Oleh: Wahyudi
Hamarong
Gambar: Bambang Sabir
Senja menapak di ujung langit, awan
yang mengarak sejak tadi membentang
dari utara. Sejauh pendar mata
memandang seperti lukisan-lukisan abstrak. Angin laut yang bertiup dari daratan
mendorong beberapa sandeq ke tengah
lautan. Perahu-perahu itu tergesa-gesa menyibak lautan. Buih menari-nari di
antara sepasang cadiknya. Tampak
beberapa sobal membuncit membendung angin dari
timur. Beberapa nelayan juga menurunkan sobal dan menggulungnya ke dalam
peloang.
Seorang
lelaki berbadan kekar berkulit sawo duduk di atas buritan sambil tangannya
menggeser guling mengikuti permainanan ombak yang mengayunnnya sejak tadi.
Matanya tajam melihat burung-burung camar yang beterbangan sambil membenamkan
tubuhnya ke dalam laut dan setelahnya terbang menjauh. Dia memutar haluan mendekat
pada hewan yang terbang rendah di depannya. Di cermatinya dua galenrong yang hanya menyisakan setengah gulungan tasi. Tangannya masih tetap
menarik-narik tasi yang membentang di
belakang perahunya. Tiba-tiba dia
merasakan sebuah tarikan kuat dari satu tasi
yang dipegangnya dari tadi. Refleks dia memutar guling dan mengikat tasiq yang satu pada baratang, memanjangkan ikatan tali sobal. Perahu itu kini tak lagi melaju.Dia fokus pada tarikan ikan yang sangat
kuat kali ini. Tangannya dengan kekuatan tetap menarik tasiq agar semakin mendekat ke perahu. Sekali waktu dia mengulur
beberapa meter dan memberi kelonggaran pada ikan buruannya meski masih tetap dalam kendalinya.
Kali
ini dengan insting sebagai nelayan yang tak bisa lagi menghitung ini sudah
adegan ke berapa yang telah dilakoninya selama ini. Tak diberinya kesempatan
ikan itu untuk putar haluan lagi, Hampir
dua puluh menit keduanya adu kekuatan. Dia merasakan kekuatan ikan di depannya
semakin mengendor. Ikan itu mulai tampak
di atas permukaan laut mendekat ke perahunya. Sebuah Kaccoq dari kail nomor sepuluh menunggu ikan itu di pinggir perahu.
Benda itu pas menancap di bagian katup insangnya dan kini sudah mendarat di dalam lambung perahu. Seekor Tuna sirip kuning. Ikan itu
menggelepar pasrah. Panjangnya sekira dua lengan orang dewasa. Mungkin beratnya
mencapai dua puluh lima kilo. Matahari sudah terbenam seiring dengung tahrim dari pengeras suara
mesjid di kejauhan. Dua ikan tuna sukses dia bawa pulang. Bibirnya mengulum
senyum meski tempias ombak menampar wajahnya sekali-sekali. Terbayang seorang perempuan yang tak berhenti
resah dari jendela rumah panggung acap kali kakinya melangkah ke bibir pantai, menyusur gelap, dan menyibak gelombang.
Tangkapan Kahar kali ini seperti
biasanya, sudah ditunggu para pengumpul di bibir. Beberapa warga membantu
menaikkan ikan-ikan itu di timbangan
yang menggantung di kolong rumah. Total beratnya lima puluh dua kilo. Harga sekilo lima puluh ribu. Uang dua setengah juta rupiah berpindah ke tangan
Kahar.
Kahar dan keluarganya tinggal di
Passarang menempati sebuah rumah panggung warisan neneknya. Sebuah kawasan
nelayan berjarak sekira empat
kilo dari kota kabupaten. Mayoritas warga menggantungkan hidup sebagai nelayan,
selebihnya jadi pedagang kecil, pengusaha dan beberapa warga kerja kantoran. Rumah panggung dan permanen kini berdiri berhimpitan satu sama lain. Sepanjang
pantai berderet perahu-perahu nelayan mulai dari Sandeq yang masih murni
mempertahankan habitat aslinya maupun Sandeq dengan mesin pengganti layar,
selebihnya Soppeq, lepa-lepa, dan kalotoq.
Sejak lulus SMA dia tak lagi
melanjutkan sekolahnya. Bukan tak ada niat. Hasratnya begitu menggebu untuk
kuliah di Makassar seperti teman-temannya yang lain. Rupa-rupanya kemiskinan
sukses mengubur mimpi-mimpinya itu. Dia juga tak pernah meminta restu Pua dan Kindonya karena baginya jawaban itu hanya menggantung di
langit-langit khayalnya.
Sore ini dia hanya duduk di beranda
menatap gulungan ombak yang tak henti menghempas tanggul yang memanjang dari
utara ke selatan. Seperti biasa, tangannya masih menjepit sebatang rokok
ditemani segelas kopi pekat suguhan Kindo. Dari beranda ini pula dia bisa
memandang seorang perempuan yang
rambutnya tergerai, melambai disapa semilir angin laut. Meraka kadang
bertatapan dari jarak sepuluh meter saja. Mereka biasa berbincang Perempuan itu
masih termasuk rumpun keluarganya dari Puaqnya.
