Guratan Luka Mama



                                                                                        Sumber Ilustrasi: Fixabay.com     

“Nak.. Adikmu dah sarjana, coba urus dulu biar tidak di rumah terus…Mama ingin dia  di sini saja bersamaku.” Aku hanya mengangguk pelan takut bikin kecewa Mama. Rina anak bungsu  selisih 6 tahun dari aku. diantara  tujuh bersaudara   dia satu-satunya perempuan dan baru saja selesai kuliah. kuliahnya di perguruan tinggi pavorit dan memilih jurusan bahasa Inggris  sebagai pilihan utamanya sejak awal.

Aku sudah mencoba bicara dengan kepala sekolahku tentang keinginan Mama sekaligus keinginan Rina. Alhamdulillah, Kepala sekolah memberi respon menerima. Tapi, sebagai pelamar kerja tetap  wajib masukkan surat lamaran.

“Ma, Rina sudah bisa mengajar Senin depan. Kepala sekolahku sudah menerima . Kebetulan, guru bahasa Inggris masih lowong. Berkasnya juga sudah masuk.” Kalimat-kalimatku begitu detil dicermati Mama tanpa umpan balik. Jelas sekali rona bahagia terpancar dari  wajahnya yang sudah keriput. Ada gerak  nafas lega dari balik kebaya coklat  yang selalu dipakainya selain daster.  Setetes air bening mengalir di atas flek-flek  hitam yang menempel dekatan dengan hidungnya. Jari telunjuk yang tak halus lagi menyeka  air matanya sendiri sambil berlalu ke dapur menyiapkan secangkir teh dan kue untukku.

“Rina, Ada ji baju dinasmu untuk mengajar nanti? Trus, Mama lihat sepatumu masih sepatu yang kau pake waktu kuliah dulu. Ini ada uang mama sedikit, cukup untuk jahit kain dan beli sepatu baru.” Mama pelan mengangsur uang seratus  tiga  lembar. Rina menerimanya tanpa bicara apa-apa. Memang, lepas kuliah praktis tak punya punya uang. Tidak seperti waktu kuliah dulu, setiap bulan dapat biaya hidup meski  lebih sering tidak cukup. Mama dapat gaji bulanan dari pensiun Papa  yang pangkat terakhir hanya IId. Penjaga sekolah.

Sejak Rina kuliah Mama bersamaku di rumah hasil peninggalan Papa enam tahun yang lalu. Rumah itu tidak terlalu luas, berdinding papan, beratap rumbia, kamar tiga petak, kolong rumah dipagar bilah-bilah bambu. Hanya halaman yang luasnya cukup untuk main gobak sodor. Olahraga idola anak-anak kampung.

Lembayung di kaki langit mulai pudar, awan berarak membentuk gumpalan serupa bukit-bukit di belakang rumah. Tapi, sepertinya bukan pertanda rinai hujan akan turun. Penghuni jagad pun  sudah kembali ke pelukan malam sambil memuja keagungan Ilahi. Tapi,mungkin ada juga yang masih sibuk dengan setumpuk urusan duniawi.

Aku sendiri masih duduk di hamparan sajadah di kamar yang sudah diubah menjadi ruang salat. Kuselesaikan bacaan surah pendekku sembari menunggu  sholat Isya yang tinggal beberapa menit lagi.. Sayup kudengar bunyi Adzan dikumandangkan dari surau yang jaraknya setengah kilo dari rumah. Jujur, karena jarak itu, membuatku agak jarang ke sana. Aku salat Isya bersama Mama saja karena Rina ternyata “datang bulan”. Lirih kulantunkan bacaan demi bacaan dengan khusuk. Kulapazkan dengan irama serupa imam masjid Al-Azhar.

