Haji Karim dan Angka-Angka

 

Haji Karim dan Angka-Angka

Oleh: Wahyudi Hamarong

Haji Karim terlihat santai di teras  rumahnya berubin tegel  yang dibangun dua puluh lima tahun silam bersama istri yang telah meninggalkannya beberapa tahun. Istrinya  mengidap penyakit kanker yang menggerogoti payudaranya sampai baunya menyebar ke mana-mana, menurut dokter ahli,  virusnya sudah   menembus jantung serta  paru-parunya. Waktu meninggal hanya pengurus jenasah yang tidak menutup hidung,  mungkin karena sudah kebal terhadap segala jenis bau. Ramlah istri  Haji karim semasa hidupnya bekerja sebagai guru di sekolah dasar yang jumlah muridnya hanya delapan puluh lima.

              Kini Haji Karim menjalani hidupnya bersama anak semata wayangnya di rumah yang menurut ukuran kampung sudah lebih dari cukup. Di rumah itu sebuah mobil Avansa G menempel di garasi sebelah kanan rumah. Mobil ini kerap digunakan oleh keluarga kecilnya  bersilaturrahmi dengan keluarga yang jaraknya jauh dari rumah ketika ada acara nikah, kenduri, ataupun sunatan massal. Di ruang tamu  masih ada kursi sofa dan meja pendek bersisian dengan berbagai aksesoris peninggalan istrinya. Di dapur juga begitu, kulkas, mesin cuci, dan pemanggang roti juga masih tersimpan rapi.

 Haji Karim hanya punya anak satu. Tina. Kini sudah besar, wajahnya oval seperti bintang iklan Ovale itu, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam legam dan terurai menutupi pundaknya. Ayunan langkahnya setiap pagi begitu anggun dalam balutan seragam sekolah putih biru. Haji Karim melayani kebutuhan anak tunggalnya seorang diri. Mulai dari jajan, pakaian, bedak, Parfum termasuk kebutuhan pokok sehari-hari. Semua sudah dicatat dengan baik. Termasuk mengisi amplop undangan nikah, dipilihnya dengan cermat mana yang mesti dihadiri dan mana diabaikan saja dulu. Tentu muncul pertanyaan, apa sih pekerjaan Haji Karim?  Haji Karim  mengandalkan gaji dari istrinya sebagai  ASN yang menyisakan gaji sebagai warisan untuknya dan anaknya. Sebagai ASN bergolongan IV. praktis Dia  dan anaknya menerima gaji 12%  setiap bulannya atau kalau dirupiahkan lima ratus ribu rupiah lebih sedikit. Tapi dengan syarat, tidak boleh menikah. Justru ini yang menjadi perang batin Haji Karim. Kadang hasrat untuk menikah lagi sering menggodanya. Itu terjadi ketika ada undangan nikah. Berpasang-pasangan  suami-istri lewat di depan rumahnya dalam balutan pakaian terpilih. Duh!

Hanya beberapa ratus meter dari rumah Haji karim sebuah keluarga minus anak diambang kehancuran. Tepatnya, biduk rumah tangga yang dilayarkan Udin dan Aminah selama lima belas tahun berujung cerai. Entah apa musababnya, tapi beberapa tetangga bercerita di pos ronda kalau penyebabnya tidak ada anak yang lahir dalam rumah mungil itu. Pun selentingan beredar kabar bahwa Aminah tidak maksimal mengurusi mertuanya yang sudah renta dan hanya tinggal di pembaringan sepanjang siang malam.  Tiba-tiba saja pada  siang yang menyengat, saudara suaminya mengemasi pakaiannya dan dibuang ke depan rumah. Aminah diusir.  Aminah menangis karena tersinggung dengan cap  seperti itu, lebih-lebih karena suaminya tidak mampu berbuat apa-apa. Padahal menurut tetangga, Aminah sudah mengurusi mertuanya dengan ikhlas bak orang tuanya yang sesungguhnya, mulai dari memandikan, memilihkan pakaian, sampai menyuapinya sambil tetap melakoni pekerjaan sebagai tenaga honorer.  Semuanya berakhir ketika ketuk palu pengadilan agama kabupaten memisahkan keduanya atas nama negara. Kini Aminah kembali ke rumah peninggalan orang tuanya, tinggal bersama saudara perempuannya yang selama ini tinggal sendiri.

Tak ada yang bisa menebak ke mana Allah menggariskan takdir hidup manusia, termasuk Aminah. Tiba-tiba namanya masuk dalam daftar honorer yang akan diangkat sebagai ASN di Kemenag. Tinggal menunggu SK bulan depan. Ibarat bunga yang layu selama ini, tiba-tiba saja bertumbuhan kuncup, mekar dan menyebar wangi ke mana angin pagi dan senja berhembus. Nyatanya, Udin pusing tujuh keliling mendapati Aminah yang berbeda dengan status baru. ASN.

