Lembayung di Wajah Baso


                                                                                                                         Sumber :https://pixabay.com/photos/

Senja mulai merambat pelan. Bias keemasan menerobos awan tebal. Di kejauhan tampak awan mulai menghitam bergulung-gulung, sesekali diselingi kilat dan guntur  menggelegar, dan terasa sekali gerakan arus yang mulai tak bersahabat. Kegelapan  mengepung suasana. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling, terasa angin mulai menampar-nampar dan percikan air laut membasahi wajahnya yang mulai keriput. Bibirnya tak lagi menjepit rokok setelah panas mulai menyengat  bibir itu. Dia menelan ludah bercampur air laut.

“Aku belum mendapatkan ikan seekor pun.” Katanya lirih hampir tak jelas. Sesekali dia menyeka wajahnya. Dia terus menngayuh sampannya sekuat tenaga. Berusaha mengalahkan angin kencang dan hantaman ombak yang mulai mempermainkan  sampan kecilnya. Napasnya tersengal-sengal. Di kejauhan terdengar azan menggema menyeru ke segenap penjuru kembali bersujud dan menghambakan diri. Dia akhirnya sampai juga di bibir pantai. Seorang perempuan paruh baya menggendong anak kecil menghampirinya pelan-pelan.

 Adaji mu dapat ikan, Pak?” Sebuah pertanyaan singkat dengan aksen kental khas  Sulawesi-Selatan. Sebenarnya pertanyaan itu sejak tadi sudah terbayang di pikirannya. Pertanyaan itu rutin setiap kali mendekati bibir pantai, tentu saja berharap ada hasil  yang bisa ditukar dengan uang untuk makan, minimal untuk besok bukan lusa apalagi minggu depan. Dia hanya menatap sebentar kepada istrinya, tapi tak menjawab sedikitpun. Jawaban itu sudah jelas dari raut muka yang  yang ditampakkannya ketika pertama turun dari perahu dan kakinya menyibak air laut sebatas mata kaki. Perahu ditambatkan  di bawah pohon  dan mereka melangkah menyusuri malam pekat. Di kiri-kanan terdengar jangkrik bersahutan sembari dari jauh diselingi lengkingan parau burung hantu. Sebuah gubuk reot tempat bernaung selama ini. Tiangnya sepertinya  sudah tak kuat menanggung beban  penghuninya. Kaki mereka menginjak  anak tangga, terasa sekali goncangan gempa skala kecil disertai derit gesekan. Bila pagi menjelang, sinarnya  menembus lubang-lubang dinding dan atap sehingga tampak seperti bintang yang berkelip di kejauhan.

“Pak…… minggu depan Bahar mo bayar uang sekolah. Tiga hari lagi ujian semester. Malu ki ke sekolah kalo tidak bawami uang. Utang beras di warung Bu Deni juga minta ditebus. Tadi dia ke sini marah-marah.” Pak Baso hanya melirik sebentar ke istrinya dan selanjutnya matanya menerawang  jauh membayang pada lembar-lembar kertas penebus ujian  anaknya dan tagihan Bu Deni. Tapi sepertinya abu-abu.

“Insha Allah, mudah-mudahan  besok sudah ada.” Jelas sekali kalau kalimatnya hanya untuk meredam tuntutan istri, tuntutan kebutuhan.

Pagi-pagi sekali, Bahar sudah berada  di bibir pantai mencari cacing. Dia menggali pasir sedalam lengan orang dewasa. Kerukan pasir yang masih basah berada di belakangnya. Setiap kerukan dengan tempurung dia aduk dengan tangannya. Biasanya cacing akan menyembul dari sela-sela jarinya sembari kepalanya dijepit. Binatang itu menggelepar berusaha lepas, kadang-kadang juga putus. Kalau sudah begitu, dia akan satukan dalam satu  kaleng susu sisa pembuangan sampah sepanjang pantai.

“Pak, umpannya sudah ada satu kaleng. Saya taruh di sampan.” Bahar terus saja ke sumur membersihkan pasir yang menempel di paha, betis, dan kakinya sekaligus mandi. Tapi tak berniat ke sekolah meski hasratnya menggebu.

Terngiang Pak Indra menjelaskan Biologi pelajaran pavoritnya. Terbesit cita-citanya untuk menjadi sarjana pertanian. Tapi juga terbayang uang komite yan masih samar dan menghalanginya untuk hadir di sekolah hari ini. Baso mengayuh sampannya semakin jauh meninggalkan bibir pantai. Badannya yang tak tegap lagi dibalut baju kaos bergambar bergambar Presiden SBY sisa kampanye pilpres kemarin. Celana kolor lusuh juga membalut bokongnya hasil pemberian tetangga bulan lalu. Kini jari-jarinya kuat mencekram bose  yang terbuat dari papan sebagai pendorong. Dia terus  menggerakkan tangannya  mengayuh menantang angin yang datang menampar wajahnya. Buih putih menjilati perahu setiap kali bose itu menyibak air laut.

