui program  seleksi yang ketat. Tidak seperti kepala sekolah lainnya yang terangkat karena factor koneksi tanpa lulus seleksi cakep sekalipun.

Pikiranku masih menerawang pada pertemuan dengan kepala dinas kemarin. Terbayang uang seratus tiga puluh juta lebih yang akan menyusup gratis ke kantong-kantong Bapak-Bapak itu setelah pengerjaan bangunan berjalan. Di sisi lain, Aku atas nama sekolah harus mampu menyembunyikan dalam laporan pertanggung jawaban nantinya. Pelan, Aku meraih berkas itu di atas meja. Detil kubuka lembar-lembar perencanaan bangunanan itu kembali  mulai dari latar,maksud, tujuan, RAB sampai gambar bangunan nantinya. Sangat megah. Terbayang siswa yang berebutan minta dipindahkan ke ruang itu nantinya, terutama kelas X yang masih tinggal digedung lama yang dindingnya retak-retak, bahkan ada satu yang menganga selebar tiga sentimeter. Dengan potongan duapuluh persen pasti jauh dari mimpi yang tertera pada gambar ini.   Aku   menghela nafas panjang.

 

Truk-truk pengangkut material bangunan sudah masuk ke  sekolah dan meletakkan bahan-bahan itu di halaman depan yang cukup lapang. Batu-bata, tiang besi, semen, pasir,kayu bertumpuk-tumpuk di beberapa bagian. Beberapa tukang batu mengangkut beberapa bahan lebih dekat ke lokasi yang akan di bangun. Sementara yang lain merangkai batang-batang besi menjadi tiang. Panas yang memanggang membuatnya  sesekali berteduh sambil   menyeka peluh yang menetes. Pembangunan gedung berlantai sudah berjalan sepuluh hari.

“Kenapa tiangnya hanya besi 8 senti bukan besi 12? Terus kenapa tidak di cakar ayam padahal ini gedung bertingkat?” Tanyaku dengan intonasi tinggi.

“Maaf, Pak, Kami hanya pekerja lapangan dan tinggal menerima perintah.” Seorang kepala tukang mendekat dan menjelaskan pertanyaanku. Aku berlalu saja tanpa memberikan komentar apa-apa lagi.

Senja  mulai temaram di kaki langit menyisakan lembayung yang sebentar lagi memudar dan lenyap, beberapa burung  Camar masih mengepakkan sayap melintas  dan mendarat di dahan-dahan Bakau yang meranggas. Pun dari sini,masih kelihatan ombak yang berusaha menjilat-jilat bibir pantai di balik pantulan surya yang meredup. Beberapa nelayan mendorong perahunya dan mulai menyibak laut dengan dayung. Tapi ada pula yang menggunakan mesin.  Panorama itu kunikmati dari beranda rumahku yang menghadap ke pantai. Rumah  yang kuhuni bersama istri dan dua orang anak sejak sepuluh tahun silam. Sebuah rumah panggung dengan beberapa tiang penyangga khas Sulawesi umumnya. Di bawah kolong rumah mematung sebuah balai-balai beralas bilah-bilah bambu tempat santai  mengisi hari.

“Ini kopinya,Pak.” Istriku menuangnya ke dalam gelas sambil dan meletakkan pisang goreng yang masih mengepul. Dia  mengamatiku sejenak sambil duduk di kursi yang lain.

“Kalo saya perhatikan akhir-akhir ini, sepertinya banyak yang kita pikirkan.  Kentara sekali ki dari asap rokokmu yang tidak berhenti mengepul. Kenapa ki?”Aku tidak langsung menanggapi pertanyaan itu, tapi masih menghembuskan asap rokok yang mengudara tak tentu arah.

“Aku akan mundur jadi kepala sekolah, saya tidak mau dipasung seratus tiga puluh juta rupiah yang harus dipertanggungjawabkan tapi dikantongi kepala dinas dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.” Ujarku agak emosi sambil kembali menghisap rokok. Istriku hanya tersenyum tanpa berkomentar apa pun. Dia hanya membetulkan letak taplak meja yang melorot. Selama ini dia langsung mengingatkan andai ada satu hal yang menurutnya tidak pas. Kali ini dia mengiyakan dengan senyum lesung pipinya yang membuatku fly sebelas tahun silam.

