Lelaki
tua itu kini hanya melakukan kegiatan di dalam rumah saja, menonton, minum teh,
sholat dan selebihnya berbincang dengan anak dan cucu-cucunya. Diusianya yang
senja menapak angka 83 tahun dengan rambut yang hampir seluruhnya putih dia tetap
bersahaja dalam balutan baju kaos oblong putih dan celana kolor pesanan ke
penjahit langganannya. Lelaki itu bernama Hamarong. Lelaki yang berkelana di
lautan di usia sangat belia, 15 tahun. Lelaki yang mengakui telah menjelajah pelabuhan-pelabuhan
terkenal di masa itu, mulai dari Surabaya, Gresik, Banyuwangi, Madura, Tanjung
seloka, Samarinda, Balikpapan, Toli-Toli, Donggala, Paotere Makassar,
Pare-Pare, Bali. Bahkan dalam ingatannya sebanyak tiga puluh lima kali masuk ke
Malaysia mengangkut kayu hitam, bawang putih, kopra. Tentu saja melalui jalur
tikus melewati sungai dan hutan bakau. Seperti
pagi ini segelas teh terhidang di atas meja bersama penganan kue, sesekali dia
menyeduhnya dengan pelan sambil menonton berita tentang tragedi ajudan di rumah jenderal.
“Kapan
itu datang tamu?” Tiba-tiba dia berpaling ke arahku. Aku agak gugup menebak
arah pembicaraanya.
“Sebentar
sore Aba, sesudah ashar.” Jawabku dengan suara yang agak tinggi supaya dia
mendengar dengan jelas.
Benar
saja, sebuah mobil mini bus berhenti di depan rumah. Penumpangnya empat orang,
tiga orang dewasa dan satu anak-anak seumuran anak kelas enam SD.
“Maaf,
Puang…Saya yang tempo hari menelepon Bapak meminta waktu untuk bincang-bincang
lepas.” Katanya sambil melirik ke arahku. Mereka memperkenalkan diri sebagai dosen
peneliti antroplogi dan budaya dari universitas di Kendari dan Sulawesi Barat.
Tamu kali ini agak detail mengulik soal khas peneliti. Beberapa pertanyaan yang diajukan
belum pernah saya dengar sebelumnya. Mulai dari cara berangkat dari rumah;
turun tangga kaki apa, makanan pantangan, cara makan, hari yang berpantang,
usia jadi pelaut, rute-rute yang
dilewati melaut, ritual setiap mau melaut dan banyak hal lainnya.
Lazimnya
pelaut lainnya di tanah Mandar. Apakah itu dengan menggunakan perahu
tradisional Olangmesa, palari, Lopi
ba’go, pakur, lete’, sandeq, dan
berbagai jenis perahu lainnya sebelum berangkat oleh juragan selalu
memberikan arahan kepada sawi (awak perahu) untuk mempersiapkan alat dan
bahan berlayar sedetail dan secermat mungkin. Mulai dari bahan makanan seperti
beras, ikan, kopi, gula, air, rokok,
minyak tanah, layar, tali dan kebutuhan lainnya semua diukur secara berlebih.
Artinya, porsi bahan dan alat yang disiapkan melebihi porsi normal berapa waktu
yang dibutuhkan dalam sebuah pelayaran. Hal ini untuk meminimalkan resiko dalam
berlayar yang bisa saja terdapat kejadian yang tak terduga sebelumnya. Yang lebih penting lagi semua alat dan bahan
yang ada dipasiyama (disatukan) dalam ritual doa agar selamat dan
apabila benar dibutuhkan itu bermampa
Seperti
halnya pelaut lainnya, dalam hal menaikkan muatan ke atas perahu juga untuk
pertama kali bukanlah anak buah kapal, langsung juragan sendiri. Itu bisa saja
bervariasi antar para pelaut. Seperti Lelaki ini, dia akan mengitari perahu sebanyak tiga kali
sambil mencermati beberapa semut hitam yang beriring naik membawa makanan,
lebih detail lagi menunggu anggukan perahu sebagai simbol bahwa dia siap mengangkut
keluarganya berlayar sampai kepada tujuan dan kembali dengan selamat. Tentu
saja dengan ritual mantra dan doa. Dalam keyakinannnya, sebuah lopi
itu bernyawa. Satu hal yang ditegaskan kepada seluruh sawi,
Tak boleh melangkahi muatan yang dia angkut pertama dalam perahu, dan itu
ditempatkan tersendiri di dalam perahu.
Tentang
cara makan hampir sama saja dengan para pelaut lainnya. Pada umumnya tak ada
makanan yang menjadi pantangan baginya. Semua bisa saja dimakan seperti
konsumsi makanan daerah Mandar, mulai dari nasi, ikan, kopi, teh, aneka jenis
kue. Hanya saja yang dipantangkan tidak
boleh menyendok nasi dan sejenisnya dari belanga ke piring. Mestinya melalui
wadah perantara terlebih dahulu. Dalam
keyakinan umum para pelaut itu bisa berakibat fatal di laut seperti dimangsa
hewan-hewan predator laut seperti hiu, buaya, ular laut.
Begitupun
hari yang ditentukan dalam berlayar. Tak semua hari bisa digunakan untuk
memulai pelayaran. Ada hitung-hitungan hari untuk menentukan hari keberangkatan.