Nelayan seperti Baso sudah hapal benar di mana posisi yang baik untuk mancing. Tanpa pernah belajar lintang dia hapal di mana letak ikan Baronang. Bergeser dua puluh kali ayunan “bose” ke selatan maka itu kumpulan ikan Tenggiri dengan bermacam ukuran. Berpindah tiga puluh meter ke utara tempat karamnya kapal tanker sepuluh tahun silam, ikan Kakap berseliweran di dasar laut. Dia hanya membaca peta ikan berdasar insting  dan pengalaman setiap harinya. Mencocokkan dari waktu ke waktu letak gunung-gunung sekelilingnya ketika hasil melimpah.

“Ah, kenapa akhir-akhir ini susah sekali dapat ikan. Biasanya hanya sepuluh menit saja Baronang sudah menyambar umpanku. Puih…padahal ini pake udang bukan cacing. Baso menarik umpannya kembali. Dia mengayuh ke selatan sambil memandang letak belahan Buttu Tangnga yang sangat jelas karena ketandusannya. Gunung itu hanya ditumbuhi ilalang dan semak-semak. Petani tak pernah membiarkan pohon besar tumbuh di sana, olehnya itu sering dibakar. Katanya kalau dibakar maka sapi-sapi akan gemuk karena rumput baru akan tumbuh subur setelah diguyur hujan di akhir kemarau. Polisi pun tak pernah menjamah mereka dengan jeruji besi penjara. Nelayan seperti Baso menjadikan tanda untuk ikan Tenggiri.

“Mudah-mudahan ikan di sini belum makan. Biar umpanku saja santapan mereka kali ini.” Baso melempar umpannya sejauh mungkin dari perahunya dengan penuh harap. Umpan itu terbang ke udara  dan jatuh ke permukaan air mengikut pada hukum grafitasi bumi. Ada riak kecil ketika pemberatnya menghujam tenggelam. Matahari kini menyisakan bayang-bayang di belakangnya. Terasa panas.

“Puih..ikan-ikan kompak puasa hari ini. Satu pun tidak ada yang lapar, dari tadi aku menunggu di sini, tak satu pun menjemput umpanku.” Dia mengumpat dalam hati sambil membayangkan wajah istri dan anaknya di rumah. Dia sudah menarik umpannya pelan-pelan.Pulang.

    Tiba-tiba tali pancingnya tersentak. Gerakannya begitu liar. Otot-otot lengangnya tegang, sepertinya ikan itu terlampau besar. Dia membiarkan ikan itu menarik lebih jauh, tapi tidak untuk lepas. Galenrong berputar seperti gasing. Tapi hanya sebentar putarannya berhenti. Baso balik menarik tali pancing tanpa kendor lagi. Napasnya tertahan sambil terus menarik lebih cepat. Pertarungan dua puluh menit tentu akan  membuat ikan itu kalah. Jarak lima meter ikan itu kelihatan. Gerakannya meliuk-liuk berusaha lolos meski tarikannya tak seperti semula. Jarak dua meter Baso sudah bersiap menangkapnya. Tapi,…ups, talinya putus. Ikan itu kembali putar arah dan menjauh.  Baso pelan-pelan menarik tali pancing yang mulai kendor dan mendapati ujungnya tak berkail lagi. Dia memastikan besarnya ikan yang bertarung dengannya. Dia membayangkan besarnya ikan penebus kebutuhan anak dan istrinya. Dia memejamkan mata membayangkan Bahar yang sudah tak malu lagi ke sekolah karena pembayarannya lunas. Pelan Baso mulai mengayuh sampannya mendekati daratan. Dia ingat wajah istrinya yang sudah menunggu di bibir pantai dengan satu kalimat pengharapan yang meluncur.

    Lembayung di kaki langit masih menyisakan biasnya sedikit, menyorot mega-mega serupa raksasa hitam yang sejak tadi seperti  memelototinya. Dia terus mengayuh sampan itu di tengah permainan ombak menampar-nampar. Jarak pandang Baso semakin terbatas dikepung kegelapan yang pekat. Sebagai penerang, dia mencoba memungut bungkus rokok yang tergelatk sejak tadi. Isinya hanya sebatang, tapi basah oleh hempasan ombak yang lolos ke dalam sampannya.

 

 

Posting Komentar untuk "Lembayung di Wajah Baso"