Retorika dan Sejarahnya

 Retorika dan Sejarahnya

Gambar: https://images.saymedia-content.com/

A.        A.   Pengertian

Retorika adalah suatu istilah yang secara tradisional diberikan pada suatu teknik pemakaian  bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik. Ada dua aspek yang perlu diketahui seseorang dalam retorika, yaitu pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik, dan kedua pengetahuan mengenai obyek tertentu yang akan disampaikan dengan bahasa tadi. Oleh karena itu. Retorika harus dipelajari oleh mereka yang ingin  menggunakan bahasa dengan cara yang sebaik-baiknya untuk tujuan tertentu tadi. Retorika bertujuan menerangkan kaidah-kaidah yang menjadi landasan tulisan  yang bersifat prosa atau wacana lisan yang berbentuk seperti pidato atau ceramah, untuk mempengaruhi sikap dan perasaan orang.

B.       B. Sejarah Retorika

Menurut sejarah perkembangannya, retorika mula-mula tumbuh dan berkembang di Yunani pada abad V dan IV sebelum Masehi. Menurut pengertiannya yang asli, retorika adalah sebuah telaah atau studi yang simpatik mengenai oratoria atau seni berpidato. Kemampuan  pikiran dan gagasan melalui pidato-pidato kepada kelompok-kelompok massa tertentu guna mencapai tujuan tertentu. 

Orang yang pertama-tama dianggap memperkenalkan oratori atau seni berpidato adalah orang Yunani Sicilia. Tetapi tokoh pendiri sebenarnya adalah Corax dari Sirakusa (500 sebelum Masehi). Dialah yang mula-mula meletakkan sistematika oratori atas lima bagian, yaitu:

1.   Proem atau pengantar dari pidato yang akan disampaikan.

2.   Diegesis atau narration, bagian yang mengandung uraian  tentang pokok persoalan yang akan dikemukakan

3.   Agon atau Argumen, bagian pidato yang mengemukakan bukti-bukti mengenai pokok persoalan yang dikemukakan itu.

4.   Parekbasis atau dignesio, catatan pelengkap yang mengemukakan keterangan-keterangan lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan persoalan tadi.

5.   Preroratio, bagian penutup pidato yang mengemukakan kesimpulan dan saran-saran.

Sudah sejak awal perkembangan retorika timbul perbedaan-perbedaan pendapat (controversiae, kontroversi) mengenai beberapa hal yang menyangkut retorika. Kontroversi tersebut menyangkut persoalan pemakaian unsur stilistika, masalah hubungan antara retorika dan moral, dan masalah pendidikan.

Georgia dari Leontini, yang mula-mula memperkenalkan retorika pada orang Athena (sekitar 427 sebelum Masehi, berpendapat bahwa  perlu menggunakan upaya-upaya stilistika dalam retorika. Sebab itu, gaya yang dipergunakannya dalam pidato penuh dengan upaya-upaya stilistika dalam retorika:epitet-epitet penuh hiasan, antitese-antitese, terminasi (akhir kata) yang penuh ritmis dan bersanjak. Nilai antitese tersebut dapat dilihat kelak dalam pidato maupun narasi historis dari karangan Euripides. Pemakaian unsur stilistika yang berlebihan ini kemudian menimbulkan reaksi yang sangat keras, dan dengan sendirinya melahirkan aliran kedua.

Aliran yang kedua ini menghendaki suatu bentuk gaya yang sederhana, seperti tampak dalam  karya Lysias. Sebenarnya aliran kedua ini aliran ini mencari kriteria bagi keunggulan karya mereka  dalam hal: kejelasan, kesan, kepatuhan, keindahan,, dan kemurnian bahasa. Seorang tokoh lain yang berada di luar kedua aliran tersebut adalah Isocrates. Sedangkan Demosthenes berusaha untuk mempertemukan  kedua pihak yang bertentangan itu.

Kontroversi kedua menyangkut relasi antara retorika dan moral: apakah dalam pidato harus juga diindahkan masalah moral. Dalam pidato biasanya tidak dikemukakan pembuktian-pembuktian secara ilmiah. Pidato lebih banyak berbicara mengenai kemungkinan-kemungkinan, karena pendengar biasanya adalah orang-orang yang tidak berpendidikan, atau orang-orang yang tak senang mendengar pidato. Sebab itu, Georgia berpendirian bahwa seorang orator harus menyampaikan bukti-bukti baik mengenai keadilan dan ketidak adilan dengan cara yang sama baik. Ia berpendapat bahwa retorika merupakan alat yang mubazir (amoral). Pendirian ini dikecam oleh lawan-lawannya yang beranggapan bahwa kemampuan oratoris memiliki sesuatu ciri moral esensial, karena kebenaran dan keadilan memberi kemungkinan yang paling baik bagi persuasi. Pandangan terakhir ini kemudian diperkuat oleh Aristoteles. Pandangan ini memberikan sumbangan yang besar dalam bidang teori, namun kenyataan yang dihadapi ialah bahwa kemahiran seorang orator sering memberi perimbangan  yang berlawanan bagi persuasi. Sebab itu, pengaruh Georgia tetap bertahan juga hingga jaman renaissance.

