“Nak.. Adikmu dah sarjana, coba urus
dulu biar tidak di rumah terus…Mama ingin dia
di sini saja bersamaku.” Aku hanya mengangguk pelan takut bikin kecewa
Mama. Rina anak bungsu selisih 6 tahun
dari aku. diantara tujuh bersaudara dia satu-satunya perempuan dan baru saja
selesai kuliah. kuliahnya di perguruan tinggi pavorit dan memilih jurusan
bahasa Inggris sebagai pilihan utamanya
sejak awal.
Aku sudah mencoba bicara dengan
kepala sekolahku tentang keinginan Mama sekaligus keinginan Rina.
Alhamdulillah, Kepala sekolah memberi respon menerima. Tapi, sebagai pelamar
kerja tetap wajib masukkan surat
lamaran.
“Ma, Rina sudah bisa mengajar Senin
depan. Kepala sekolahku sudah menerima . Kebetulan, guru bahasa Inggris masih
lowong. Berkasnya juga sudah masuk.” Kalimat-kalimatku begitu detil dicermati
Mama tanpa umpan balik. Jelas sekali rona bahagia terpancar dari wajahnya yang sudah keriput. Ada gerak nafas lega dari balik kebaya coklat yang selalu dipakainya selain daster. Setetes air bening mengalir di atas flek-flek
hitam yang menempel dekatan dengan
hidungnya. Jari telunjuk yang tak halus lagi menyeka air matanya sendiri sambil berlalu ke dapur
menyiapkan secangkir teh dan kue untukku.
“Rina, Ada ji baju dinasmu untuk mengajar nanti? Trus, Mama lihat sepatumu
masih sepatu yang kau pake waktu
kuliah dulu. Ini ada uang mama sedikit, cukup untuk jahit kain dan beli sepatu
baru.” Mama pelan mengangsur uang seratus tiga lembar. Rina menerimanya tanpa bicara apa-apa. Memang, lepas
kuliah praktis tak punya punya uang. Tidak seperti waktu kuliah dulu, setiap bulan dapat biaya
hidup meski lebih sering tidak cukup.
Mama dapat gaji bulanan dari pensiun Papa
yang pangkat terakhir hanya IId. Penjaga sekolah.
Sejak Rina kuliah Mama bersamaku di
rumah hasil peninggalan Papa enam tahun yang lalu. Rumah itu tidak terlalu luas,
berdinding papan, beratap rumbia, kamar tiga petak, kolong rumah dipagar
bilah-bilah bambu. Hanya halaman yang luasnya cukup untuk main gobak sodor.
Olahraga idola anak-anak kampung.
Lembayung di kaki langit mulai pudar,
awan berarak membentuk gumpalan serupa bukit-bukit di belakang rumah. Tapi,
sepertinya bukan pertanda rinai hujan akan turun. Penghuni jagad pun sudah kembali ke pelukan malam sambil memuja
keagungan Ilahi. Tapi,mungkin ada juga yang masih sibuk dengan setumpuk urusan
duniawi.
Aku sendiri masih duduk di hamparan
sajadah di kamar yang sudah diubah menjadi ruang salat. Kuselesaikan bacaan
surah pendekku sembari menunggu sholat Isya
yang tinggal beberapa menit lagi.. Sayup kudengar bunyi Adzan dikumandangkan
dari surau yang jaraknya setengah kilo dari rumah. Jujur, karena jarak itu,
membuatku agak jarang ke sana. Aku salat Isya bersama Mama saja karena Rina
ternyata “datang bulan”. Lirih kulantunkan bacaan demi bacaan dengan khusuk.
Kulapazkan dengan irama serupa imam masjid Al-Azhar.
Kami
termasuk keluarga besar. Mama dan Papa punya anak tujuh. Hendra anak pertama
bekerja di perusahaan tambang di Kalimantan setelah tamat kuliah. Kini, punya
anak dua. Kadang bisa pulang hanya satu
kali dalam dua tahun. Itu pun tak lebih dari dua belas hari. Hubungan
kekerabatan memang terasa agak renggang.