“Besok kita ketemu di Kafe Ilusi  di batas kota. Bawa sekalian uang itu!” Sebuah pesan pendek  masuk. Wajahku memerah di ikuti alis hitamku yang mengernyit. Terasa rahang-rahangku kaku tak  seperti biasanya.

“Ya.” Balasku lebih singkat.

Aku hanya membalas dengan senyum kecut beberapa sapaan dari antrean panjang pengunjung Kafee yang menanti menu makanan yang dipesan. Aku langsung menuju Kepala Dinas yang menyiapkan kursi kosong untukku. Kami duduk berhadap-hadapan. Terasa agak kaku memang, tak jauh beda ketika awal bertemu di kantor  hampir sebulan lalu.

“Bagaimana?” Tanyanya lrih hampir tak jelas.

Kupahami maksud  tanya singkat itu. Ku tarik napas dalam-dalam sekedar menggenapkan kekuatan agar kalimat yang keluar lebih tegas dari pertanyaan itu.

“Maaf,Pak…..Saya minta mudur jadi kepala sekolah. Lebih baik saya kembali jadi guru biasa. Saya tidak sanggup memenuhi permintaan dua puluh persen itu.” Jawabku dengan jelas. Dia mengulitiku lebih tajam. Kami bersitatap beberapa detik. Giginya gemeretuk menahan marah.

“Baiklah kalau begitu, kamu akan saya copot dalam minggu ini juga!”

“Tidak apa-apa, saya ikhlas.” Jawabku sambil beranjak dengan tidak bersalaman lagi karena kupastikan dia akan menampik.

Dua helai surat menggemparkan warga sekolah. Mempertanyakan pemberhentian Aku sebagai kepala sekolah yang hanya menjabat enam bulan dan kembali jadi guru biasa. Mereka bereaksi keras menentang dengan mengajukan tanda tangan penolakan. Melalui  sebuah rapat yang dihadiri semua guru dan staf, Aku membeberkan berbagai hal.

“Pada dasarnya jabatan itu amanah, tidak ada yang aneh dalam hal ini. Kewenangan mutasi ada pada pemimpin dalam hal ini kepala dinas yang di -sk -kan oleh bupati. Kita hanya bawahan, kita hanya pekerja berusaha memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak kita. Jadi, saya akan mengajar kembali seperti biasa di sekolah ini, kembali satu meja dengan Bapak dan Ibu semua.”

“Tapi,Pak?” Pak Idham menyela penjelasanku.

“Bapak rasa cukup, mari kembali bertugas seperti biasa!”  Mereka bubar dengan ekspresi ketidakpuasan. Sampai pulang hari itu sk mutasiku masih trending topic local sekolah.

Seorang kepala sekolah baru masuk menggantikanku. Dia baru pertama kali  terangkat. Menurut informasi selentingan, beliau kerabat kepala dinas minus lulus seleksi cakep sebagai  salah satu syarat selama ini. Agak keras memang, semua arahan dalam bentuk komando. Semuanya harus di ikuti tanpa penolakan. Suasana sekolahseperti bara api yang memanggang penghuninya. Tapi, bagi aku biasa-biasa saja, sepanjang saya menjalankan tugas mengajar dengan baik itu sudah cukup.

Mentari menyembul dari balik bukit yang menaungi sekolahku. Sinarnya menembus sela-sela daun Mahoni dan Mangga yang masih berdiri kokoh meski masih tetap meranggas dihempas kemarau. Sisa-sisa embun semalam mencair di ujung sepatuku yang bergesekan dengan rumput-rumput kering. Aku menuju gedung  yang baru saja diresmikan oleh kepala dinas tiga bulan lalu. Di lihat dari kejauhan gedung ini kokoh dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bangunan-bangunan lainnya. Cat warna putih kelihatan  kontras dengan warna gedung lainnya yang mulai memudar. Aku menyapa para siswa dengan hangat sambil sesekali bercanda sekedar menstimulus mereka dengan materi yang akan aku ajarkan. Mereka sibuk berdiskusi kecil  untuk memecahkan beberapa soal yang akan dipresentasikan jawabannya. Setelah memberikan beberapa penguatan aku meminta izin sebentar  ke toilet yang agak jauh.