          Kami termasuk keluarga besar. Mama dan Papa punya anak tujuh. Hendra anak pertama bekerja di perusahaan tambang di Kalimantan setelah tamat kuliah. Kini, punya anak dua. Kadang bisa pulang hanya  satu kali dalam  dua tahun. Itu pun  tak lebih dari dua belas hari. Hubungan kekerabatan memang  terasa agak renggang. Rinto anak kedua juga sudah berkeluarga dan bekerja sebagai pegawai negeri  di Papua  lima tahun yang lalu. Untungnya, dia menikah dengan pacarnya dulu di kampus dari suku yang semarga dengan kami. Bukan suku asli Papua yang kelasnya di mata orang  kampung begitu dipandang sebelah. Mungkin, karena paras dan warna kulitnya kontras dengan orang-orang di kampung kami. Dia hanya pulang kalau kami kabari tentang keadaan mama yang sakit-sakitan. Dua saudaraku yang lain mengikuti suaminya sebagai pimpinan cabang bank. Mereka tidak menentu tempat tinggalnya. Kadang di Yogya, Balikpapan, Makassar dan beberapa kota lainnya. Mereka lebih jarang lagi pulang. Hanya satu kali dalam lima tahun. Mungkin mereka beranggapan  kalo teknologi adalah solusi untuk mengatasi jarak. Lewat HP sudah cukup. Anak kelima Idwar. Dia meninggal  ketika umurnya kisaran 12 tahun. Malaria yang ganas merenggut nyawanya dalam pelukan Mama di rumah sakit kabupaten. Aku sendiri anak ketujuh. Aku baru lima tahun bersama Mama lagi setelah kuliah di Makassar. Alhamdulillah terangkat jadi guru SMA sesuai dengan cita-citaku.  Anak bungsu adalah Rina. Sebenarnya, Dia  impian   almarhum Papa dan Mama lewat doa-doa sepanjang waktu di atas sajadah lusuh. Mereka mengharapkan ada anak perempuan dari sekian anaknya yang laki-laki . Seperti kebiasaan di kampung, mereka mungkin  sadar kalau anak lelaki akan mencari jalan hidupnya di rantau orang dan jarang yang mengadu nasib di daerah sendiri dengan berbagai alasan. Mereka belajar dari pengalaman tetangga yang merasa sebatangkara diusia senja.

          Seperti biasa, setiap anak perempuan adalah  tulang punggung untuk urusan rumah. Rina tiap harinya memasak, melap perabotan, menyapu halaman,  mencuci, menyiapkan obat Mama dan seabrek urusan lain di luar mengajar. Suatu ketika ada tugas pelatihan seminggu di kabupaten. Mama tidak langsung mengiyakan, juga tak banyak tanya karena tidak terlalu paham urusan sekolah. Tapi, dari wajahnya terbesit keinginan untuk tidak ditinggalkan selama itu. Benar saja, selama dia pergi aku yang kerepotan menjalankan beberapa tugas rumah. Yang jelas, dapur tak terurus, makan seperti anak kost. Trus, sampah bertumpuk di depan rumah karena tidak pernah dibuang. Yang jelas, akhir-akhir ini Mama kelihatan banyak merenung.

Untuk urusan hati Rina sama dengan perempuan lainnya. Beberapa cowok pernah bertandang ke rumah ngobrol dan bercerita tentang berbagai hal. Ada juga beberapa  yang sempat menjadi pacarnya meski tak pernah berlangsung lama. Mungkin tidak ada kecocokan diantara keduanya. Bahkan, pernah ada keluarga yang berniat melamar ke rumah tapi tak jadi karena Rina nyata-nyata menolak. Setelah kuselidiki ternyata mamanya sangat cerewet. Itu yang tidak disukainya. Padahal, mendengar itu Mama malah mengamininya. Maklum, keluarga sendiri.

Aku baru saja pulang dari sekolah. Kucopot pakaian dinas yang basah oleh peluh. Memang, siang ini terasa panas sekali. Gumpalan awan yang biasanya menghiasi langit tidak kelihatan kali ini. jalan  beraspal terasa mendidih dan mengepul dilewati kendaraan. Setelah solat dan makan, aku tertidur di  balai-balai yang terbuat dari bilah bamboo.

“Kak……Aku..Aku mau bicara…. Ada..ada orang yang mau datang melamar.” Kalimat itu menghentikan aktivitasku membaca Koran. Aku mendadak jadi serius dengan kalimat barusan. Rina mulai menunduk.

“Siapa yang mau datang?” Tanyaku singkat. Kuamati Rina gugup dengan pertanyaan ini. Dia menarik nafas panjang.

“Erwin…teman kost Kakak di Makassar dulu.” Aku diam. Mendengar nama itu Aku  dipaksa mengurai kembali moment-moment kuliah dulu. Aku sangat hafal dengannya meski beda kampus. Orangnya cerdas, solider, peduli dengan orang lain dan ramah dengan siapa saja. Aku sering pinjam motornya untuk ketemu dosen, cari bahan kuliah bahkan sekali waktu kupakai kencan di malam minggu. Tapi, itu  delapan tahun yang lalu.