Rinto anak kedua juga sudah berkeluarga dan bekerja sebagai pegawai negeri di Papua
lima tahun yang lalu. Untungnya, dia menikah dengan pacarnya dulu di
kampus dari suku yang semarga dengan kami. Bukan suku asli Papua yang kelasnya di mata orang kampung begitu dipandang sebelah. Mungkin,
karena paras dan warna kulitnya kontras dengan orang-orang di kampung kami. Dia
hanya pulang kalau kami kabari tentang keadaan mama yang sakit-sakitan. Dua
saudaraku yang lain mengikuti suaminya sebagai pimpinan cabang bank. Mereka tidak
menentu tempat tinggalnya. Kadang di Yogya, Balikpapan, Makassar dan beberapa
kota lainnya. Mereka lebih jarang lagi pulang. Hanya satu kali dalam lima
tahun. Mungkin mereka beranggapan kalo
teknologi adalah solusi untuk mengatasi jarak. Lewat HP sudah cukup. Anak
kelima Idwar. Dia meninggal ketika
umurnya kisaran 12 tahun. Malaria yang ganas merenggut nyawanya dalam pelukan
Mama di rumah sakit kabupaten. Aku sendiri anak ketujuh. Aku baru lima tahun
bersama Mama lagi setelah kuliah di Makassar. Alhamdulillah terangkat jadi guru
SMA sesuai dengan cita-citaku. Anak bungsu
adalah Rina. Sebenarnya, Dia impian almarhum Papa dan Mama lewat doa-doa
sepanjang waktu di atas sajadah lusuh. Mereka mengharapkan ada anak perempuan
dari sekian anaknya yang laki-laki . Seperti kebiasaan di kampung, mereka
mungkin sadar kalau anak lelaki akan
mencari jalan hidupnya di rantau orang dan jarang yang mengadu nasib di daerah
sendiri dengan berbagai alasan. Mereka belajar dari pengalaman tetangga yang
merasa sebatangkara diusia senja.
Seperti biasa, setiap anak perempuan adalah tulang punggung untuk urusan rumah. Rina tiap
harinya memasak, melap perabotan, menyapu halaman, mencuci, menyiapkan obat Mama dan seabrek
urusan lain di luar mengajar. Suatu ketika ada tugas pelatihan seminggu di
kabupaten. Mama tidak langsung mengiyakan, juga tak banyak tanya karena tidak
terlalu paham urusan sekolah. Tapi, dari wajahnya terbesit keinginan untuk
tidak ditinggalkan selama itu. Benar saja, selama dia pergi aku yang kerepotan
menjalankan beberapa tugas rumah. Yang jelas, dapur tak terurus, makan seperti
anak kost. Trus, sampah bertumpuk di depan rumah karena tidak pernah dibuang.
Yang jelas, akhir-akhir ini Mama kelihatan banyak merenung.
Untuk urusan hati Rina sama dengan
perempuan lainnya. Beberapa cowok pernah bertandang ke rumah ngobrol dan
bercerita tentang berbagai hal. Ada juga beberapa yang sempat menjadi pacarnya meski tak pernah
berlangsung lama. Mungkin tidak ada kecocokan diantara keduanya. Bahkan, pernah
ada keluarga yang berniat melamar ke rumah tapi tak jadi karena Rina nyata-nyata
menolak. Setelah kuselidiki ternyata mamanya sangat cerewet. Itu yang tidak
disukainya. Padahal, mendengar itu Mama malah mengamininya. Maklum, keluarga
sendiri.
Aku baru saja pulang dari sekolah.
Kucopot pakaian dinas yang basah oleh peluh. Memang, siang ini terasa panas
sekali. Gumpalan awan yang biasanya menghiasi langit tidak kelihatan kali ini.
jalan beraspal terasa mendidih dan
mengepul dilewati kendaraan. Setelah solat dan makan, aku tertidur di balai-balai yang terbuat dari bilah bamboo.
“Kak……Aku..Aku mau bicara…. Ada..ada
orang yang mau datang melamar.” Kalimat itu menghentikan aktivitasku membaca
Koran. Aku mendadak jadi serius dengan kalimat barusan. Rina mulai menunduk.
“Siapa yang mau datang?” Tanyaku
singkat. Kuamati Rina gugup dengan pertanyaan ini. Dia menarik nafas panjang.
“Erwin…teman kost Kakak di Makassar
dulu.” Aku diam. Mendengar nama itu Aku
dipaksa mengurai kembali moment-moment kuliah dulu. Aku sangat hafal
dengannya meski beda kampus. Orangnya cerdas, solider, peduli dengan orang lain
dan ramah dengan siapa saja. Aku sering pinjam motornya untuk ketemu dosen,
cari bahan kuliah bahkan sekali waktu kupakai kencan di malam minggu. Tapi,
itu delapan tahun yang lalu.
“Sekarang dia bekerja sebagai supplier pengadaan barang di daerah.
