Mataku menatap jam yang menggantung di dinding ruang tamu menunjuk angka 24.00. Beberapa cicak membiarkan saja seekor kupu-kupu menari-nari di dekatnya, tak bergerak sedikit pun. Mungkin perburuan reptil itu sudah dianggap cukup untuk malam ini. Binatang melata itu tak seramai tadi begitu bedug magrib menggaung dari surau. Begitu lampu teras, ruang tamu dan dapur menyala bersamaan spontan hegemoni siang mulai berganti, cicak, tokek, serangga, bahkan kelelawar kecil pun hadir. Itu hanya di dinding saja, tentu di luar lain lagi, yang jelas dari sini nyanyian jangkrik, lengking kelelawar, dan orchestra kodok menyatu dalam pesta seusai hujan tadi sore. Aku tetap di sini seperti malam-malam sebelumnya ketika desis napas putra-putriku terdengar lirih dan sesosok tubuh ringkih bergerak sedikit dalam balutan selimut yang melorot.
“Inan, Inan…
Saya mau kencing.” Saya sudah sangat hapal suara itu dan nama yang disebut
berulang-ulang. Itu suara Aba memanggil cucunya. Saya segera beringsut dari kursi
plastik dan pelan mendekat. Kulepas sarung yang melekat di tubuhnya dan
menuntunnya berdiri. Pelan saya memegang bahu dan lengan menuju kamar mandi. Di
kamar mandi pun saya tidak biarkan berdiri takutnya oleng dan terbentur di
dinding. Ada “kursi tali-tali” yang
bisa berfungsi ganda sebagai tempat
kencing sekaligus buang air besar. Lelaki itu kini tidur kembali dalam balutan selimut tebal. Sesekali batuk yang
belum sembuh itu mengganggunya untuk lebih nyenyak.
Seperti biasa
rekam panggilan yang tak sempat kuangkat dari tadi pagi menyapa di gawaiku. Deringnya tak terdengar sama sekali. Aku kesiangan
seusai sahur dan shalat subuh.
“Ludah yang
kemarin di kirim hasilnya negative.” Jawabku tentang hasil uji lab yang keluar
kemarin sore.
“Jadi,
batuknya bukan karena gangguan paru-paru ya?” Tanya Adikku sekadar memastikan.
Batuk Aba
memang tak berhenti dan itu menjadi bahan diskusi anak-anaknya tentang itu.
Sudah berbulan-bulan dia mengonsumsi obat kiriman kakak yang bekerja di apotik.
Tapi tidak sembuh-sembuh juga. Untuk sementara ini obat dihentikan takut
berpengaruh ke organ tubuh lainnya karena daya tahan tubuh rendah. Umur Abah
menginjak angka 89 tahun.
Fisik Aba
memang sudah renta. Rambutnya seingat saya dari kecil dulu lebih banyak memutih. badannya pun semakin kurus, kulitnya yang keriput
nyaris hanya membungkus tulang, besaran bahu sampai lengang hampir sama, begitu
juga ukuran paha dengan betis, sekilas tak beda, hanya sendi yang menonjol di
lengan dan lutut. Aba juga hanya mampu berjalan dengan badan bungkuk di dalam
rumah saja dan berkeliling dari tempat
tidur, kamar mandi, dan meja makan. Itupun dengan napas yang ngos-ngosan.
Suatu ketika
Aba jatuh di kamar, kepalanya terbentur sudut ranjang yang terbuat dari kayu
jati dan setelahnya menyentuh lantai. Ada darah mengucur dari kepala dan untuk
beberapa menit tak sadarkan diri. Saya mengangkat tubuhnya ke atas ranjang
sambil terus merespon ingatannya. Spontan beberapa kalimat syahadat keluar dari
mulutku berulang-ulang sambil memegang pergelangan kakinya yang masih hangat.
