Dusun Tappabanua, Sebuah Sudut Kearifan Lokal


                                                                                      Foto: Aswadi Hamarong

Saya masih mengingatnya dengan jelas. Tepatnya Jumat,  23 Desember 2023. Sejak pagi pagi mendung menggantung tebal mengarak dari barat ke timur.  Matahari seharian juga   tidak muncul.  Angin bertiup tidak seperti biasanya, begitu  kencang mengayun semua jenis pohon yang berdiri di atas tanah. Suaranya menderu mengirim pesan bahaya. Hujan memang sejak pagi tak pernah reda. Selokan memuntahkan air hujan karena tak lagi sanggup mengalirkan sesuai alurnya. Jalanan di depan rumah juga begitu, berubah menjadi aliran sungai dadakan. Tak tampak jalanan aspal seperti biasanya.  

Saya sudah menduga sebelumnya kalau ini akan menjadi petaka untuk warga yang tinggal di daerah pesisir pantai, Termasuk Dusun Tappabanua, Dusun Tinambung, maupun Dusun Sappolongang. Air hujan yang terus turun dengan derasnya, tingginya air sungai sampai dua meter, angin kencang yang bertiup sejak pagi, gelombang laut setinggi empat meter berpapasan dengan air laut pasang. Benar saja, sore itu warga berlarian ke pinggir pantai. Mereka berteriak histeris mendapati perahu-perahu mereka seperti mainan kecil dalam gulungan ombak yang tak berhenti menghantam. Perahu  tenggelam, beberapa bertabrakan, lainnya patah cadik dan papannya lepas. Belum selesai dengan urusan penyelamatan perahu, baru mereka sadar kalau ternyata tanggul penahan ombak  yang dibangun beberapa tahun  lalu itu jebol. Ombak besar  berkejaran menghantam tanggul dan hancur berkeping-keping. Dinding rumah tumbang, air laut sukses merendam pemukiman warga. 

Pagi yang dingin warga ramai membersihkan puing-puing rumah yang hancur diterjang ombak dan angin. Balok berserakan, dinding rumah  rusak, alat dapur juga  berserakan di mana-mana. Dari jauh kelihatan  perahu yang rusak maupun masih utuh disatukan dalam satu area yang lapang. Pada tempat yang sama, terlihat jelas tanggul penahan ombak yang dibangun beberapa tahun lalu oleh pemerintah  hancur tak beraturan, bahkan masuk ke dalam kolong rumah warga. Semua warga bekerja, gotong royong, tak pilih siapa punya. Tapi, tak sedikit juga ibu-ibu yang matanya sembab mendapati rumahnya tak lagi seutuh sebelumnya.

Seusai bencana itu, beberapa warga berembuk dengan kepala dusun mencari jalan keluar dari bencana paling besar sepanjang mereka menetap di pinggir pantai. 

"Begini saja, setiap keluarga menyumbang semen sesuai kemampuan. Kalau pun ada sumbangan dari luar ya alhamdulillah kita terima dengan senang hati." Usul seorang warga sambil matanya memandang ke peserta rapat lainnya. 

"Kita semua yang kerja, tak perlu ada yang diupah." Kepala Dusun Tappabanua mengambil alih kembali jalannya rapat.

Esok harinya, pengakuan sumbangan dari warga mulai masuk. Mulai dari satu, dua, tiga, empat, lima per keluarga. Warga dari luar yang masih kerabat  dan lahir dari desa s ini turut memberikan sumbangan. Begitu pun yang memberikan sumbangan hanya dengan melihat beberapa video di facebook. Semua menyumbang dengan ikhlas. Sekira lima hari sejak peristiwa itu, warga ini kembali berkerumun di pinggir pantai. Tapi bukan lagi membersihkan puing-puing sisa terjangan ombak dan angin. Mereka bahu-membahu kembali bergotong royong membangun  tanggul yang rusak parah. Ada yang mengangkat batu dan semen,  menuang campuran ke tukang-tukang, mengoperasikan  mesin moleng. Mereka bergantian tanpa komando. Sementara ibu-ibu dan remaja perempuan juga tak mau kalah. Mereka membuat dapur umum untuk seluruh warga yang bekerja beberapa hari itu. bahan makanan juga sumbangan dari warga sendiri ditambah sumbangan dari beberapa pihak yang membantu. Dalam catatan kepala dusun, Aswadi Hamarong memaparkan panjang tanggul yang dikerjakan baik yang rusak permanenen maupun penambalan sekira  50 meter, donasi semen 180an zak, serta jumlah warga yang terlibat  mencapai 60 orang, belum termasuk perempuannya.

Di tengah kuatnya budaya individualis karena pengaruh modernisasi dan teknologi. Di tengah menipisnya jiwa sosial dan kemanusiaan setiap orang karena ego dan kepentingan. Desa Tinambung umumnya, dusun Tappabanua khususnya tetap merawat kebersamaan secara turun-temurun dalam berbagai praktik baik,  mulai dari membangun rumah, kematian, pernikahan, sampai menaikkan perahu ke darat  dilakukan dengan gotong royong. 






Posting Komentar untuk "Dusun Tappabanua, Sebuah Sudut Kearifan Lokal"