“Sekarang dia bekerja sebagai supplier pengadaan barang di daerah. Usaha itu dia bangun bersama temannya dengan patungan modal.”Rina mengurai beberapa info tentang Erwin untuk kunilai. Aku kembali terdiam sejurus. Otakku berputar-putar. Aku tidak ragu dengannya. Tapi yang membingungkan adalah bagaimana dengan Mama? Mungkinkah dia mau tinggal di kampung? Bagaimana kalau Rina memilih ikut dengannya? Jangan-jangan………”

“Kalau diterima dia akan di sini membuka usaha. Jadi mama tetap kan bersamaku.”Rina sepertinya hafal apa yang menjadi ganjalan dihatiku sehinnga aku tidak berkomentar dari tadi.

“Baiklah, aku coba sampaikan ke Mama.” Jawabku singkat.

Mama baru saja usai shalat Isya. Biasanya kalau sembahyang agak lama, mulai shalat fardu, berjenis shalat sunnah, belum lagi dzikirnya. Aktivitas Mama lebih condong kepada urusan akhirat. Sampai-sampai sepanjang waktu lingkar tasbih tak lepas dari permainan jarinya yang keriput.

“Ma…Tadi Rina cerita kepada saya. Katanya, ada orang tua laki-laki yang mau datang melamar. Dia teman kost aku dulu, namanya Erwin. Dia sarjana ekonomi, bekerja dengan usaha sendiri sebagai pemasok barang elektronik ke daerah. Dia akan membuka usaha di kabupaten. Setahu saya, dia orangnya baik. Mamanya sesuku dengan kita. Kalau papanya memang dari suku lain. Bagaimana Ma,.. Apa dia boleh datang?” Aku meyakinkan Mama tentang laki-laki itu.. Dia terdiam agak lama, entahlah, aku tidak tahu apa yang terbesit dipikirannya.

“Kamu anak laki-laki satu-satunya yang tinggal dengan Mama sebagai ganti papamu, tempat Mama berbicara tentang berbagai hal termasuk adikmu, Rina. Kalau menurutmu laki-laki itu baik, mau menerima keadaan kita, bisa menjaga martabat keluarga, Mama rasa sudah saatnya memang adikmu mendapatkan pendamping….”Ada butiran bening menetes dari mata mata Mama yang terharu, bahagia dan sekaligus mungkin rasa sedih. Kurasakan sketsa wajah Papa bergelayut dalam pikirannya. Kesunyian menyelinap seusai pembicaraan kami. Hanya, deru kendaraan yang terdengar dari kejauhan.  terlihat bulan sabit bersinar di balik gumpalan awan. Pantulannya ke bumi hanya membias  remang-remang.

Sejak restu Mama, segalanya berjalan cepat. Rembuk keluarga, peresmian, akad nikah, dan pesta pernikahan semuanya sudah diputuskan termasuk berbagai prosesi adat dan berbagai ritual yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Aku hanya mengatur saja karena begitu banyak anggota keluarga dan tetangga yang datang membantu. Kalaupun ada beda-beda pendapat semuanya menuju pada satu titik saja. Memberikan yang terbaik. Ketika acara sujud kepada orang tua, aku melihat Mama memeluk Rina sambil berlinangan air mata. Mungkin ingat Papa yang tak lagi menjadi saksi anak terakhirnya. begitupun Rina. Membiarkan saja airmatanya membasahi pipinya. Ada keharuan yang mendalam di hati masing-masing dan khalayak.

            Penghuni rumah bertambah satu orang. Sabanhari Rina melayani suaminya. Sajikan kopi, sarapan, makan siang, makan malam, setrika pakaian dan tentu saja melayani suami sebagai istri dalam remang-remang malam ditingkahi suara cicak yang sembunyi dibalik sambungan tripleks yang mengelupas oleh air hujan yang merembes. Saya merasakan Mama agak terabaikan dengan kehadiran Erwin akhir-akhir ini. Biasanya, rutin tiap hari Rina menanyakan apa Mama sudah sarapan,trus  siapkan obat, pakaian, dan seabrek kebutuhannya yang lain. Focus Rina total berpindah ke Erwin sebagai suaminya. Kadang aku yang siapkan obat Mama kalau benda itu belum ada di meja lewat pukul tujuh, dan biasanya Mama minum pagi-pagi sekali. Halaman rumah yang biasanya bersih dari daun-daun ketapang kini berserakan tertiup angin timur yang menampar-nampar. Aku merasakan Mama membaca keadaan ini dari tatapan matanya mengguratkan sesuatu.

            “Kak, Erwin tidak jadi buka usaha di sini. Katanya belum prospektif.” Kalimat singkat itu mengikis konsentrasiku pada headline berita tentang Nazaruddin yang suap MK. Aku menatap wajah Rini tanpa berkedip mencoba membaca kalimat-kalimat selanjutnya yang masih tersimpan dalam hatinya.

