Kepak Dakkoq di Hutan Mangrove
Oleh: Wahyudi Hamarong
Foto: Dokumen PribadiPapan
berukuran empat kali empat meter menempel di tiang yang terpancang
di atas pasir
putih pantai Rio Rannu
yang memanjang ke utara bertuliskan pengumuman
kalau kalau akan dibangun kawasan wisata mangrove. Sebuah destinasi kerumunan manusia dengan menukar
keindahan alam dengan lembar-lembar uang. Kabar
itu merebak ke seantero penghuni hutan
di kawasan
sekira lima hektar itu.
“Banyak manusia berkerumun di sepanjang
pantai, beberapa orang
berpakaian rapi menunjuk pohon-pohon
yang kita tempati. Ada juga yang membawa tali panjang entah apa yang mau
diikat.” Kepiting
ungu yang tinggal di pohon bakau paling
besar membuka diskusi pagi itu.
“Persis,
kemarin saya lihat manusia
membabat
pohon dan memanggul beberapa tiang. Tiang itu ditanam berjejer. Saya tak tahu
apa itu?”Dakkoq,
bangau putih yang telah beranak pinak di hutan mangrove ikut bersuara. Suaranya parau menebak beberapa
kejadian yang tak pernah dijumpainya.
“Katanya
manusia akan tinggal bersama kita.”Buqang.” Kepiting ungu memelototkan matanya mengamini keresahan temannya.
Sinar
mentari menembus daun-daun bakau sampai ke dasar laut
yang tinggi airnya selutut orang dewasa. Seperti biasa semua
penghuni hutan dari
tadi bangun. Dakkoq,
anak-anak dan cucunya sudah beterbangan menjauh dari sarangnya. Terlihat mereka
membenamkan paruh mengimbangi kelincahan ikan menghindar dari pemangsanya. Ikan-ikan Gelodok tak mau ketinggalan, tubuhnya melompat-lompat kecil di atas lumpur.
Geraknya seperti anjing laut di kutub utara. Mereka berburu mangsa yang
bertebaran di bawah pohon-pohon bakau. Udang-udang pistol juga mulai menggeliat
di sela batu karang ukuran besar dan kecil. Semua penghuni sejenak lupa dengan diskusi kecil pagi tadi
yang merisaukan.
“Pembangunan
jembatan kayu yang memanjang dua ratus
lima puluh meter akan membuka ruang ekonomi baru warga. Objek wisata itu akan
menghipnotis para pengunjung dengan sajian panorama alam yang asli. Mereka akan
berkunjung ke tempat ini menikmati
indahnya pagi dengan debur ombak yang menjilati pantai. Jika senja menjelang, mereka akan disuguhi sunset
yang jarang mereka nikmati selama ini dari gazebo-gazebo sepanjang titian.” Kepala Desa menjelaskan
panjang lebar pembangunan kawasan
wisata pantai kepada warga. Hal itu lebih nyata
dengan senteran proyektor yang terpampang di depan para peserta.
“Interupsi,
Pak Desa! Ada hal yang Bapak abaikan dengan proyek ini. Bapak tidak berpikir tentang pembabatan hutan bakau
seperti yang terjadi selama ini. Pohon-pohon bakau itu menjadi pelindung abrasi
pantai, tempat hidup aneka jenis burung,
kepiting, udang, dan ikan-ikan. Bapak tidak pernah berpikir tentang punahnya
burung, kepiting, dan ikan di tempat itu. Bapak Cuma berpikir bagaimana mendatangkan uang.” Baco mencecar kepala desa dengan pernyataan tidak
setuju sambil berdiri. Wajahnya pias, mukanya yang bersegi empat dengan kumis
melintang kini semakin
jelas. Suasana rapat menjadi gaduh.
Beberapa orang berbisik-bisik sambil mengangguk. Kepala
desa tampak tenang sambil menggeser posisi pelantang di depannnya.
“Begini,
tentang kekhawatiran Saudara sesungguhnya kami sudah pikirkan sebelumnya.
Kita tidak akan mengulang pembabatan hutan bakau seperti di tempat lain. Kita
hanya akan memangkas tangkai tanpa menebang pohonnnya. Aneka satwa yang hidup
di kawasan itu tidak
akan terganggu. Jadi, tidak perlu terlalu khawatir.” Tampak kepala desa
menjelaskan dengan intonasi datar,
ada kesan membujuk yang tersirat. Gestur tubuhnya total fokus ke Baco. Beberapa peserta rapat membenarkan
penjelasan kepala desa.
“Maaf,
Pak Desa, Saya tetap ragu dengan kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang Bapak sampaikan.”
Baco kembali memotong
sambil berdiri dan meninggalkan ruang rapat.
Para
pekerja membersihkan lokasi yang akan ditempati untuk jembatan. Mereka membabat
tangkai yang melintang. Tangkai-tangkai membenam ke laut yang dalamnya hanya setinggi lutut
para pekerja. Daun-daun berserakan dan menjauh terbawa arus. Mereka terus merintis jalan, peluh mengucur dari wajah para pekerja itu.
Sesekali mereka meneguk minuman yang terselip di pinggangnya. Kahar memandang
jauh sambil menyeka keringatnya. Matanya tertumbuk pada dua batang pohon bakau.
Matanya menyipit memastikan pohon-pohon itu tidak masuk dalam garis
pembersihan.
“Ada
dua pohon besar yang masuk dalam pembersihan, bagaimana mi ini, Puaq?”
