Malam-Malam Sunyi



                                                                                           Sumber: Fixabay.com

Mataku menatap jam yang menggantung di dinding ruang tamu menunjuk angka 24.00. Beberapa cicak membiarkan saja seekor kupu-kupu menari-nari di dekatnya, tak bergerak sedikit pun. Mungkin perburuan reptil itu sudah dianggap cukup untuk malam ini. Binatang melata itu  tak seramai tadi begitu bedug magrib menggaung dari surau. Begitu lampu teras, ruang tamu  dan dapur menyala bersamaan spontan hegemoni  siang  mulai berganti, cicak, tokek, serangga, bahkan kelelawar kecil pun hadir. Itu hanya di dinding saja, tentu di luar lain lagi, yang jelas dari sini nyanyian jangkrik, lengking kelelawar, dan orchestra kodok menyatu dalam  pesta seusai hujan tadi sore. Aku tetap di sini seperti malam-malam sebelumnya ketika desis napas putra-putriku  terdengar lirih dan sesosok tubuh ringkih bergerak sedikit dalam balutan selimut yang melorot.

“Inan, Inan… Saya mau kencing.” Saya sudah sangat hapal suara itu dan nama yang disebut berulang-ulang. Itu suara Aba memanggil  cucunya. Saya segera beringsut dari kursi plastik dan pelan mendekat. Kulepas sarung yang melekat di tubuhnya dan menuntunnya berdiri. Pelan saya memegang bahu dan lengan menuju kamar mandi. Di kamar mandi pun saya tidak biarkan berdiri takutnya oleng dan terbentur di dinding.  Ada “kursi tali-tali” yang bisa  berfungsi ganda sebagai tempat kencing sekaligus buang air besar. Lelaki itu kini tidur kembali dalam  balutan selimut tebal. Sesekali batuk yang belum sembuh itu mengganggunya untuk lebih nyenyak.

Seperti biasa rekam panggilan yang tak sempat kuangkat dari tadi pagi menyapa  di gawaiku. Deringnya  tak terdengar sama sekali. Aku kesiangan seusai sahur dan shalat subuh.

“Ludah yang kemarin di kirim hasilnya negative.” Jawabku tentang hasil uji lab yang keluar kemarin sore.

“Jadi, batuknya bukan karena gangguan paru-paru ya?” Tanya Adikku sekadar memastikan.

Batuk Aba memang tak berhenti dan itu menjadi bahan diskusi anak-anaknya tentang itu. Sudah berbulan-bulan dia mengonsumsi obat kiriman kakak yang bekerja di apotik. Tapi tidak sembuh-sembuh juga. Untuk sementara ini obat dihentikan takut berpengaruh ke organ tubuh lainnya karena daya tahan tubuh rendah. Umur Abah menginjak angka 89 tahun.

Fisik Aba memang sudah renta. Rambutnya seingat saya dari kecil  dulu lebih banyak memutih.  badannya  pun semakin kurus, kulitnya yang keriput nyaris hanya membungkus tulang, besaran bahu sampai lengang hampir sama, begitu juga ukuran paha dengan betis, sekilas tak beda, hanya sendi yang menonjol di lengan dan lutut. Aba juga hanya mampu berjalan dengan badan bungkuk di dalam rumah saja  dan berkeliling dari tempat tidur, kamar mandi, dan meja makan. Itupun dengan napas yang ngos-ngosan.

Suatu ketika Aba jatuh di kamar, kepalanya terbentur sudut ranjang yang terbuat dari kayu jati dan setelahnya menyentuh lantai. Ada darah mengucur dari kepala dan untuk beberapa menit tak sadarkan diri. Saya mengangkat tubuhnya ke atas ranjang sambil terus merespon ingatannya. Spontan beberapa kalimat syahadat keluar dari mulutku berulang-ulang sambil memegang pergelangan kakinya yang masih hangat. Istri dan anak-anakku panik dan menangis. Kuminta agar menelpon saudara yang rumahnya di batasi jalan raya. Hari itu rumah agak ramai oleh anak-anaknya beserta  cucunya. Pikiranku sudah membaca kemungkinan terburuk. Dalam kebuntuan itu, Aba siuman meskipun  sama sekali tak mampu menjelaskan peristiwa yang terjadi. Saya menawarinya untuk membawa ke puskesmas. Aba bertahan, katanya tidak usah, cukup di rumah saja. Sejak peristiwa itu kami bergantian menjaga kadang siang kadang juga malam. Tapi belakangan ini saudara-saudara yang lain hanya menjenguk siang, itu karena pekerjaan kantor dan kebun.

