Ini
hanya sesuatu yang saya perhatikan akhir-akhir ini di lingkungan di mana saya
tinggal dan sungguh tidak berkisah
tentang daerah lain. Tentang sesuatu yang baru saya rasakan akhir-akhir ini
jelang penerimaan siswa baru. Ketika bincang-bincang dengan para orang tua yang
secara ekonomi mapan,rerata mereka berambisi menyekolahkan anak-anak mereka
jauh dari tempat tinggalnya, beratus-ratus kilo bahkan ribuan kilo dari bumi di
mana dilahirkan. Naik bus, kapal laut, kereta api, bahkan dengan pesawat
terbang sekalipun. Tidak tanggung-tanggung, hitungan kocek yang dikeluarkan
lumayan besar, bisa berpuluh-puluh juta. Impian orang tua hanya satu,
anak-anaknya sukses dan mampu mandiri kelak ketika mereka sudah tua.
Siswa-siswa
yang belajar jauh dari daerahnya pun bukan hanya hitungan orang dewasa saja.
Ada yang lepas sekolah dasar lalu masuk
pesantren ternama atau sekolah umum unggulan.
Tak tanggung-tanggung, sekali lagi jaraknya bisa ratusan bahkan ribuan
kilometer. Seperti tetangga saya yang anaknya baru lulus sekolah dasar langsung
didaftar ke pesantren terkenal di Jawa yang fasiltasnya
lumayan. Ada juga yang selesai sekolah
menengah langsung tancap gas lanjut ke SMA pavorit atau SMK yang kualitasnya top.
Memang
ada masalah atau cari-cari masalah? Tentu pertanyaan ini akan segera meluncur
karena ini sudah lumrah di mana-mana. Bukan
hanya anak-anak kota saja, anak di desa pun yang ekonomi orang tuanya mapan
juga mengirim anak-anaknya jauh ke tempat lain dan meninggalkan lingkungan masa
kecilnya yang sungguh indah.
Ada
hal yang menarik sebenarnya. Ketika anak-anak
memasuki masa libur dan kembali ke kampung halamannya, berkumpul dengan saudara-saudaranya di rumah. Sejauh ini tidak ada masalah. Tetapi
banyak anak menghabiskan waktu di rumah saja, nonton tv, baca buku, main game,
dan bincang hanya dengan anggota keluarga di rumah saja. Anak-anak ini sebelumnya terbiasa keluyuran ke teman-temannya tapi kini tidak pernah, olahraga sore-sore jadi jarang, bantu
tetangga bangun rumah atau kerja bakti jadi mikir, disuruh ke pasar beli sayur
justru menggeleng. Artinya, ada rentang
jarak yang sangat jelas dalam interaksi sosial ketika anak-anak ini libur atau tamat sekolah.
Padahal dulu waktu belum sekolah semua normal-normal saja.
Anak-anak
yang disekolahkan ke tempat yang jauh dan meninggalkan rumah orang tuanya untuk
jangka waktu tiga sampai enam tahun justru terasing ketika kembali
menjejak kampung halamannya. Ada masa
pertumbuhan dan perkembangan untuk menutrisi pemikiran dan perilaku dengan
budaya setempat justru hilang sama sekali. Bayangkan saja anak yang tinggal di
daerah pesisir pantai tidak tahu di mana umpan ikan bisa didapatkan semisal
udang sungai atau cacing. Belum lagi tidak tahu berenang dan mendayung sampan
apatah lagi memancing ikan di ke dalaman tertentu. Padahal orang tua dan rumpun
keluarga besarnya bermata pencaharian sebagai nelayan.
Pada
kasus yang lain anak-anak yang tumbuh besar di tempat lain dengan alasan bersekolah gagap dengan kebiasaan bertani dan
beternak yang dilakoni orang tuanya. Pekerjaan mencangkul, menanam bibit,
memupuk, menyiram tanaman justru tidak tahu kalau tidak kaku. Belum lagi cara
beternak kambing atau sapi yang menjadi
sumber mata pencaharian keluarga justru tidak tertanam baik dalam diri
anak-anak ini ketika kembali ke kampung halamannya.