Usaha itu dia bangun bersama temannya dengan patungan modal.”Rina mengurai
beberapa info tentang Erwin untuk kunilai. Aku kembali terdiam sejurus. Otakku
berputar-putar. Aku tidak ragu dengannya. Tapi yang membingungkan adalah
bagaimana dengan Mama? Mungkinkah dia mau tinggal di kampung? Bagaimana kalau
Rina memilih ikut dengannya? Jangan-jangan………”
“Kalau diterima dia akan di sini
membuka usaha. Jadi mama tetap kan bersamaku.”Rina sepertinya hafal apa yang
menjadi ganjalan dihatiku sehinnga aku tidak berkomentar dari tadi.
“Baiklah, aku coba sampaikan ke
Mama.” Jawabku singkat.
Mama baru saja usai shalat Isya.
Biasanya kalau sembahyang agak lama, mulai shalat fardu, berjenis shalat
sunnah, belum lagi dzikirnya. Aktivitas Mama lebih condong kepada urusan
akhirat. Sampai-sampai sepanjang waktu lingkar tasbih tak lepas dari permainan
jarinya yang keriput.
“Ma…Tadi Rina cerita kepada saya.
Katanya, ada orang tua laki-laki yang mau datang melamar. Dia teman kost aku
dulu, namanya Erwin. Dia sarjana ekonomi, bekerja dengan usaha sendiri sebagai
pemasok barang elektronik ke daerah. Dia akan membuka usaha di kabupaten. Setahu
saya, dia orangnya baik. Mamanya sesuku dengan kita. Kalau papanya memang dari
suku lain. Bagaimana Ma,.. Apa dia boleh datang?” Aku meyakinkan Mama tentang
laki-laki itu.. Dia terdiam agak lama, entahlah, aku tidak tahu apa yang
terbesit dipikirannya.
“Kamu anak laki-laki satu-satunya
yang tinggal dengan Mama sebagai ganti papamu, tempat Mama berbicara tentang
berbagai hal termasuk adikmu, Rina. Kalau menurutmu laki-laki itu baik, mau
menerima keadaan kita, bisa menjaga martabat keluarga, Mama rasa sudah saatnya
memang adikmu mendapatkan pendamping….”Ada butiran bening menetes dari mata
mata Mama yang terharu, bahagia dan sekaligus mungkin rasa sedih. Kurasakan
sketsa wajah Papa bergelayut dalam pikirannya. Kesunyian menyelinap seusai
pembicaraan kami. Hanya, deru kendaraan yang terdengar dari kejauhan. terlihat bulan sabit bersinar di balik
gumpalan awan. Pantulannya ke bumi hanya membias remang-remang.
Sejak restu Mama, segalanya berjalan
cepat. Rembuk keluarga, peresmian, akad nikah, dan pesta pernikahan semuanya
sudah diputuskan termasuk berbagai prosesi adat dan berbagai ritual yang harus
dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
Acara demi acara berlangsung dengan
lancar. Aku hanya mengatur saja karena begitu banyak anggota keluarga dan
tetangga yang datang membantu. Kalaupun ada beda-beda pendapat semuanya menuju
pada satu titik saja. Memberikan yang terbaik. Ketika acara sujud kepada orang
tua, aku melihat Mama memeluk Rina sambil berlinangan air mata. Mungkin ingat
Papa yang tak lagi menjadi saksi anak terakhirnya. begitupun Rina. Membiarkan
saja airmatanya membasahi pipinya. Ada keharuan yang mendalam di hati
masing-masing dan khalayak.
Penghuni
rumah bertambah satu orang. Sabanhari Rina melayani suaminya. Sajikan kopi,
sarapan, makan siang, makan malam, setrika pakaian dan tentu saja melayani
suami sebagai istri dalam remang-remang malam ditingkahi suara cicak yang
sembunyi dibalik sambungan tripleks yang mengelupas oleh air hujan yang
merembes. Saya merasakan Mama agak terabaikan dengan kehadiran Erwin
akhir-akhir ini. Biasanya, rutin tiap hari Rina menanyakan apa Mama sudah
sarapan,trus siapkan obat, pakaian, dan
seabrek kebutuhannya yang lain. Focus Rina total berpindah ke Erwin sebagai
suaminya. Kadang aku yang siapkan obat Mama kalau benda itu belum ada di meja
lewat pukul tujuh, dan biasanya Mama minum pagi-pagi sekali. Halaman rumah yang
biasanya bersih dari daun-daun ketapang kini berserakan tertiup angin timur
yang menampar-nampar. Aku merasakan Mama membaca keadaan ini dari tatapan
matanya mengguratkan sesuatu.
“Kak,
Erwin tidak jadi buka usaha di sini. Katanya belum prospektif.” Kalimat singkat
itu mengikis konsentrasiku pada headline berita
tentang Nazaruddin yang suap MK. Aku menatap wajah Rini tanpa berkedip mencoba
membaca kalimat-kalimat selanjutnya yang masih tersimpan dalam hatinya.
