cerpen : Tiba Sebelum Berangkat


Cerpen                                

Tiba Sebelum Berangkat

Oleh: Wahyudi Hamarong 

Foto: ngopibareng.id

Mendung sedari tadi masih menggantung  di bagian barat. Gumpalan awan hitam bergulungan  menunggu terjangan angin musim  yang menderu dan menerjang pohon kelapa yang membujur sepanjang pantai.

Meski cuaca tak bersahabat pagi ini tapi sinar mentari masih tak terhalang menembus permukaan daun-daun  kelapa dan beberapa pohon lainnya yang tumbuh tak beraturan. Seperti hari-hari sebelumnya aktivitas warga pesisir seperti biasa.  Para nelayan sedari tadi pulang dari melaut. Hempasan ombak musim barat tak mampu membuat mereka bertahan lebih lama.  Nelayan yang lain menambatkan perahunya pada pancang yang dipatok sebagai jangkar. Ada pula yang menggosok-gosok badan perahu membersihkan lumut yang menempel. Anak-anak menghambur ke laut menjemput kedatangan orang tuanya. Biasanya mereka langsung masuk ke lambung perahu dan mengangkat ember berisi ikan hasil tangkapan. Semua anak melakukan hal yang sama tapi hanya beberapa yang menunjukkan ikan hasil tangkapan orang tuanya. Selebihnya hanya tersenyum kecut.

“Assalamualaikum.” H. Abdullah dengan sajadah masih melingkar di lehernya menyapa Juragan Hamarong di suatu pagi.

“Waalikumsalam.” Juragan Hamarong mendekat dan segera menyalami tamunya.

Tak biasanya Haji  Abdullah orang terpandang di kampung ini berkunjung. Pemilik dua LopiBa’go dan beberapa kebun yang terhampar luas di beberapa tempat. Belum lagi perahu-perahu sandeq yang dipakai oleh para nelayan di kampung  dan  dipinjamkan untuk menangkap ikan.

“Begini, saya ke sini mau tanya, apa iya lopimu akan tetap berlayar ke Surabaya minggu depan. Soalnya, kemarin ada telegram kalau  dua lopi saya yang berangkat tiga hari lalu balik haluan ke Makassar. Satu layarnya robek dan patah kemudi. Satunya lagi bocor, ada papan di dekat lunas  yang lepas. Ombak setinggi tiga sampai empat  meter di Selat Makassar sangat ganas. Semua lopi yang berangkat dari Pamboang tidak sampai di Surabaya. Mereka hanya sampai di pelabuhan Paotereq.

Jadi jangan coba-coba berangkat! cukup lopi saya dan lainnya yang celaka.”

JuragangHamarongdari tadi hanya diam. Dia mencerna kata demi kata keluar dari bibir coklat  Haji Abdullah. Semua disimak dengan baik. Terbayang memang pelayaran ganas melintas selat Makassar dan Masalembo yang kerap dilaluinya di pergantian musim timur.

“Terima kasih, Aji. Semalam kopra itu saya  bongkar di Surabaya dengan izin Allah.” Jawab JuragangHamarong singkat.

“jadi, tetap akan berangkat?”

“Inshaa Allah.” Kembali dia menjawab pelan.

Tamu itu terdiam dan hanya menatap wajah orang di depannya. Mereka saling mengenal sebagai sesama pelaut. Termasuk karakter JuragangHamarong yang banyak diceritakan sawi lopinya.

“Kita lihat saja nanti. Saya permisi, Juragang.” Katanya sambil beranjak dari kursi kayu jati yang mulai di makan rayap.

“Terima kasih nasihatmu, doakan kami selamat, Pak Haji.” JuragangHamarong mengantar H. Abdullah sampai menuruni anak tangga.

Ini  Desember 1975 di Pamboang. Semua tahu maknanya bagi para pelaut dan pelayar. Musim Barat yang melewati selat Makassar terkenal dengan ombak dengan gelombang  setinggi tiga sampai empat meter. Angin yang sampai ke pesisir pantai menerbangkan pasir ke mana-mana. Kadang-kadang pasir itu menimbulkan rasa sakit di betis dan perih di mata. Baqgoq, phinisi, leteq, pakur, dan sandeq lebih banyak didok oleh para pemiliknya daripada membentang layar mengarungi lautan yang penuh risiko. Hanya satu dua yang berani melakukannya, tentunya dengan hitungan pengalaman  cermat.

            Untuk kesekian kalinya  lelaki berumur empat lima tahun itu memilin tembakau dengan kertas. Pelan-pelan dia membakar ujungnya dan menghembuskan ke udara. Asap dan aroma khas tembakau menyeruak dan memenuhi ruang tamu.  Segelas kopi masih tersisa seperempat dalam cangkir sisa oleh-oleh ketika kembali berlayar dari Malaysia dua bulan lalu. Matanya hampir tak berkedip memandangi lautan yang terbentang di depannya. Hembusan angin laut yang tembus dari jendela terasa menampar-nampar wajahnya. Dia kembali melirik pergelangan tangannya. 09.00.