“Saya sudah menyarankan agar di sini saja sambil mencari peluang usaha lainnya. Tapi, dia bilang belum saatnya untuk buka usaha. Menunggu  tiga tahun lagi. Jadi, maaf Kak… tiga kali saya di suruh memilih untuk ikut dengannya. Sampai-sampai ada hadist Nabi yang disampaikan tentang kewajiban istri ikut suami…Aku tak punya pilihan Kak.” Rini tertunduk lesu di kursi rotan tak mampu membaca reaksi kekecewaan yang terpancar jelas pada raut mukaku. Aku diam saja.

Sepekan aku diamkan masalah itu. Aku tak tahu cara terbaik untuk menjelaskan. Mungkinkah menerima dengan lapang untuk ditinggalkan oleh putri satu-satunya di saat usianya menatap senja? Sanggupkah Aku menggantikan Rini urus Mama ketika hipertensi dan jantungnya kumat? Mungkinkah Mama terima kalau kucarikan pembantu  saja? Bagaimana kalau dia menagih janji Erwin ketika  datang melamar dulu?

Pagi ini tak secerah kemarin. Mentari  hanya menyembul di antara gumpalan awan yang berkejaran ke utara. Sebentar lagi akan membentuk awan hitam. Kalau arah angin tak berubah,  biasanya  titik-titik hujan menjilat permukaan tanah dan memercik sembari mengalir mencari tempat yang paling rendah. Dari jauh sayup terdengar katak merindu hujan.

Mama baru saja memperbaiki jahitan bantal yang menganga sampai-sampai kapuknya beterbangan di seprei. Aku menatapnya dari jauh tapi tak berani bersitatap dengannya. Itu terjadi akhir-akhir ini saja. Biasanya Aku langsung menyapanya menanyakan apa saja sekaligus bentuk perhatianku selama ini. Tapi, kali ini kecemasan selalu mengepungku dari segala penjuru.

  Besok Adikmu berangkat ke Makassar dan selanjutnya akan tinggal di sana.” Aku seperti disambar petir di siang bolong. Aku gugup. Tak menyangka kalimat itu akan meluncur dari mulut Mama. Seperti ada sesuatu yang berusaha dipendam rapat-rapat. Tersembunyi di balik intonasi dan mimic yang tegas.

“Biarkan saja. Hidup adalah pilihan dan bukan hak Mama untuk menahan derap langkah Adikmu untuk mengikuti suaminya. Dia sudah menceritakan semuanya.” Mama melangkah ke kamarnya dan meningggalkan aku begitu saja yang masih kelu. Aku dikepung rasa bersalah, mengiyakan proposal Erwin meminang Rina dua bualn yang lalu.

“Bagaimana keadaanya, Dok?”

“Panasnya tinggi sekali. Bukan itu saja. Sepertinya beliau tertekan, ada masalah yang dipikirkan. Minumkan  saja obatnya secara teratur. Mudah-mudahan membaik.”

 Mama terbaring lesu di kamar perawatan sehari setelah Rini meninggalkan rumah mengikuti suaminya. Tetes bening mengalir pelan merembes di sandaran kepala mama. Semuanya karena Rini.

“Tidak berhakkah Mama menjalani  senja lewat sentuhan  tangan lembut putrinya?” Aku menggugat.

 

Pamboang, Medio Mei 2011

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

20 komentar untuk "Guratan Luka Mama"

  1. Cerita yang mengundang banyak bawang
    Pernikahan adalah momen sakral dan bahagia yang ditunggu-tunggu oleh pasangan kekasih yang akan segera menikah. Saat memutuskan untuk menikah, tentunya harus siap dengan siklus kehidupan yang akan banyak perubahan, salah satunya perihal jauh dari orang tua lantaran sibuk mengurusi keluarga.memang sulit rasanya ditinggal oleh anak perempuan satu-satunya dalam keluarga tapi apa boleh buat sebagai orang tua harus mengikhlaskan anak pergi bersama dengan suaminya.

