Dilarang Berdoa di Musim Politik

 Cerpen

Dilarang Berdoa di Musim Politik

Oleh: Wahyudi Hamarong 


                                                                                                 Foto: Masykur Syair

Siang ini panas benar-benar menyengat, pohon-pohon jati menggugurkan daun-daun lebarnya  dan jatuh berserakan di tanah yang kering. Para siswa berhamburan keluar  dari pintu gerbang dengan motor atau pun jalan kaki. Debu-debu beterbangan di atas jalanan yang di rabat beton beberapa bulan tapi  sudah menyisakan lubang di kiri-kanan. Seperti biasa, guru-guru  membiarkan siswa lebih dahulu keluar setelah bunyi bel sekolah meraung-raung tiga kali. Mungkin alasannya para siswa lelah belajar seharian dan tentu ingin segera sampai di rumah dan membuka tudung saji yang disiapkan oleh ibu tercintanya. Lapar. Pak Bahar juga begitu, dia biasanya membiarkan siswa leluasa keluar dari pintu gerbang utama sekolah daripada memilih berdesak-desakan dengan lainnya. Mungkin juga di samping alasan lapar juga karena jarak dari sekolah ke rumah hanya sekira satu kilometer. Pak Bahar  menjadi ASN sekira empat belas tahun silam dan sejak terangkat sekolahnya dekat dari rumah. Kepala sekolah yang pertama terpikat dengan karakter Pak Bahar dalam mengajar; fokus, loyal, dan mengajar dengan hati.

Pak Bahar tiba di rumahnya yang cukup asri. Di pojok kanan nampak pohon mangga Arum Manis dengan buah yang mulai mengkal. Beberap sudut ditanami palem dan  Rumah itu  dibangun bersama istrinya dari tabungan yang disisihkan setiap bulan dan selebihnya  imbal  SK tergadai di bank untuk tujuh tahun. Halamannya cukup luas dengan rumput halus yang terhampar hijau. Pot-pot juga tertata rapi dengan   anggrek dan mawar tumbuh di atasnya.

Pak Bahar baru saja menanggalkan seragam dinasnya yang lembab oleh keringat yang meleleh. Dia melangkah ke ruang tamu  dan memungut beberapa lembar undangan di atas meja. Wajahnya berkerut ketika membaca salah satu surat dari Panwascam. Sebuah undangan untuk klarifikasi. Pukul 14.30. Pikirannya merunut beberapa kejadian sehubungan dengan isi surat. Kini dia melirik jam yang menggantung di dinding ruang tamu. Lima belas menit lagi menurut undangan.

Jarak kantor Panwascam dari rumahnya hanya beberapa ratus meter saja. Andaikan jalanan itu lurus atau tak ada rumah-rumah warga yang  berdiri di kiri- kanan tentu kelihatan kantor itu dari rumahnya dengan jelas.  Kakinya sudah manapaki halaman kantor itu. Beberapa sudut terpasang baliho yang warnanya mencolok. Dua tiga pasang mata  menatapnya tajam, mungkin karena mereka beranggapan kalau orang yang berurusan dengan kantor itu lebih banyak urusan pelanggaran pemilu. Pak Bahar menatap mereka yang kelihatan kaku tak seperti biasanya.  Dia terus saja melangkah menyusuri anak tangga menuju lantai dua sesuai alamat yang tertera pada surat. Seorang pegawai menguntitnya dari belakang sambil menunjukkan ruang yang di maksud. Hening tercipta beberapa saat.  Awaluddin, S.Pd., begitu yang tertera di papan namanya duduk mematung sambil memelototi layar android di atas meja seolah tak merasakan kehadiran tamu yang diundangnya. Sekilas dia menatap Pak Bahar sambil meletakkan android dan menggeser beberapa buku di atas mejanya. Tangannya kaku menjulur seolah memberi kesan serius kepada Pak Bahar. Pak Bahar menggeser posisi duduknya sembari  menerima uluran tangan di depannya.