“Semua sudah siap, tinggal kopor  Juragan yang belum ada di lopi.” Seorang sawi datang menghadap dan menyampaikan persiapan berangkat.

“Nanti anak saya ke situ menyampaikan kalau sudah siap. Kembali saja dulu. Cek ulang kembali persiapan. Siapkan dua kali lipat dari biasanya, layar dua pich, beras dua pikul, kopi, gula dan air. Kalau air pastikan dua  bak  terisi dan jangan ada jerigen yang kosong.

“Iye, Juragan. Permisi!” Lelaki itu segera menuruni anak tangga. Ada bunyi yang menderit menahan beban lelaki itu.

Lelaki itu masih mengepulkan asap dari mulutnya untuk ke sekian kalinya.  Sekali-sekali dia melirik arloji di pergelangan tangannya.

Dia kembali menghembuskan asap rokoknya sambil memandang langit- ruang tamu yang mulai ditembus sinar matahari. Dia sepertinya menunggu sesuatu. Tak begitu jelas. Seekor ayam yang selama ini dipeliharanya berkokok di kolong rumah. Lengkingan suaranya tak bersambut ayam lainnya. Dia menengadah ke atas, merapal doa-doa keselamatan seperti selama ini dilakukannya. Pelayaran ini sudah ke empat puluh tiga menurut ingatannya.

Istrinya beringsut dari tempat duduk dan menyalami suaminya.  Juragan Hamarong   menuruni anak tangga dengan  kemeja putih dan kopiah hitam serta  balutan sarung Sa’be Mandar. Matahari mulai menyengat.

Di atas sampan yang di dayung oleh sawi lopi terlihat perahu khas Mandar itu mengangguk menyambut tuannya yang mulai mendekat meskipun gulungan ombak tidak seperti biasanya.  Sampan yang membawa juragang Hamarong semakin mendekat. Dia memberi kode memutar kepada sawi lopi. Anak buah itu mengitari lopi Ba’go dengan pelan sebanyak tiga kali. Juragan itu menajamkan pandang dan mengamati badan perahu lebih cermat. Ada semut hitam beriringan  keatas sambil menggigit makanannya.

Juragan Hamarong pelan memasang Guling sebagai alat kemudi perahu. Tangannya cekatanmenyimpul tali dan menggerakkan  tuas keluar. Mulutnya komat-kamit. Pandangannya menatap jauh menembus jenggala langit.

“Tarik jangkar dan pasang layar. Arahkan perahu langsung ke barat daya!” Dia memberi petunjuk singkat ke anak buahnya.

Perahu dengan perut buncit menari-nari dipermainkan ombak yang datang tanpa henti. Perahu itu melaju dengan kecepatan tinggi. Dua pasang layar kini terbentang pada tiang utama perahu. Kecepatan kali ini tidak seperti biasanya. Angin musim barat membuat gerak perahu lamban. Juragan Hamarong membuka kompas yang terlipat dikopor kayunya. Arah barat daya  berartilopi  tidak singgah ke pulau Tanjung Seloka ataupun  Kerasian. Tapi titik itu   langsung ke pelabuhan Tanjung Perak  Surabaya dengan pelayaran normal lima sampai enam hari.

            Lopi baqgoq kali ini bergerak lincah dalam tarian ombak  kecil-kecil. Tiupan angin yang berhembus dari utara dalam tempo yang sedang membuat para  sawi perahu bisa lebih santai.  Di bagian belakang  Sunding meniup seruling di samping juru mudi. Bunyi serulingmendayu-dayu merintih dalam alun simponi  kerinduan kepada  istri dan anak-anak yang ditinggalkannya. Sesekali dia menyeduh kopi yang baru saja dihidang Rasid. Usman yang dapat giliran  sebagai juru kemudi  hanya melirik sejenak dan menyeka air bening di sudut matanya yang muncul begitu saja. Lain lagi dengan Kahar. Dia duduk  di samping perahu sambil sekali-sekali menarik tali pancing yang dipasangnya sejak tadi. Dia berharap ada ikan Tuna yang mengajaknya adu kekuatan lagi seperti pelayaran sebelumnya pada rute yang sama. Tentunya itu menjadi lauk untuk beberapa hari perjalanan ke depan. Tiga awak perahu lainnya cekatan menyimpul beberapa tali yang mulai longgar.  Juragang Hamarong mengamati gerak semua awak perahu di bagian depan sambal mencerna gejala alam yang tersaji di depannya.