“Saya sudah menyarankan agar di sini
saja sambil mencari peluang usaha lainnya. Tapi, dia bilang belum saatnya untuk
buka usaha. Menunggu tiga tahun lagi.
Jadi, maaf Kak… tiga kali saya di suruh memilih untuk ikut dengannya.
Sampai-sampai ada hadist Nabi yang disampaikan tentang kewajiban istri ikut
suami…Aku tak punya pilihan Kak.” Rini tertunduk lesu di kursi rotan tak mampu
membaca reaksi kekecewaan yang terpancar jelas pada raut mukaku. Aku diam saja.
Sepekan aku diamkan masalah itu. Aku
tak tahu cara terbaik untuk menjelaskan. Mungkinkah menerima dengan lapang
untuk ditinggalkan oleh putri satu-satunya di saat usianya menatap senja?
Sanggupkah Aku menggantikan Rini urus Mama ketika hipertensi dan jantungnya
kumat? Mungkinkah Mama terima kalau kucarikan pembantu saja? Bagaimana kalau dia menagih janji Erwin
ketika datang melamar dulu?
Pagi ini tak secerah kemarin.
Mentari hanya menyembul di antara
gumpalan awan yang berkejaran ke utara. Sebentar lagi akan membentuk awan
hitam. Kalau arah angin tak berubah,
biasanya titik-titik hujan menjilat
permukaan tanah dan memercik sembari mengalir mencari tempat yang paling
rendah. Dari jauh sayup terdengar katak merindu hujan.
Mama baru saja memperbaiki jahitan
bantal yang menganga sampai-sampai kapuknya beterbangan di seprei. Aku
menatapnya dari jauh tapi tak berani bersitatap dengannya. Itu terjadi
akhir-akhir ini saja. Biasanya Aku langsung menyapanya menanyakan apa saja
sekaligus bentuk perhatianku selama ini. Tapi, kali ini kecemasan selalu
mengepungku dari segala penjuru.
“
Besok Adikmu berangkat ke Makassar dan selanjutnya akan tinggal di
sana.” Aku seperti disambar petir di siang bolong. Aku gugup. Tak menyangka
kalimat itu akan meluncur dari mulut Mama. Seperti ada sesuatu yang berusaha
dipendam rapat-rapat. Tersembunyi di balik intonasi dan mimic yang tegas.
“Biarkan saja. Hidup adalah pilihan
dan bukan hak Mama untuk menahan derap langkah Adikmu untuk mengikuti suaminya.
Dia sudah menceritakan semuanya.” Mama melangkah ke kamarnya dan meningggalkan
aku begitu saja yang masih kelu. Aku dikepung rasa bersalah, mengiyakan
proposal Erwin meminang Rina dua bualn yang lalu.
“Bagaimana keadaanya, Dok?”
“Panasnya tinggi sekali. Bukan itu
saja. Sepertinya beliau tertekan, ada masalah yang dipikirkan. Minumkan saja obatnya secara teratur. Mudah-mudahan
membaik.”
Mama terbaring lesu di kamar perawatan sehari
setelah Rini meninggalkan rumah mengikuti suaminya. Tetes bening mengalir pelan
merembes di sandaran kepala mama. Semuanya karena Rini.
“Tidak berhakkah Mama menjalani senja lewat sentuhan tangan lembut putrinya?” Aku menggugat.
Pamboang, Medio Mei 2011
Cerita yang mengundang banyak bawang
BalasHapusPernikahan adalah momen sakral dan bahagia yang ditunggu-tunggu oleh pasangan kekasih yang akan segera menikah. Saat memutuskan untuk menikah, tentunya harus siap dengan siklus kehidupan yang akan banyak perubahan, salah satunya perihal jauh dari orang tua lantaran sibuk mengurusi keluarga.memang sulit rasanya ditinggal oleh anak perempuan satu-satunya dalam keluarga tapi apa boleh buat sebagai orang tua harus mengikhlaskan anak pergi bersama dengan suaminya.