“
Nak, bulan depan kami akan ke rumah orang tua Tini. Maksudnya, kami
akan lamar Tini untuk menjadi istrimu. Biar kamu ada yang urus. Kami
sudah tua.” Kahar terkejut mendengar
kalimat yang meluncur barusan. Lebih kaget lagi karena Kindo Patimah
memergokinya sedang memandang Tini yang duduk di serambi rumahnya bersama adik
perempuannya.
“
Aku terserah Kindo dan Pua saja. Bagaimana baiknya.” Kahar memandangi kaki-kaki
dermaga yang tak berhenti dihantam gulungan ombak di kejauhan.
Kahar
hanya mengenal satu sosok perempuan sepanjang usia ketertarikannya kepada lawan
jenisnya. Hanya Tini saja. Baginya dia sosok perempuan yang bersahaja,
sederhana, dan sopan. Belum lagi tipe pekerja kerasnya jelas membedakan dengan gadis kebanyakan. Kadang
dia menjual ikan, membantu Bapaknya membersihkan perahu, dan urusan dapur sudah
menjadi kewajibannya. Kahar sangat memuliakan gadis itu. Tak pernah mereka pergi berduaan
tanpa orang lain apalagi sampai menyentuhnya dan melecehkan kemuliaannya
seperti lelaki umumnya.
“Berapa
ya biaya nikah kalau jadi nanti itu?” Kahar menghitung-hitung tabungannya dari
hasil melaut. Keningnya masih mengerut.
Sandeq yang dikemudikannya
kini semakin melaju ke tengah laut menyisakan daratan dibelakangnya yang semakin mengecil. Mentari
masih menyembul di balik gunung yang masih menyisakan kabut tipis. Angin kali
ini bertiup tidak terlalu kencang. Sepasang cadik masih mampu menahan beban
perahu dengan sempurna. Seharian Kahar berburu ikan di tengah laut bersama
nelayan lainnya sejak niat melamar Tini diketahuinya. Baginya persiapan harus
cukup dan tak perlu merepotkan orang lain. Hasilnya lumayan untuk menambah modal
menikah nanti.
Matahari sudah tergelincir ke barat
tapi panasnya masih tetap terasa di wajahnya. Tiga ekor Tuna dan dua tongkol
cukup baginya untuk tangkapan hari ini.
“Alhamdulillah,
Rabb, lapang jalan yang kau berikan untuk niat baik ini.” Katanya dalam hati.
“
Aku pulang saja.” Dia mengendorkan layar dan memutar guling untuk balik haluan
ke daratan. Perahu itu kini kembali bergerak membelah lautan. Beberapa ikan
terbang melayang rendah dipermukaan. Kahar memandang jauh sambil tetap mengontrol layar dan
gulingnya. Kali ini dia menarik lebih kencang tali Peloang. Agaknya angin yang bertiup tidak sekencang pagi tadi.
Kakinya kini mulai menyibak air laut
sebatas tumit sementara perahunya ditambatkan agak menjauh dari bibir pantai.
Besok sebelum Fajar, perahu itu akan kembali dipakainya untuk melaut.
Seperti
biasa tak butuh waktu lama ikan tuna itu berpindah tangan ke pengumpul
langganannnya dan tentu saja sudah bertukar dengan uang hasil keringatnya.
Tiba-tiba Kahar menyipitkan pandangannya pada beberapa lelaki berbalut
sarung Saqbe menuruni anak tangga
rumah Tini. Dadanya berdegup kencang, pikirannya melayang-layang, langkah
kakinya seperti tak menginjak pasir. Beberapa pasang mata mengikutinya.
“Lagi
seminggu keluargaku akan melamar, bukan hari ini.” Batinnya bergejolak.
Rumah
lengang tak ada siapa-siapa. Hanya beberapa amplop undangan yang tergeletak di meja tamu bersisian dengan
sebungkus Gudang garam dan gelas kopinya. Dia pelan duduk mengeja beberapa kata
di undangan. Pikirannya masih menerawang pada lelaki bersarung saqbe beberapa
jam yang lalu.
“Tini
ada yang lamar. Seorang pengusaha ekspor ikan di Makassar. Dia keluarga dari
ibunya. Bulan depan akan menikah, Nak.”
Kindo Patimah mengelus punggung anak lelakinya yang selama ini menjadi tulang
punggung keluarganya. Kahar hanya tertunduk tak berkata apa-apa. Diambilnya
sebatang rokok dan disulutnya dengan pemantik api. Asapnya membubung dan lenyap
ditampar angin. Kini pekirannya menerawang sambil memandang jauh pada
kerlip-kerlip lampu perahu di kejauhan. Sekali waktu dia melirik ke beranda
rumah itu dan tak lagi menemukan sosok Tini dengan rambut tergerai lembut di bawah temaram lampu seperti malam-malam
kemarin.
Pamboang,
26 Juni 2021
Kosa
Kata
1.
Sande =perahu tradisional
Mandar
2.
Sobal = layar
3.
Peloang = bambu perentang layar
4.
Galenrong
=alat pemintal tali pancing
5.
Tasi =tali pancing
6.
Baratang =balok tempat cadik perahu
7.
Pua
=bapak
8.
Kindo =ibu
9.
Soppeq
=perahu sandeq kecil
10. lepa-lepa
=sampan
11. Kalotoq
=perahu mesin penangkap ikan
Menarik...tp terpenggal ceritax jd penasaran
BalasHapusBetul.. Mmg beberapa kosa kata bahasa Mandarin masuk mewarnai cerpen ini. Ini untuk lebih menebalkan nuansa lokal dalam cerita.
Hapus