“Assalamu alaikum, Pak!” Pak Awaluddin menyapa tamunya dengan serius.

“Waalaikum salam,” spontan Pak Bahar menjawab salam itu.

“Sebelum kita bicara lebih lanjut, di awal surat kami sudah sampaikan maksud pemanggilan Bapak ke kantor kami. Tapi, sebelumnya kami akan mengambil sumpah untuk semua keterangan yang Bapak sampaikan nantinya bahwa itu jujur dan benar sesuai fakta.” Dari ruang yang lain seorang petugas datang sambil membawa Al-Quran. Kitab itu diangkat tepat di atas kepala Pak Bahar. Pak Bahar diminta untuk menirukan apa yang disampaikan oleh petugas itu. Dia  seperti terperangkap dalam ruang yang tak terduga sebelumnya. Dia mulai mengucapkan kalimat yang disampaikan petugas itu. Diselaminya makna yang terucap dari bibirnya.

“ Bapak terduga mengomentari status calon anggota DPR di akun facebook atas nama Reinaldi Mangkulangit dan sebagai ASN itu pelanggaran pemilu.” Sebuah screenshoot status ditunjukkan kepada Pak Bahar.  Apakah benar itu status Bapak?” Katanya sambil menyodorkan android miliknya.

“Benar itu komentar saya.” Katanya singkat.

“Ada masalah ya?”

“Iya, sebagai ASN Bapak melanggar aturan pemilu terkait ASN yang harus netral.

“Kapan  Bapak datang ke sekolah saya dan sosialisasi masalah ini?” Pak Awal seperti  terkunci.

“Baca baik-baik status saya, “Semoga sukses menjadi salah satu anggota DPRD Kota Pandan Wangi. Itu kan doa. Saya terbiasa mendoakan orang yang bekerja keras untuk sebuah usaha. Tak terkecuali orang ini. Tidak ada hubungan keluarga apalagi datang ke rumah untuk mencari suara. Saya tidak pernah mempengaruhi orang untuk memilihnya.” Suara Pak Bahar agak tinggi.

“Tapi sebagai ASN itu tetap melanggar.”

“Apa iya Bapak bisa pastikan kalau dengan komentar itu sama dengan satu suara untuk dia, saya kampanye,  dan  tidak netral.”

“Yang ini saya kira kecil, Pak.  Seliweran amplop dan isinya kertas merah terbang mengunjungi para pemilih tapi tak satu pun  yang diproses.” Pak Bahar masih melanjutkan kekesalannya.

“Tak ada bukti, Pak!” Pak Awal tetap dengan keyakinannya.

“Tak ada bukti kalau Bapak tutup mata, Tak ada bukti kalau Bapak hanya di sini.” Pak Bahar langsung menyambung kalimat Pak Awal.

“ Lagi pula sejak kapan berdoa dilarang?” Berdoa itu urusan hamba dengan Tuhan.”  Ac yang terpasang rupanya tak mampu mencegah keringat Pak Bahar mengucur.

“ Sekalian saja  pasang pengumuman di tempat ramai dilarang berdoa di musim pemilu. Meskipun Bapak meneruskan ini sebagai pelanggaran, Saya tak akan menggugat. Biarlah Allah yang mengatur semuanya.

Interogasi Panwas siang itu berjalan buntu msekipun Pak Bahar tetap menandatangani berita acara tentang statusnya.

            Sebulan berlalu sejak pertemuan itu, Seorang rekan di provinsi  menelefon. Dia mengonfirmasi perihal masalah itu. Dibacakannya poin penting surat yang dipegangnya. Jantungku berdegup.

“Bro, kau kena sanksi penundaan berkala setahun.”

Lidahku kelu tak berkata apa-apa. Lalu telepon itu terputus.

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar untuk "Dilarang Berdoa di Musim Politik"