WAHYUNI XII IPA 1
HapusKadang ada beberapa hal yang harus diterima oleh seseorang dalam menjalankan hidup, apalagi setelah seseorang itu telah menikah. Memikirkan antara menetap bersama keluarga atau ikut bersama suami. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang harus dipikirkan seorang anak perempuan dengan sebaik-baiknya karena meninggalkan keluarga terutama orang tua adalah suatu keputusan yang berat. Meninggalkan orang tua terutama ibu merupakan keputusan yang sangat besar apalagi jika orang tersebut adalah orng sangat berarti dalam hidup kita
BalasHapusCerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas
BalasHapusCerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas
BalasHapusNUR ATISA YUNUS Xll ipa1
Kadang ada beberapa hal yang harus diterima oleh seseorang dalam menjalankan hidup, apalagi setelah seseorang itu telah menikah. Memikirkan antara menetap bersama keluarga atau ikut bersama suami. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang harus dipikirkan seorang anak perempuan dengan sebaik-baiknya karena meninggalkan keluarga terutama orang tua adalah suatu keputusan yang berat. Meninggalkan orang tua terutama ibu merupakan keputusan yang sangat besar apalagi jika orang tersebut adalah orng sangat berarti dalam hidup kita.
BalasHapusUmi Kalsum XII IPA 2
masyaa Allah ceritanya menarik sekali
BalasHapusKonita Nisrina XII IPA 2
Cerita yang sangat menarik
BalasHapusCerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas
BalasHapusNur Alvira Basri XII IPA2
Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.Memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas.
BalasHapusIndri XII IPA 1
Kadang ada beberapa hal yang harus diterima oleh seseorang dalam menjalankan hidup, apalagi setelah seseorang itu telah menikah. Memikirkan antara menetap bersama keluarga atau ikut bersama suami. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang harus dipikirkan seorang anak perempuan dengan sebaik-baiknya karena meninggalkan keluarga terutama orang tua adalah suatu keputusan yang berat. Meninggalkan orang tua terutama ibu merupakan keputusan yang sangat besar apalagi jika orang tersebut adalah orng sangat berarti dalam hidup kita
BalasHapusNurul Hikma XII IPA 1
Saat memutuskan untuk menikah, tentunya harus siap dengan siklus kehidupan yang akan banyak perubahan, salah satunya perihal jauh dari orang tua lantaran sibuk mengurusi keluarga.memang sulit rasanya ditinggal oleh anak perempuan satu-satunya dalam keluarga tapi apa boleh buat sebagai orang tua harus mengikhlaskan anak pergi bersama dengan suaminya.
BalasHapusNismayanti XII IPA 1
Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas.
BalasHapusNurfadila XII ipa 2
Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas.
BalasHapusNuraeni kls Xll IPA 2
Cerita yg sangat menarik dan mengandung banyak bawang sebagai seorang anak perempuan satu²nya yg telah menikah tentu sulit rasanya untuk meninggalkan org tuanya. Krna disaat kita memutuskan untuk menikah tentu kita harus siap untuk menjalani kehidupan yg baru bersama keluarga yg baru dan jauh dri org tua
BalasHapusNurul Arifah Hadiani XII IPA 1
Cerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas.
BalasHapusAtas nama Muh. Isra Arif kelas XII MIPA 1
Menjadi seorang wanita memang bukan hal yang mudah kita memiliki kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua dan saat berkeluarga harus juga berbakti kepada suami tetapi adakalanya seorang wanita itu menengok atau kembali ke orang tuanya untuk mengurusnya sesekali.
BalasHapusCerita yang menarik yang mengundang banyak bawang
BalasHapusPernikahan adalah momen sakral dan bahagia yang ditunggu-tunggu oleh pasangan kekasih yang akan segera menikah. Saat memutuskan untuk menikah, tentunya harus siap dengan siklus kehidupan yang akan banyak perubahan, salah satunya perihal jauh dari orang tua lantaran sibuk mengurusi keluarga.memang sulit rasanya ditinggal oleh anak perempuan satu-satunya dalam keluarga tapi apa boleh buat sebagai orang tua harus mengikhlaskan anak pergi bersama dengan suaminya.
Kadang ada beberapa hal yang harus diterima oleh seseorang dalam menjalankan hidup, apalagi setelah seseorang itu telah menikah. Memikirkan antara menetap bersama keluarga atau ikut bersama suami. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang harus dipikirkan seorang anak perempuan dengan sebaik-baiknya karena meninggalkan keluarga terutama orang tua adalah suatu keputusan yang berat. Meninggalkan orang tua terutama ibu merupakan keputusan yang sangat besar apalagi jika orang tersebut adalah orng sangat berarti dalam hidup kita.
BalasHapusCerita yang menarik mengundang banyak bawang pernikahan, yaitu momen saklar saat memutuskan untuk menikah kita memang harus siap untuk siklus hidup yang akan berubah contohnya jauh dari org tua karena sibuk ngurusin keluarga.memang sulit untuk meninggalkan anak perempuan tapi apa boleh buat kita harus ikhlas
BalasHapusAnshar Eka Putra XII IPA 1