Seperti pelayaran sebelumnya semua gerak awak perahu dan juragang Hamarong tersaji di atas perahu. Tak ada  yang bisa  masuk ke dalam perut perahu karena sarat dengan kopra seberat dua puluh delapan ton. Hanya tas dan kopor  merekayang mampu disusupkan.  Panas dan hujan sesuatu yang menjadi sangat biasa untuk semua pelaut di manapun.

Senja mulai temaram di bagian barat. Sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduan dan  lenyap dalam pandangan. Kegelapan akan mengepung. Juragang Hamarong menajamkan pandang. Kilat menyapanya di barat daya meski nyaris tak ada mendung. Pikirannya merunut kejadian-kejadian yang berulang-ulang.

“Usman, pastikan tiga senter menyala. Kalau ada yang mati ganti baterainya!”

“Iye, Juragan. Usman segera mengikuti perintahnya.

“Kahar, Sunding, pastikan semua simpul tali tak ada yang longgar. Periksa baik-baik!” Mereka  memandang satu sama lain.

Usman segera menyalakan pelita dan di gantung pada paku yang menancap di tiang. Malam itu seusai sholat mereka melingkar menikmati menu malam yang tersaji di bawah sinar pelita yang hanya mampu menerangi beberapa sisi perahu. Hanya juru kemudi yang  melahap makanannya di bagian belakang.

Juragan Hamarong melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul dua puluh dua lewat empat menit. Wajahnya menengadah ke langit malam. Masih jelas bintang-bintang berkedip dari segala penjuru. Sesekali meteor melintas dalam hitungan detik. Hanya di sebelah selatan beberapa awan menggumpal hitam dan pelan bergerak. Matanya awas mengikuti gumpalan-gumpalan itu  serupa raksasa dalam cerita dongeng.

Tiba-tiba angin bertiup kencang sekali dan menyusul ombak yang menghantam badan perahu dari depan dalam ritme yang lebih cepat.

Sunding kaget merasakan tali penghubung layar yang terikat pada tuas di sampingnya tak melengkung sama sekali. Hanya layar yang mengibas sekali dan seterusnya melengkung menampung angin. Kali ini badan perahu miring ke kanan dalam kecepatan tinggi menerjang ombak yang dating silih berganti.

“Juragan, layar di sudut kanan atas robek.” Teriaknya sambal menyorot senter ke layar. Benar saja, kain itu robek sekira tiga meter.

“Ayo, turunkan dan  ganti dengan layar baru!” Sontak semua awak perahu bergerak refleks tanpa komando lagi. Semua sudah tahu harus mulai dari mana. Dalam gelap Usman mengambil layar cadangan yang tersimpan dalam perahu. Sementara lainnya cekatan menurunkan layar dan meloloskannya dari bambu yang memanjang dari tiang sampai ke belakang. Praktis layar yang berfungsi hanya bagian depan dengan ukuran yang lebih kecil. Ini untuk menghindari terjangan ombak dan bisa saja perahu tenggelam.

“Juragan, guling patah!” Sunding kembali berteriak dari belakang.

“Ayo, turunkan jangkar. Kita berlabuh di sini!” Juragan Hamarong memberi perintah.

“Ini laut dalam Juragan. Tali tak akan sampai ke dasar.” Kali ini Kahar yang bicara sambil memperbaiki posisi layar yang baru saja terpasang.

“Ada rumput laut yang masih hijau mengapung di permukaan. Sebelum magrib, beberapa bangau beterbangan ke utara. Ini laut dangkal. Kira-kira  hanya enam puluh meter. Tali di depan panjangnya sampai dua ratus meter.” Katanya sambil menyorot rumput laut yang mengapung dalam permainan ombak.

“Bagaimana kalau  kita balik haluan saja Juragan?”

“Kita tak akan sampai di Surabaya. Ombak sangat tinggi, angin juga tak surut sama sekali. Kita juga belum melewati pulau Masalembo di depan.

Juragan menatap tajam ke Sunding. Dalam remang pelita berbingkai kaca terlihat samar wajahnya merah. Ingatannya langsung kepada H. Abdullah tempo hari. Pikirannya melintas ke Daeng  Sulili yang menitip kopra kepadanya.

“Kita tak akan kembali sebelum kopra-kopra ini sampai ketujuan. Bukan pelaut kalau takut dihempas ombak. Bukan pelaut jika ciut menantang badai. sambung kembali guling itu. Simpul lebih kuat seperti biasa. Ingat, jangan sampai Lopi  balik haluan ke paotereq. Semua diam. Tak ada lagi yang berani menyanggah kata-katanya.