Istri dan anak-anakku panik dan menangis. Kuminta agar menelpon saudara yang
rumahnya di batasi jalan raya. Hari itu rumah agak ramai oleh anak-anaknya beserta
cucunya. Pikiranku sudah membaca
kemungkinan terburuk. Dalam kebuntuan itu, Aba siuman meskipun sama sekali tak mampu menjelaskan peristiwa
yang terjadi. Saya menawarinya untuk membawa ke puskesmas. Aba bertahan,
katanya tidak usah, cukup di rumah saja. Sejak peristiwa itu kami bergantian
menjaga kadang siang kadang juga malam. Tapi belakangan ini saudara-saudara
yang lain hanya menjenguk siang, itu karena pekerjaan kantor dan kebun.
Seperti
malam-malam sebelumnya, keadaan malam ini tak jauh beda. Lampu yang masih
menyala di berbagai ruang menyorot benda-benda di bawahnya. Meja dan kursi
serta perabot lainnya begitu jelas dari
kamar yang pintunya terbuka lebar. Foto keluarga dan beberapa pernik lainnya masih
bergantung teratur seperti pertama dulu kami pasang. Seekor kucing peliharaan keluarga masih hilir mudik ke
dapur. Kali ini dia mendekat dan mengibas-ibaskan ekor pendeknya, mungkin sudah
kenyang. Saya sekilas melirik jam tangan
di pergelangan Aba yang selalu
dipakainya. 02.10. Mataku tak juga mau terpejam,mungkin karena terbiasa dengan
panggilan Aba yang tiba-tiba, entah mau buang air kecil, buang air besar atau
minta makan.
Kembali kupandangi lelaki tua ini dalam helaan nafas yang lebih cepat dan berat. Sejenak kualihkan pandangannku ke dinding hanya untuk menurunkan tensi perasaan yang akan bermuara di titik bening. Entahlah, melintas dengan jelas rekam-rekam jejak masa lalu dari kedua tangan, kaki dan anggota tubuhnya yang kokoh menopang hidup kami. Aba seorang pelaut sejak belia dan tak sempat menuntaskan sekolah menengahnya. Dia memilih lautan sebagai tempat mengais rezeki untuk keluarga besarnya. Hidupnya bersama sawi perahu lebih banyak melintasi pulau-pulau mengarungi selat dengan perahu tradisional lete’, dan ba’go yang hanya mengandalkan layar. Tak terhitung berapa kali memimpin pelayaran sebagai juragan melintas selat Makassar menyusur beberapa Pelabuhan besar Nusantara seperti Balikpapan, Samarinda, Nunukan, Paotere, Pare-Pare, Toli-Toli, Donggala, Surabaya, Banyuwangi, Bali, bahkan Malaysia. Berulangkali beliau bertutur betapa butuh pengalaman melabuhkan perahu di Paotere Makassar. Sepanjang perjalanan banyak perairan dangkal yang kalau tidak terbiasa bisa saja perahu akan tersangkut dan karam. Sekali waktu beliau semangat bercerita tentang ganasnya pelabuhan Masalembo dan tak terhitung perahu yang melintas karam di laut itu. Suatu waktu dia berkisah ke anak-anaknya tentang pentingnya mempersiapkan diri menempuh perjalanan jauh apalagi mengarungi lautan. Bahan makanan dan air minum harus lebih bukan cukup, Layar harus ada cadangan, kayu bakar, minyak tanah harus siap. Kami kadang mendengar kata ‘harus’ yang diulang-ulang. Di tengah laut tak ada tetangga, yang ada hanya perhitungan bertahan hidup,selamat, atau mati.
“Berangkatlah ketika tanda itu datang, dan bongkarlah muatanmu sebelum engkau sampai ke sana!” Kalimat ini meluncur dari mulut Aba meskipun dahiku mengernyit menyelaminya.
Seekor cicak tiba-tiba jatuh di
dekatku. Hewan itu langsung lari menjauh begitu aku memegang selembar kertas dan
mengusirnya. Saya sejenak melirik arloji di pergelangan tangan Aba, pukul 03.00.
Saya Kembali menatap wajahnya yang semakin keriput dirubung usia.
“Semoga
besok saya masih bisa menuntunmu mengejar mentari lalu menunggumu menandaskan bubur
yang masih hangat.” Bibirku melangitkan doa, berharap itu terkabul.
Wahyudi
Hamarong, 06 04 2023
Posting Komentar untuk "Malam-Malam Sunyi"