9 Tahun Jabatan Kepala Desa, Perlukah?


       Para kepala desa se Indonesia menggelar aksi demontrasi damai menuntut masa jabatan kepala desa diperpanjang                         menjadi 9 tahun.  (liputan6.com/ Faisal Fanani)

Pagi ini saya disapa oleh sebuah status yang dibagikan oleh teman lewat akun facebooknya, "Para kades meminta masa jabatan 9 tahun. Jangan tanggung-tanggung pakde, sekali seumur hidup saja." Saya berpikir tentu ada hulu dari persoalan ini yang membuatnya gusar sepagi ini.  Begitulah kebiasaan saya, jika ada berita yang berulang-ulang mendapat tanggapan di dunia maya, saya biasanya mencari kebenarannya di media online.

Benar saja, di laman CNN memberitakan  kalau para kepala desa melalui Perkumpulan A

paratur Pemerintah Desa (PAPDESI) menggelar demonstrasi di depan gedung DPR RI di Jakarta pada Selasa, 17 Januari 2023. Poin permintaan para kepala desa  adalah   revisi  UU No 6  tahun 2014 tentang Desa pada pasal  39 ayat 1  yakni meminta  perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun selama 2 periode. Beberapa alasan dari para kepala desa mengemuka saat ini. Pertama,  kurun waktu 6 tahun memerintah di desa tidak cukup. Masa jabatan 6 tahun itu  semakin mempertajam persaingan antarcakades, dan pertambahan masa jabatan menjadi 9 tahun dapat menurunkan  tensi persaingan. Kedua,  tahun pertama setelah terpilih, para kades sibuk membangun konsolidasi dengan masyarakat yang sempat terbelah, sementara 2 tahun menjelang masa jabatan berakhir, mereka sibuk untuk melakukan persiapan untuk pemilihan berikutnya. jadi, efektifnya membangun desa hanya 2 tahun sehingga visi misi para kepala desa tidak mencapai target. 

Beberapa sinyal dari petinggi negeri konon mengamini permintaan para kepala desa mulai dari Presiden, Kemendagri, pun para wakil rakyat di senayan sana. bahkan akan masuk dalam prolegnas prioritas DPR tahun ini. Wah, segesit itu respon para petinggi negeri seolah persoalan ini masuk wilayah tanggap darurat seperti gempa bumi dengan efek merusak yang sangat luas.

Saya lebih sepakat dengan  Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun yang mengatakan bahwa waktu 6 tahun itu cukup dan permintaan perpanjangan 9 tahun itu merusak demokrasi. Waktu 6 tahun itu sangat cukup untuk melaksanakan program-program desa, dan waktu 6 tahun itu waktu yang lama untuk  memerintah desa yang jumlah  penduduknya rata-rata hanya puluhan ribu. Beberapa pendapat lainnya  yang mengemuka adalah perpanjangan ini mengakibatkan lambannya regenerasi kepemimpinan di tingkat desa.

Masa jabatan 6 tahun bagi saya itu cukup untuk melaksanakan program-program yang telah dihasilkan melalui Musyawarah Pembangunan Desa (Musrembangdes) dengan bertumpu pada dua sumber anggaran yakni Dana Desa, ADD, dan sumber lainnya yang sah. Waktu 6 tahun ini sangat cukup untuk berdiskusi, menggali persoalan warga terutama pada aspek pemenuhan pelayanan dasar, pembangunan infrastruktur seperti jalan tani, irigasi, embung, bantuan alat pertanian, pupuk, alat tangkap, alat pertukangan. Masa jabatan 6 tahun itu alokasi waktu yang cukup lapang untuk menangkap aspirasi warga  dalam  celah penguatan ekonomi keluarga agar mampu tumbuh, berkembang, dan mandiri lewat program yang bersesuaian dengan kebutuhan masyarakat misal pertanian, perikanan, perdagangan, pariwisata sesuai dengan potensi tiap-tiap desa.

Masa jabatan 6 tahun dan setelahnya bisa dipilih lagi untuk periode berikutnya dan maksimal tiga periode adalah rentang waktu yang lebih di atas jika dibandingkan dengan periode jabatan politik di atasnya. Cermatilah jabatan Presiden, gubernur, bupati, DPR, DPD yang masa baktinya hanya 5 tahun dalam satu periode. Tentu ini perlu kajian regulasi yang mendalam dan kritis mengingat jabatan kepala desa adalah struktur jabatan paling rendah dalam pemerintahan di negeri ini.

Tak bisa dipungkiri dalam setiap perhelatan demokrasi yang dilaksanakan menghadapkan pada pilihan kalah dan menang. Pemilihan kepala desa memang menyisakan dua kubu yang menang dan kubu yang kalah. Dalam beberapa kasus butuh waktu menyatukan kembali dalam semangat kebersamaan. Tinggal bagaimana seorang kepala desa terpilih yang diberikan amanah tampil memimpin mengakomodasi semua aspirasi  warganya dan mengerucutkannya dalam perencanaan tanpa melihat lagi kubu yang tidak memilihnya. Dengan begitu, warga yang tidak memilihnya akan mengamini bahwa kepala desa terpilih memang layak untuk memajukan desa. Artinya, permintaan untuk menambah masa jabatan menjadi 9 tahun dengan alasan untuk menyatukan masyarakat yang terbelah belum terlalu mendesak.

Selain beberapa alasan yang penulis kemukakan di atas, sebenarnya hal yang lebih penting untuk dipikirkan oleh seorang kepala desa dengan kewenangan penggunaan anggaran yang dimilikinya yakni   mampu mengangkat derajat kemuliaan warganya. Bagaimana agar warga yang dipimpinnya mampu mendapatkan penghasilan sendiri dari usaha sendiri sesuai dengan bidang pekerjaan yang selama ini digelutinya. Bagaimana caranya agar pendapatan warga dalam usaha yang ditekuninya dapat bertambah dan  memiliki tabungan dari usaha itu. Bagaimana caranya meningkatkan kualitas produksi usaha rumah tangga mengikuti  trend pembeli. Bagaimana caranya agar pangsa pasar yang terbatas bisa lebih luas lagi dengan harga yang layak. Bagaimana caranya agar desa yang dipimpinnya mampu membangun kerjasama dengan pihak luar dan menawarkan  beberapa komoditas yang di produksi di desa masing-masing. Bagaimana caranya agar sebuah desa memiliki branding sesuai dengan usaha ekonomi yang dijalankan. Jadi, begitu menyebut nama sebuah desa, yang lekat dalam ingatan yakni produk khas dari desa itu. Semoga.


Posting Komentar untuk "9 Tahun Jabatan Kepala Desa, Perlukah?"