Para pelaut Mandar meyakini bahwa ada hari Nakkas. Hari yang diyakini
bisa mendatangkan petaka jika tetap bersikukuh untuk memulai pelayaran pada
hari itu. Menurut pengakuan Hamarong sebagai pelaut, pesan dari leluhurnya
mengingatkan untuk tidak beraktifitas pada hari Selasa. Hari itu adalah hari
yang sangat tragis ketika leluhurnya
memimpin sebuah peperangan di Pamboang bersama pasukannya. Hanya dia, kuda
tunggangan dan seorang pengawal yang hidup ketika berperang dengan pasukan dari
Bugis. Sejak itu hari Selasa dihindari sebagai permulaan hari untuk berlayar,
membangun rumah, menikah dan berbagai kegiatan lainnya yang sifatnya strategis.
Hari Selasa dihindari oleh masyarakat Pamboang secara umum dalam melaksanakan
aktivitas yang sifatnyanya penting seperti berlayar, bercocok tanam, menikah,
dan lain-lain.
Rupa-rupanya
orang Mandar dalam membulatkan niat untuk sebuah urusan pada kalimat,”Takkalai
nisobalang, dotai lele ruppu dazdi natuali,” yang artinya,’Sekali
berlayar, lebih baik hancur daripada kembali’ itu berangkat dari filosofi para pelaut
Mandar. Sekali waktu para peneliti ini mempertanyakan apakah apakah ketika
berangkat berlayar yakin akan sampai ke tujuan dan inshaa Allah akan Kembali
dengan selamat. Lelaki tua ini mengangguk dan mengamininya, refleks dan tegas.
Secara spesifik beliau mengatakan, ‘Ubokkar memangmi ruranga’u di bongi di
Surabaya.’ Artinya,’Saya sudah bongkar muatan di Surabaya tadi malam.” Faktanya, beliau masih di Pamboang waktu
itu dan besoknya baru akan berlayar menuju
Surabaya. Lebih ironis lagi berlayar antara bulan dua belas adalah sebuah
pertaruhan karena itu sudah puncak musim barat dengan gelombang yang tinggi dan
beresiko dalam berlayar. Saya juga agak sedikit sanksi jangan sampai ada unsur
takabbur di dalamnya. Tapi oleh para peneliti ini juga mengiyakan bahwa itu
berangkat dari kebulatan tekad dan keyakinan yang dipahami oleh para pelaut
Mandar, termasuk lelaki tua Hamarong.
Pada keterangan-keterangan yang lain lebih menegaskan keyakinan saya bahwa dengan membaca alam, pesan leluhur, pengalaman, dan terlebih keyakinan yang bersemayam dalam hati, para pelaut Mandar melayarkan perahunya mengarungi ganasnya ombak di selat, tingginya ombak di samudra bahkan menyeberang ke negara tetangga seperti Australia, Singapura, Malaysia, Brunei, sampai ke Pilipina secara abstrak perpaduan antara olah pikir, olah dzikir, pappasang dan haqqul yakin yang mereka genggam secara bulat dan utuh. Artinya, pada diri pelaut Mandar sekali membulatkan tekad untuk berlayar maka pantang untuk kembali sebelum sampai ke tempat tujuan. Secara empiris dapat penulis sampaikan pada bagian ini bahwa suatu waktu pelaut Hamarong di musim barat puncaknya bulan dua belas melayarkan perahunya menuju Surabaya dengan muatan kopra dari seorang saudagar Bugis. Beberapa juragan yang lain menemui yang bersangkutan agar menolak muatan itu dan mengurungkan niat untuk berlayar mengingat resiko yang sangat besar. Para juragan menyampaikan bahwa perahu sementara di dog untuk perbaikan dan beberapa yang berani berlayar kembali karena rusak dan tenggelam. Juragan Hamarong mendengar penjelasan rekan-rekannya tetap ngotot untuk berangkat dan berpesan bahwa inshaa Allah nanti kita bertemu di Surabaya. Sejak itu persiapan dipermantap. Seluruh sawi perahu dihimpun, layar cadangan ditambah, beras, ikan kering, kopi, gula, rokok, air, kayu bakar, dilipatgandakan melebihi porsi normal dalam berlayar. Termasuk tentang penentuan hari, dan waktu berangkat. Tak ada ketentuan pasti jam berapa sauh akan ditarik, layar akan dikembangkan, kemudi dipasang dan perahu bergerak meninggalkan pelabuhan. Semua menyangkut tentang Pappasang (pesan) yang diterima oleh juragan, Bisa jadi habis tiga batang rokok dihisap baru berangkat, bisa jadi juga hanya sebatang sudah keluar perintah untuk berangkat. Sekali lagi ada petunjuk yang datang untuk berlayar. Seperti pelayaran kali ini, pappasang sudah diterima dengan symbol menantang. Benar saja berlayar di bulan dua belas adalah sebuah pertaruhan nyawa, keyakinan, dan siri’ khususnya orang tua ini. Tinggi gelombang mencapai empat sampai lima meter, angin kencang, dan kuatnya arus seperti mainan-mainan kecil untuk sebuah lopi Baqgo yang hanya mengandalkan dua layar. Sekali waktu tengah malam juru mudi (navigator) mengubah haluan perahu menuju Pelabuhan Paotere’ Makassar. Sempat terjadi diskusi panas antara sawi dan juragang perahu. Malam itu perahu tetap menuju Surabaya. Dalam perjalanan kadang berhenti di pulau-pulau kecil, berlabuh menunggu angin reda, mengisi bak air, atau kadang mendorong perahu dengan tokong (bambu panjang), sudah terlalu sering sawi lopi dan juragan bajunya basah dan kering sendiri tanpa diganti. Dalam catatannya, perjalanan menempuh waktu dua puluh delapan hari yang normalnya empat sampai lima hari saja. Terkirim telegram ke kampung bahwa lopi Sumber Amal bongkar muatan di Surabaya. Membayang pelayaran itu benar-benar sebuah pertaruhan.
Posting Komentar untuk "Pelaut Mandar Berlayar di atas Keyakinan"