“Maaf, Pak ….baju ta kena cat!”  Ritno menegurku dengan dialeknya yang khas. Aku memeriksanya.

“Mengapa belum kering ?” Tanya hatiku tanpa berucap.

“Tidak apa-apa, nanti Bapak sekalian bersihkan di tolilet saja, Bapak tinggal dulu ya sebentar!”

“Ia,Pak!” Jawab mereka serentak.

Aku bergegas menuju toilet guru yang agak jauh dari tempatku mengajar. Sengaja tak memilih tolilet siswa karena  kadang kurang terawat meskipun lebih dekat.

Beberapa meter dibelakangku sebuah dentuman keras terjadi.

“Tolong-tolong!!!” Aku mencari sumber keriuhan suara-suara itu.  Siswa berhamburan dari kelas yang ku tinggalkan sejenak. Mereka histeris mencari penyelamatan. Aku kesetanan mendapati belasan siswa yang terkapar bersimbah darah dan tergeletak begitu saja di bawah puing reruntuhan lantai dua gedung baru. Debu beterbangan ke udara. Tulang-tulang besi tercabut dari dinding-dinding tempatnya menancap. Hanya satu yang Aku ingat , “Dua Puluh Persen.” Setelahnya tak ingat apa-apa lagi.

Pamboang, 05 Oktober 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5 komentar untuk "Cerpen: Dua Puluh Persen"

  1. Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas

    BalasHapus
  2. Pandangan dan cerita yang dituang penulis mengenai korupsi dan suap yang menyebabkan berbagai masalah dan bahaya sangat menyayat hati dan mudah diterima. Meskipun cerita ini sedikit sulit untuk dipahami dan perlu disimak dengan baik karena mengangkat kisah yang berat, namun cerita yang dituang dapat tersampaikan dengan baik terutama untuk saya pribadi. Kalimat yang penuh kiasan indah yang diselipkan dalam cerita juga sangatlah bagus.

    BalasHapus
  3. Pendangan penulis yaitu mengenai terjadinya korupsi dan suap yang dilakukan oleh atasannya namun, dia menolak dan mundur dari jabatan karena mempertahankan amanah, tanggung jawab, dan mementingkan keselamatan serta hak orang banyak. Yang digantikan oleh orang lain untuk melanjutkan pembangunan sekolah yang mengakibatkan masalah serta membuat orang dalam bahaya karena pembangunan yang dananya kurang harus dicukupkan sebab korupsi yang dilakukan oleh atasan. Cerita ini dapat mengajarkan kepada kita untuk menjaga amanah yang diberikan kepada kita dalam menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin, disiplin, jujur, bertanggung jawab. Jangan melakukan korupsi karena orang yang korupsi hanya mementingkan diri sendiri, menyusahkan dan merugikan orang lain. Cerita ini menarik dan bisa menjadi pembelajaran ke depannya sebagai pemimpin yang lebih baik. Menurut saya, cerita ini lumayan sulit untuk dimengerti dan perlu disimak/dibaca berulang kali.

    BalasHapus
  4. Jika seseorang melakukan pekerjaan yang tidak halal maka, hasil dari pekerjaan itu juga tidak akan baik atau berantakan. Seperti dalam cerpen ini yang pihak atas yang melakuan korupsi dan suap sehingga pembangunan yang dibuat menjadi roboh diakibatkan tidak kuatnya bahan yang digunakan.

    BalasHapus
  5. Menurut saya ceritanya sudah bagus. selain itu, keputusan yang diambil oleh pak Indra sangatlah bagus karena menolak dengan keras korupsi yang marak terjadi di kalangan atas dengan memanfaatkan kekuasaannya meskipun tidak semuanya seperti itu.

    BalasHapus