Seperti malam-malam sebelumnya, keadaan malam ini tak jauh beda. Lampu yang masih menyala di berbagai ruang menyorot benda-benda di bawahnya. Meja dan kursi serta perabot lainnya  begitu jelas dari kamar yang pintunya terbuka lebar. Foto keluarga dan beberapa pernik lainnya masih bergantung teratur seperti pertama dulu kami pasang. Seekor kucing  peliharaan keluarga masih hilir mudik ke dapur. Kali ini dia mendekat dan mengibas-ibaskan ekor pendeknya, mungkin sudah kenyang.  Saya sekilas melirik jam tangan di pergelangan  Aba yang selalu dipakainya. 02.10. Mataku tak juga mau terpejam,mungkin karena terbiasa dengan panggilan Aba yang tiba-tiba, entah mau buang air kecil, buang air besar atau minta makan.

Kembali kupandangi lelaki tua ini dalam helaan nafas yang lebih cepat dan berat. Sejenak kualihkan pandangannku ke dinding hanya untuk menurunkan tensi perasaan yang  akan bermuara di titik bening. Entahlah, melintas dengan jelas rekam-rekam jejak masa lalu dari kedua tangan,  kaki dan anggota tubuhnya yang kokoh menopang hidup kami. Aba seorang pelaut sejak belia dan tak sempat menuntaskan sekolah menengahnya. Dia memilih lautan sebagai tempat mengais rezeki untuk keluarga besarnya. Hidupnya bersama sawi perahu lebih banyak  melintasi  pulau-pulau  mengarungi selat dengan perahu tradisional lete’, dan ba’go yang hanya mengandalkan layar. Tak terhitung berapa kali  memimpin pelayaran sebagai  juragan melintas selat Makassar menyusur beberapa Pelabuhan besar Nusantara seperti Balikpapan, Samarinda, Nunukan, Paotere, Pare-Pare, Toli-Toli, Donggala, Surabaya, Banyuwangi, Bali, bahkan Malaysia.  Berulangkali beliau bertutur betapa butuh pengalaman melabuhkan perahu di Paotere Makassar. Sepanjang perjalanan banyak perairan dangkal yang kalau tidak terbiasa bisa saja perahu akan tersangkut dan karam. Sekali waktu beliau semangat bercerita tentang ganasnya pelabuhan Masalembo dan tak terhitung perahu yang melintas karam di laut itu. Suatu waktu dia berkisah ke anak-anaknya tentang pentingnya mempersiapkan diri menempuh perjalanan jauh apalagi mengarungi lautan. Bahan makanan dan air minum harus lebih bukan cukup, Layar harus ada cadangan, kayu bakar, minyak tanah harus siap. Kami kadang mendengar kata ‘harus’ yang diulang-ulang. Di tengah laut tak ada tetangga, yang ada hanya perhitungan bertahan hidup,selamat, atau mati.

“Berangkatlah ketika tanda itu datang, dan bongkarlah muatanmu sebelum engkau sampai ke sana!” Kalimat ini meluncur dari mulut Aba meskipun dahiku mengernyit menyelaminya.

Seekor cicak tiba-tiba jatuh di dekatku. Hewan itu langsung lari menjauh begitu aku memegang selembar kertas dan mengusirnya. Saya sejenak melirik arloji di pergelangan tangan Aba, pukul 03.00. Saya Kembali menatap wajahnya yang semakin keriput dirubung usia.

  “Semoga besok saya masih bisa menuntunmu mengejar mentari lalu menunggumu menandaskan bubur yang masih hangat.” Bibirku melangitkan doa, berharap itu terkabul.

                                                                                       Wahyudi Hamarong, 06 04 2023

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar untuk "Malam-Malam Sunyi"