              Pagi yang cerah. Matahari sepenuh hati memancarkan sinarnya di pucuk-pucuk pohon, menembus rerumputan yang masih menyisakan embun semalam. Warga kampung Mata Allo mulai sibuk dengan rutinitas masing-masing. Ada yang memanggul cangkul ke kebun, ada yang menenteng bose ke perahu, pun beberapa berseragam rapi menuju kantor. Seperti biasa Haji Karim duduk santai sembari memainkan jemarinya di atas layar android bermerek Samsung. Beberapa kali dia tersenyum sendiri, kadang juga alisnya bergerak ke atas. Ketika almarhum istrinya masih hidup kadang mereka berbagi cerita tentang apa yang mereka alami hari itu. Bukan satu dua pertanyaan kerap meluncur dari mulut tetangganya tentang mengapa Haji karim tidak juga menutup masa dudanya.

“Pak haji, Kenapa tidak menikah lagi? Anakmu sudah besar, paling tidak dia butuh seorang ibu baru.” Suatu waktu Idham sepupunya bertanya sambil minum kopi suguhan Haji Karim. Haji Karim hanya tersenyum.

“Tunggu saja waktu yang tepat.” Tukasnya seadanya.

Idham masih belum mengerti juga seperti apa jalan pikiran Haji Karim. Bukan apa-apa, kalau mendengar umurnya yang  dua tahun lagi  genap empat puluh tujuh tahun masih sangat wajar kalau dia akan beroleh keturunan. Lagi pula ada si Wati yang baru lulus kuliah, Rina yang menunggu jodoh diumur tiga puluh lima tahun, atau Salmah  yang kemana-mana tampil modis dengan pakaian seksi menempel ketat di tubuhnya.

Bukannya Haji Karim tak memikirkan menikah seperti saran Idham tempo hari. Bertahun-tahun masalah itu sudah menggelayut manja di ruang hatinya. Hasrat biologisnya kadang meletup-letup di malam yang basah oleh guyuran hujan. Belum lagi anak semata wayangnya yang semakin butuh perhatian seorang ibu di usia remajanya.

“Kalau saya menikah pasti saya tak terima gaji lagi tiap bulan. Kalau hanya mengandalkan lima bentor yang kusewakan itu paling hanya satu jutaan yang bisa masuk dikantongku. Itu juga kadang tekor.  Kadang sopir-sopir bentor minta ongkos tambal ban, ganti oli, atau tali kopling yang putus. Kalau Wati, Rina, atau Salmah saya lamar itu sama saja dengan bunuh diri. Tak ada tambahan pemasukan untuk hidup nantinya.” Haji Karim  suntuk dengan pikiran-pikirannya yang menemui jalan buntu.

Tiba-tiba Haji Karim tersenyum, wajahnya sumringah. Tanpa sadar diteguknya kopi dingin yang  tinggal ampas.

              Malam semburat pantulan bulan purnama menyembul di balik bukit. Angin timur berhembus mendorong perahu-perahu nelayan mencari penghidupan di tengah laut. Malam itu Haji Karim mengutus  dua orang keluarganya ke rumah Aminah. Tidak tanggung-tanggung orang yang diutus adalah orang yang terbiasa dalam proses pelamaran dan terbukti selalu berhasil menyambungkan silaturrahmi. Dua amplop diberikan kepada Puang Baso untuk diteruskan ke keluarga Aminah. Isinya tiga lembar uang sepuluh ribu dan satunya empat lembar uang sepuluh ribu. Rupiah ini setara dengan biaya nikah empat puluh juta dan tiga puluh juta rupiah, belum termasuk bawaan lainnya.  Selepas kepergian Puang baso ke rumah Aminah, mulut Haji karim komat-kamit berdoa, berharap niatnya melamar Aminah dengan status barunya itu mendapat sambutan hangat. Apatah lagi yang diutus bukan sembarang orang, Puang baso yang berdarah biru dan terpandang di kampung. Tak cukup dua jam rombongan kecil itu kembali. Mereka disambut oleh Haji karim dan beberapa kerabatnya. Rasa penasaran jelas tergambar di wajahnya.

“Begini Aji, kami sudah sampaikan ke Aba Aminah tentang lamaranmu. Tapi, setelah ditanya langsung ke Aminah, rupanya Aminah menolak untuk menikah. Alasannya, ingin menenangkan diri dulu setelah bercerai beberapa bulan lalu.” Puang Baso langsung masuk ke inti pembicaraan sambil mengangsurkan kembali amplop yang tadi dibawanya. Haji Karim menerima amplop itu dan meletakkannya begitu saja. Pikirannya menerawang pada pelaminan yang tertunda.

 

Pamboang, 16  Desember 2016

 

 

 

 

             

 

             

 

 

 

 

 

 

2 komentar untuk "Haji Karim dan Angka-Angka"

  1. Cerpen "Haji Karim dan Angka-Angka" dalam Cerpen ini ada beberapa kalimat yang saya tidak ketahui dalam bahasa indonesia ada kalimat seperti "Musababnya" yang saya tidak mengerti.Saya tidak tau apakah ini salah dalam penulisannya dalam tulisan "Sebebnya". Ada juga penggunaan bahasa daerah juga tidak saya mengerti contoh seperti "bose" 🙏🙏

    BalasHapus
  2. Karena pada Zaman ini kebanyakan menggunakan bahasa indonesia dibandingkan menggunakan bahasa daerah terutama anak muda sekarang yang kebanyakan menggunakan bahasa indonesia dan ada juga beberapa tidak menggunakan bahasa daerah lagi.

    Mohon maaf pak masih ada tambahannya pak🙏🙏

    BalasHapus