Kahar mendekati Puaq
Ramang dan menjelaskan tentang pohon itu.
Puaq Ramang sebagai kepala pekerja
langsung mendekat.
“Ah,
benar! Pohon itu masuk dalam pembersihan.” Puaq
Ramang mendengus, sangat
jelas keputusan rapat minggu lalu dengan warga, dan protes Baco
tempo hari yang meninggalkan ruang rapat begitu saja. “Begini, kita tebang saja. Tapi harus tanpa
bekas sama sekali. Tengah malam ketika warga mendengkur kita
angkat sampai akar dan kita timbun kembali, di atasnya kita tumpuk beberapa
batu besar.” Puaq
Ramang menjelaskan ke Kahar
dan pekerja lainnya.
“Tapi?
Bagaimana kalau…” Mansur tiba-tiba bertanya tapi langsung dipotong Kahar.
“Ini
pilihan terakhir atau pekerjaan ini akan terhenti?” Suara Puaq
Ramang meninggi.
Sejak
pagi tadi Dakkoq dan
burung lainnya hanya
sebentar terbang menjauh mencari sarapan. Tidak seperti biasanya dia bebas ke mana-mana untuk mengisi perut. Kali
ini dia sudah kembali dengan wajah murung. Bulu-bulu putih yang menancap di
tubuhnya tak serapi kemarin. Dia mendekati sarangnya sambil menyuapi dua anaknya yang baru saja menetas
minggu lalu. Dua ekor burung itu tampak mendongakkan kepalanya sambil membuka
mulut begitu ikan-ikan kecil menyentuh paruh mungilnya. Terdengar suara
mendesis kegirangan.
Mamuang, bebek liar yang tinggal di pantai bukannya
tak mengamati Dakkoq akhir-akhir ini.
“Kenapa
ko murung terus? Kalo saya lihat
banyak ji ikan kau tangkap untuk anak-anakmu itu. Ada apa kawan?” Dia bertanya
setengah menyelidik.
“Tak
lama lagi sarangku akan digusur, bingung
mau tinggal di mana? Bakau
yang menghalangi jembatan akan ditebang oleh manusia.
Anakku
masih kecil belum punya sayap utuh
untuk terbang.” Dakko tak lagi
melanjutkan kalimatnya. Mamuang sudah tahu arah persoalan kawannya itu.
“Ah,
manusia itu serakah. Mereka tak pernah cukup mengejar kesenangan.”
“Sabar
kawan, kami sedih mendengar itu.” Bayang kematian menggurat jelas di wajah Dakkoq.
Dua
pohon itu raib
tanpa bekas, dieksekusi para pekerja pada operasi senyap tengah malam. Anak Dakkoq yang
baru menetas minggu lalu juga
begitu, mengambang di
laut dengan tubuh kaku. Dakkoq
hanya mampu meratap kepergian anak-anaknya.
“Selamat menikmati keindahan alam Rio Rannu di desa kami. Kalian akan dimanjakan dengan ikan warna-warni di
bawah jembatan yang selama ini anda hanya ada di tv. Kalian akan dihipnotis kehangatan pagi dan memandang laut dengan ombaknya yang
berkejaran. Kalian akan disapa oleh angin laut yang sejuk. Percayalah sunset di pantai ini hanya kalah promosi
dengan sunset di Bali. Terakhir,
lidah anda akan dimanjakan oleh kuliner lokal yang sudah jauh sebelumnya
terkenal di luar.” Kepala Desa menjelaskan panjang lebar di depan undangan dan
warga yang sesak berdiri.
Wisata mangrove itu resmi dibuka.
Sejak
dibuka pengunjung ramai berdatangan, bukan hanya warga
desa yang datang tetapi lebih banyak pendatang dari kabupaten tetangga. Mereka
memarkir kendaraannya dan membayar retribusi ke petugas jaga yang stand by sejak pagi. Para pengunjung lainnya
asik minum kopi dan makanan laut yang
tersaji di sepanjang pantai sambil menikmati music yang hingar bingar
mengalahkan suara debur ombak yang menghempas.
“Kami
tak lagi nyenyak, manusia berjoged sepanjang malam. Mereka tampaknya sangat
gembira. Sampah-sampah plastik mengapung. Baunya
tak pernah kami cium sebelum ini. Saya biasa muntah dan sakit kepala. Dakkoq mengeluh tentang
kampungnya yang kini berubah total.
“Kami
tidak lagi hanya berenang di sela rumput dan batu-batu karang. Botol, pembungkus makanan, bungkus rokok,
dan plastik jadi teman yang tak pernah kami undang.” Ujar ikan Baronang yang
dari tadi berenang memburu ikan-ikan
kecil.
“Bagaimana
kalau kita tinggalkan kampung yang kita tempat puluhan tahun ini? Kita cari tempat yang baru. Tempat
yang jauh dari manusia.” Tiba-tiba Dakko punya ide.
“Tak ada lagi hutan bakau di tempat lain. Semua habis dijarah.
Kita hanya punya tempat ini.” Buqang, kepiting yang
biasa merayap di batang bakau tiba-tiba muncul setengah berteriak. Dakkoq membisu. Nyanyian Dakko tak lagi terdengar di hutan mangrove.
Pamboang, 6 Maret
2022
Dakkoq = Bangau
Buqang = Kepiting
Puaq = Bapak
Posting Komentar untuk "Kepak Dakkoq di Hutan Mangrove"