Malam itu  angin bertiup kencang lebih lama dari biasanya. Ombak pun begitu, di samping tingginya lebih dari tiga meter juga pecah dalam perjalanan. Setiap saat gelomabng setinggi tiga meter menghajar lopi. Orang-orang di atas perahu basah kuyup. Percikan ombak sampai ke atas perahu. Usman bersaing dengan ombak memompa air yang muncul dalam perahu. Otot-ototnya menonjol dalam temaram lampu pelita. Juragan  Hamarong hanya duduk tenang mencerna sajian-sajian alam yang terhampar di depannya sembari mulutnya komat-kamit merapal doa dan mantra.

Mentari sudah menyingsing di belakang lopi baqgoq. Sinarnya tembus sempurna di atas perahu. Baru saja Juragang Hamarong dan awak perahu lainnya sholat subuh. Agak telat memang. Itu karena semalam tidak ada yang tidur.

********

Lopi Baqgog yang berlayar dari jauh membelah teluk Mandar semakin lama semakin jelas. Kalau dari tadi yang nampak hanya bentangan dua layar yang mengembang dan mengibas tertiup angin bersama dengan bendera merah putih yang ditancap di buritan.  Kali ini di sela permainan ombak kecil yang mengiringi dari belakang keseluruhan badan perahu mulai nampak termasuk Sunding, Usman, Kahar dan tiga awak perahu lainnya yang mulai sibuk mempersiapkan peralatan untuk berlabuh. Demikian juga dengan Juragan Hamarong yang duduk bersila sambil memandang jauh ke pelabuhan Pamboang yang mulai nampak di depannya dengan deretan perahu leteq, baqgoq, pakur dan sandeq yang membujur sepanjang pelabuhan. Seperti biasa bunyi gong ditabuh berulang kali dari lopi Baqgoq sebagai penanda kepada penghuni daratan bahwa mereka telah sampai dengan selamat.

******

“Apa dua lopi  saya masih di paotereq Makassar, Juragan?” Kapan mereka kembali?”H. Abdullah mencecar   Juragan Hamarong begitu sampan kecil yang ditumpainginya mendarat di bibir pantai. Rupanya dari tadi dia menunggu di balai-balai yang sengaja dipasang di bawah pohon  Korsen.

“Maaf, Pak Haji. Kami dari Surabaya dan tidak singgah di pelabuhan Paotereq. Jadi, kami tidak ketemu juragan dan sawi lopi Pak Haji.” Juragan Hamarong menjawab singkat.

Beberapa lusin piring, gelas dan kain pesanan khas dari Kota pahlawan diturunkan Usman dari dalam sampan.

“Jadi?” Haji Abdullah tak lagi melanjutkan kalimatnya seusai melihat barang-barang itu. Matanya kembali melotot melihat benda-benda itu.

******

Pamboang, 10 September 2018

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

12 komentar untuk "cerpen : Tiba Sebelum Berangkat"

  1. Bahasa yang digunakan sulit dipahami karena ada beberapa penulisan kata yang tidak bisa dipahami artinya

    BalasHapus
  2. Ceritanya sangat bagus karena bercerita tentang pelayaran. Namun ada beberapa penulisan kata yang sulit di mengerti

    BalasHapus
  3. Ceritanya sangat menarik karena bercerita tentang pelayaran mandar,tetapi masih ada penggunaan kata yang masih belum di mengerti

    BalasHapus
  4. Ceritanya sangat menarik karena bercerita tentang masa lampau, dan ada beberapa penulisan kata yang sulit di pahami karena menggunakan bahasa daerah . dan anak muda jaman sekarang jarang menggunakan bahasa daerah

    BalasHapus
  5. Ada beberapa bahasa yang sulit dipahami contohnya dari kata pancang , cerpen ini juga menceritakan tentang ksedihan karena antara hidup dan mati karena harus melewati ombak dan angin yang sangat ganas.

    BalasHapus
  6. Cerpen ini menceritakan tentang seorang yang berlayar dilautan yang luas.
    Yang bisa kita contoh dari dalam novel ini adalah sebagai orang pemberani dia rela berlayar melewati ombak dan angin ganas dan juga melewati kerinduan kepada istri dan anak-anaknya

    BalasHapus
  7. Ceritanya sangat memarik tapi ada penulisan kata yang sulit dimengerti

    BalasHapus
  8. Pada cerpen “Tiba Sebelum Berangkat”.
    Ada beberapa pengetikan kata yang tidak pas, Misalnya pada Cuplikan “Juragan, Layar di sudut kanan atas robek”. Teriaknya sambal menyorot senter ke atas.” Mungkin penulisan yang pas untuk kata Sambal yaitu sambil.

    BalasHapus
  9. Ceritanya Memang SDH Bgus Sihh cuman Masih Ada beberapa kata Yang Belum Bisa Di mengerti

    BalasHapus
  10. Cerpen ini ceritanya sangat bagus dan mudah dipahami tapi ada kata-kata yang tidak kita mengerti

    BalasHapus