Menggantung Mimpi jadi Petani

   

                                             Sumber Foto :www.buahaz.com

     Akhir-akhir ini saya rajin ke belakang rumah di mana sesungguhnya tak ada lagi rumah setelah itu. Jadi, boleh disebut saya nyaris tak punya tetangga seperti kampung kebanyakan yang kita temui. Benar, tanah-tanah itu sejak saya belum lahir menjadi kebun-kebun warga yang dikelola turun-temurun. Saya sambil menghisap sebatang rokok berjalan dari satu kebun ke kebun lainnya yang hanya dibatasi oleh pagar dari daun kelapa kering dengan tiang dari batang tanaman yang mudah tumbuh. Petak-petak kebun itu tidak terlalu luas. Tidak sampai setengah hektar untuk satu lahan. Kalau ada petani yang punya lahan se-hektar itu sudah cukup hebat untuk ukuran petani di kampung saya.

    Kalau ditelisik lebih jauh lagi isi lahan-lahan itu yang ditanami macam-macam. Pohon kelapa, pohon  pisang, pohon mangga, ubi jalar, cabai, bahkan lebih banyak makanan kambing.  Semuanya ditanam dalam satu lahan. Saya tidak habis pikir apa maksudnya. Saya menduga supaya panennya juga macam-macam sekali pulang ke rumah. Bisa jadi juga itu sudah turun-temurun dari kakek ke anaknya, dari kakek ke cucunya. Bisa jadi juga karena ilmu bercocok tanam sesungguhnya tidak memadai, hanya insting dari pengalaman.

    Akhir-akhir ini saya juga kurang mengerti mengapa saya tetiba tertarik dengan lahan, jenis tanaman produktif, pupuk, perawatan tanaman, pengairan, dan semua ihwal tentang pertanian. Jangan-jangan  karena jenuh dengan pekerjaan sebagai guru yang tiap hari banyak menghadapi anak-anak milenial yang kadang pupus nalar dan tipis etika. Istilah akademianya pendidikan karakter yang belum ketemu hasilnya. Bisa juga karena sugesti guru senior yang sepuluh tahun lagi melipat seragam dinasnya, katanya rintis pekerjaan lain sebelum pensiun supaya badan tetap gerak, otak tetap bekerja, dan cuan tetap mengalir. Tapi yang jelas bukan alasan  ini, gaji tak lagi utuh!

    Sebulan terakhir berselancar di youtube mencari channel petani-petani se-Nusantara yang sukses dari hasil pertaniannya. Benar juga, video-video mereka begitu menarik dan memesona. Sambil menyeduh kopi menonton mereka menjadi petani yang merdeka. Benar-benar merdeka. Pagi-pagi mereka sudah di kebun atau paling tidak masih nyantai sepuluh menit di huma dan berbincang dengan para anak kebun. Selanjutnya mulai fokus dengan pekerjaan masing-masing. Beberapa video ada yang memindahkan bibit dari persemaian untuk persiapan tanam, ada yang menggali tanah untuk lubang, ada juga beberapa video khusus pemupukan dengan dosis tertentu, belum lagi video  cara pemangkasan, dan persiapan untuk pembuahan, plus  video untuk pengendalian hama tanaman. Tapi lebih mengagumkan karena jerih payah mereka membuahkan hasil yang gemilang. Benar-benar berbuah, mereka memetik buah yang mereka tanam sendiri. Hasilnya luar biasa, buahnya lebat, besar, dan beda jauh dengan hasil kebun tetanggaku. Oh iya lupa. Buah itu mulai dari mangga, alpukat, anggur, tomat, klengkeng, apel. Tapi jangan lupa, tanaman jangka pendek pun ada dan hasilnya sangat luar biasa.  Tentu timbul pertanyaan tentang hasil panen di drop ke mana? Saya tak bicara banyak tapi video itu bicara fakta. Mobil berjejer siap membawa setelah selesai ditimbang.

    Ada hal menarik yang jauh berbeda dengan petani di kampung kita. Kalau diurai kira-kira singkatnya begini. Para petani itu hanya menanam satu jenis tanaman dalam satu lahan, mau sekian meter kali sekian, setengah hektar, satu hektar atau lebih dari itu tanamannya hanya satu saja. mangga ya mangga saja, alpukat ya semua alpukat, Papaya California seluruhnya itu.  Begitu juga tanaman jangka pendek semisal sayur-mayur. Satu saja, tidak bercampur seperti lahan warga kita kebanyakan. Lalu berikutnya, mereka memupuk secara rutin dan teratur sesuai dosis, pupuk ditakar dengan cermat. NPK, Urea, kalsium, pupuk kandang, kompos, TSP, dan lainnya baik yang ditabur maupun cocor. Beda jauh dengan petani kita yang sekali tanam  pupuknya hanya pupuk kandang dan tunggu panen. Pemilihan bibit pun begitu. Semua bibit tanaman hasil cangkok, okulasi, maupun tempel. Jadi, jarak tanam dan panen lebih singkat dengan buah yang unggul daripada tanaman lokal sejenis dan bibitnya dari biji. Terakhir, mereka menjadi petani sebagai profesi bukan lagi pekerjaan sampingan. Mereka fokus mengerahkan potensi biaya, dan sumber daya manusia, dan didukung sarana dan prasarana pertanian. 

    Belum cukup sebulan  saya dan teman-teman lainnya membentuk satu komunitas yang kami labeli  nama 'Panguma Alpukat' (petani Alpukat). Kami mulai menanami lahan masing-masing dengan bibit Alpukat unggul hasil okulasi dari kabupaten tetangga. Kami biasa diskusi tentang tanaman itu. Saya jadi tahu kalau Alpukat banyak jenisnya, mulai dari Miki, Kelud, Aligator, Red Viet, Kendil, dan beberapa lagi lainnya. Kadang juga saling berkunjung sambil melihat fase pertumbuhan tanaman masing-masing.  Harapannya, mimpi menjadi petani bisa seperti para petani di Lampung, Kediri, Majalengka dan beberapa daerah lainnya yang sukses dengan tanaman ini. Harapannya juga kami bisa panen bersama dan menghasilkan uang dari hasil kebun ini. Tapi lebih penting, kami ingin mengajak warga untuk semngat menjadi petani dengan adopsi ilmu yang bertebaran di mana-mana. jadi ingat sebuah kalimat motivasi, "Gantunglah cita-citamu setinggi bintang di langit, kalau pun terjatuh, Anda akan terjatuh di antara bintang-bintang. Duh!

                                                                                                   Rumah Kata, 15/03/2023

    

    

Posting Komentar untuk "Menggantung Mimpi jadi Petani"