Terlepas dari semua pendapat dan kontroversi tersebut di atas, perlu dikemukakan bahwa karya yang terkenal dari jaman Yunani Kuno ini adalah karya Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) yang berjudul Rethorica. Dalam karya ini Aristoteles mengumumkan bahwa  logika formal adalah dasar yang tepat bagi pidato yang jujur dan efektif baik dalam dewan legislative maupun di pengadilan. Dalam buku ini, ia membedakan  tiga jenis pidato yang didasarkan pada pendengarnya, yaitu (1) pidato yudisial (legal) atau forensic, yaitu pidato mengenai perkara di pengadilan, mengenai apa yang telah terjadi dan tidak pernah terjadi. Pendengarnya adalah para hakim atau yuri dalam sebuah mahkamah pengadilan; (2) Pidato deliberative atau politik (suasoria), yaitu pidato yang berisi nasihat yang disampaikan para penasihat mengenai hal-hal yang patut dan tidak patut dilakukan. Para pendengarnya adalah anggota legislative atau eksekutif; (3) Pidato epideiktik atau demonstrative, yaitu pidato-pidato baik untuk pementasan, upacara-upacara ibadah maupun bukan ibadah, biasanya berisi kecaman atau pujian mengenai hal-hal yang terjadi sekarang. Dalam buku Rhetorica juga diuraikan pedoman-pedoman  umum berbentuk retorika (oratori). Buku ini dimulai dengan cara-cara Menyusun sebuah pidato. Penulis harus mengumpulkan semua bukti (argument) yang mungkin diperoleh dengan meneliti semua tempat atau topoi (topoi= tempat; dari kata ini kemudian diturunkan kata topik) yang ,engandung bukti bagi masalah yang akan dikemukakan. Bila ia ingin mengemukakan masalah politik dengan mengajukan pertimbangan tertentu, makai a harus menemukan hal-hal yang dianggap baik dan tidak baik. Demikian pula keadilan, pengendalian diri, keluhuran budi, dan kebesaran adalah topik yang biasa digunakan sebagai topik dalam pidato.

Bila argumen  telah berkumpul, maka orator harus menetapkan argument mana yang akan dipergunakannya. Di sini tekanan utama diletakkan pada masalah  bagaimana harus memahami psikologi pendengar. Seorang orator harus  mengetahui dengan tepat factor-faktor mana yang dapat menimbulkan kemarahan, kekaguman, dan rasa malu. Orator harus tahu pula mengenai kategori pendengar: tua-muda, kaya-miskin,  yang akan memberi reaksi mereka masing-masing sesuai dengan keadaan mereka masing-masing.

Pengetahuan mengenai bagaimana suatu pendengar berekasi adalah masalah penting. Argumen adalah bagian yang selalu menimbulkan kepuasan dan merupakan bagian yang terpenting dari oratori. Sebab itu hal-hal yang tidak merupakan argumen adalam arti yang sesungguhnya harus diabaikan saja. Dengan menegaskan bahwa  kebenaran dan keadilan  memberikan bukti-bukti yang terbaik, tampaknya Aristoteles  ingin mengatakan bahwa logika formal adalah dasar yang tepat bagi pidato, baik dalam perwakilan maupun di pengadilan. Walaupun argumen yang dikumpulkan tidak banyak kalau dijalin secara tepat dengan cara pendengar berekasi , maka akan dicapai efek yang maksimal. Sebab itu,  argument yang bersifat silogistik  jarang dimungkinkan dalam oratori, karena akan tampak terlalu menjemukan. Retorika harus didasarkan pada entimem.

Karya Aristoteles ini diakhiri dengan diskusi mengenai gaya bahasa (style) dan pola-pola umum yang diikuti pidato. Aristoteles  menekannkan adanya kejelasan, tetapi menambahkan  bahwa metafora dan bahasa kiasan dapat dipakai sekadarnya. Namun metafora ruangan yang dipergunakan  Aristoteles mengaburkan, hanya contoh-contoh yang dipergunakannya dapat mengatasi maslah kekaburan itu.

Dilihat secara keseluruhan, penelitian  yang dilakukan Aristoteles  mengandung banyak kekurangan yang harus dilengkapi oleh generasi berikutnya. Tetapi kombinasi antara pengalaman praktis dan luasnya pandangan filosofis, memberi pada karya ini  suatu makna yang lestari. Generasi Aristoteles berpendapat bahwa  kota-kota bebas sudah mulai mati karena kehidupan politoknya yang aktif, selama dua abad berikutnya, yaitu pada jaman Hellenis, perkembangan retorika ditentukan oleh kebutuhan pengadilan dan pendidikan.


        Sumber: Keraf, Gorys. 1980. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia

Posting Komentar untuk "Retorika dan Sejarahnya"