    BalasHapus
  2. Kadang ada beberapa hal yang harus diterima oleh seseorang dalam menjalankan hidup, apalagi setelah seseorang itu telah menikah. Memikirkan antara menetap bersama keluarga atau ikut bersama suami. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang harus dipikirkan seorang anak perempuan dengan sebaik-baiknya karena meninggalkan keluarga terutama orang tua adalah suatu keputusan yang berat. Meninggalkan orang tua terutama ibu merupakan keputusan yang sangat besar apalagi jika orang tersebut adalah orng sangat berarti dalam hidup kita

    BalasHapus
  3. Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas

    BalasHapus
  4. Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas

    NUR ATISA YUNUS Xll ipa1

    BalasHapus
  5. Kadang ada beberapa hal yang harus diterima oleh seseorang dalam menjalankan hidup, apalagi setelah seseorang itu telah menikah. Memikirkan antara menetap bersama keluarga atau ikut bersama suami. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang harus dipikirkan seorang anak perempuan dengan sebaik-baiknya karena meninggalkan keluarga terutama orang tua adalah suatu keputusan yang berat. Meninggalkan orang tua terutama ibu merupakan keputusan yang sangat besar apalagi jika orang tersebut adalah orng sangat berarti dalam hidup kita.

    Umi Kalsum XII IPA 2


    BalasHapus
  6. masyaa Allah ceritanya menarik sekali

    Konita Nisrina XII IPA 2

    BalasHapus
  7. Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas

    Nur Alvira Basri XII IPA2

    BalasHapus
  8. Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.Memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas.


    Indri XII IPA 1

    BalasHapus
  9. Kadang ada beberapa hal yang harus diterima oleh seseorang dalam menjalankan hidup, apalagi setelah seseorang itu telah menikah. Memikirkan antara menetap bersama keluarga atau ikut bersama suami. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang harus dipikirkan seorang anak perempuan dengan sebaik-baiknya karena meninggalkan keluarga terutama orang tua adalah suatu keputusan yang berat. Meninggalkan orang tua terutama ibu merupakan keputusan yang sangat besar apalagi jika orang tersebut adalah orng sangat berarti dalam hidup kita


    Nurul Hikma XII IPA 1

    BalasHapus
  10. Saat memutuskan untuk menikah, tentunya harus siap dengan siklus kehidupan yang akan banyak perubahan, salah satunya perihal jauh dari orang tua lantaran sibuk mengurusi keluarga.memang sulit rasanya ditinggal oleh anak perempuan satu-satunya dalam keluarga tapi apa boleh buat sebagai orang tua harus mengikhlaskan anak pergi bersama dengan suaminya.

    Nismayanti XII IPA 1

    BalasHapus
  11. Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas.

    Nurfadila XII ipa 2

    BalasHapus
  12. Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas.

    Nuraeni kls Xll IPA 2

    BalasHapus
  13. Cerita yg sangat menarik dan mengandung banyak bawang sebagai seorang anak perempuan satu²nya yg telah menikah tentu sulit rasanya untuk meninggalkan org tuanya. Krna disaat kita memutuskan untuk menikah tentu kita harus siap untuk menjalani kehidupan yg baru bersama keluarga yg baru dan jauh dri org tua

    Nurul Arifah Hadiani XII IPA 1

    BalasHapus
  14. Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas.


    Atas nama Muh. Isra Arif kelas XII MIPA 1

    BalasHapus
  15. Menjadi seorang wanita memang bukan hal yang mudah kita memiliki kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua dan saat berkeluarga harus juga berbakti kepada suami tetapi adakalanya seorang wanita itu menengok atau kembali ke orang tuanya untuk mengurusnya sesekali.

    BalasHapus
  16. Cerita yang menarik yang mengundang banyak bawang
    Pernikahan adalah momen sakral dan bahagia yang ditunggu-tunggu oleh pasangan kekasih yang akan segera menikah. Saat memutuskan untuk menikah, tentunya harus siap dengan siklus kehidupan yang akan banyak perubahan, salah satunya perihal jauh dari orang tua lantaran sibuk mengurusi keluarga.memang sulit rasanya ditinggal oleh anak perempuan satu-satunya dalam keluarga tapi apa boleh buat sebagai orang tua harus mengikhlaskan anak pergi bersama dengan suaminya.

    BalasHapus
  17. Kadang ada beberapa hal yang harus diterima oleh seseorang dalam menjalankan hidup, apalagi setelah seseorang itu telah menikah. Memikirkan antara menetap bersama keluarga atau ikut bersama suami. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang harus dipikirkan seorang anak perempuan dengan sebaik-baiknya karena meninggalkan keluarga terutama orang tua adalah suatu keputusan yang berat. Meninggalkan orang tua terutama ibu merupakan keputusan yang sangat besar apalagi jika orang tersebut adalah orng sangat berarti dalam hidup kita.

    BalasHapus
  18. Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas

    Anshar Eka Putra XII IPA 1

    BalasHapus