Dalam
beberapa fakta menunjukkan bahwa anak-anak yang merantau ke kota untuk menuntut
ilmu dalam waktu lama cenderung mengikuti budaya baru pada tempat yang baru. Misalnya, cenderung
tidak peka dengan kehidupan sosial di kampungnya seperti budaya gotong royong,
saling menyapa, dan membantu yang susah.
Justru ada budaya kehidupan kota yang tertanam dalam diri anak-anak ini seperti
kurang peduli, individual, persaingan
bahkan menganggap diri lebih baik dari teman-teman sepermainannya di waktu
kecil.
Idealnya
anak-anak usia sekolah dasar dan menengah
tidak perlu meninggalkan rumah beratus
dan beribu kilometer untuk rentang waktu enam bahkan lebih hanya untuk menuntut ilmu karena di sekitar
tempat tinggalnya ada sekolah yang sama. Kalaupun berbeda kualitas itu masih dalam ambang batas kewajaran. Bersekolah
di tempat yang jauh justru ternyata sukses
merentangkan jarak anak dengan lingkungannya sosialnya. Mereka menjadi
gugup dan gagap dengan suasana
kampungnya yang hangat dan penuh kekeluargaan.
Idealnya
pendidikan anak di usia belia seirama dengan serapan budaya dalam lingkungannya
sendiri sehingga mereka menyatu kuat di dalamya. Belajar, mengaji, bermain dan diskusi
bersama. Anak-anak yang bertumbuh dilingkungannya tentunya akan paham bagaimana
sumber daya alam yang tersedia di sekelilingnya seperti laut dengan potensinya,
lahan pertanian dengan jenis tumbuhannya, peternakan dengan segala macamnya.
Bolehkah
lanjut ke perguruan tinggi yang jauh dari tempat tinggalnya? Boleh saja. Ketika
anak-anak ini selesai mengenyam pendidikan dasar dan menengah di kampungnya barulah bisa lanjut
ke perguruan tinggi yang jaraknya beratus bahkan beribu kilometer. Hal ini
memungkinkan karena jumlah perguruan tinggi lebih banyak di kota-kota besar dengan kategori baik. Nilai plusnya adalah ke mana
pun anak-anak ini lanjut pendidikan maka budaya dan kearifan lokal akan tetap dianut dan terpelihara dengan
baik.
Ada
baiknya juga pemilihan jurusan di perguruan tinggi yang akan menjadi modal
anak-anak untuk mandiri bersesuaian dengan potensi sumber daya alam di lingkungannya yang
belum terkelola secara maksimal selama ini. Misal pada sektor kelautan, para
nelayan masih menangkap ikan dengan cara tradisonal berdasarkan pengalaman dan
insting saja, bukan berbasis ilmu seperti penggunaan alat dan teknologi canggih
yang bisa mengidentifikasi populasi dan
jenis ikan, arus dan kedalaman laut. Hasil tangkap yang hanya di jual ke pasar tradisional
dan belum berorientasi ekspor misalnya. Tentu saja terdapat standar hasil
tangkap yang harus dipenuhi sehingga diterima di pasar-pasar global disamping networking
yang bagus.
Pada sektor pertanian juga begitu. Nyata sekali kalau masih banyak lahan pertanian yang belum dikelola secara professional. Jenis tanaman dalam satu lahan masih beragam, minimnya penggunaan pupuk, pengetahuan tentang perawatan tanaman rendah. Apatah lagi pengetahuan tentang jenis tanaman yang produktif melalui pembiakan okulasi, stek, cangkok dan lainnya yang bisa memamfaatkan waktu yang pendek dengan hasil yang melimpah.
Tentu
saja tulisan ini bukan bermaksud membonsai cita-cita anak dan harapan orang
tua. Masih sangat terbuka peluang pada sektor-sektor pekerjaan yang lain yang
jauh dari tempat tinggalnya. Poinnya, anak-anak ini di mana pun dan ke manapun
akan tetap tertanam budaya dan kearifan lokal dalam dirinya karena dipelajari
dan ditanamkan sejak kecil dalam lingkungannya. Begitupun dalam hal pekerjaan. Harapannya
anak-anak ini setelah selesai pendidikan tingginya dengan bekal ilmu
pengetahuan yang berakar pada sumber daya alamnya mampu mengefektifkan potensi
yang tersedia di sekelilingnya. Semoga.
Posting Komentar untuk "Sekolah Jauh Menyisihkan Anak dari Budaya dan Kearifan lokal"