Sekolah Jauh Menyisihkan Anak dari Budaya dan Kearifan lokal



                                                                                        Ilustrasi: www.pixabay.com

Ini hanya sesuatu yang saya perhatikan akhir-akhir ini di lingkungan di mana saya tinggal dan sungguh  tidak berkisah tentang daerah lain. Tentang sesuatu yang baru saya rasakan akhir-akhir ini jelang penerimaan siswa baru. Ketika bincang-bincang dengan para orang tua yang secara ekonomi mapan,rerata mereka berambisi menyekolahkan anak-anak mereka jauh dari tempat tinggalnya, beratus-ratus kilo bahkan ribuan kilo dari bumi di mana dilahirkan. Naik bus, kapal laut, kereta api, bahkan dengan pesawat terbang sekalipun. Tidak tanggung-tanggung, hitungan kocek yang dikeluarkan lumayan besar, bisa berpuluh-puluh juta. Impian orang tua hanya satu, anak-anaknya sukses dan mampu mandiri kelak ketika mereka sudah tua.

Siswa-siswa yang belajar jauh dari daerahnya pun bukan hanya hitungan orang dewasa saja. Ada yang lepas sekolah dasar lalu  masuk pesantren ternama atau  sekolah umum unggulan. Tak tanggung-tanggung, sekali lagi jaraknya bisa ratusan bahkan ribuan kilometer. Seperti tetangga saya yang anaknya baru lulus sekolah dasar langsung didaftar  ke  pesantren terkenal di Jawa yang fasiltasnya lumayan.  Ada juga yang selesai sekolah menengah  langsung tancap gas lanjut ke  SMA pavorit atau SMK yang kualitasnya top.

Memang ada masalah atau cari-cari masalah? Tentu pertanyaan ini akan segera meluncur karena ini sudah lumrah di mana-mana.  Bukan hanya anak-anak kota saja, anak di desa pun yang ekonomi orang tuanya mapan juga mengirim anak-anaknya jauh ke tempat lain dan meninggalkan lingkungan masa kecilnya yang sungguh indah.

Ada hal yang menarik sebenarnya. Ketika anak-anak  memasuki masa  libur dan kembali  ke kampung halamannya, berkumpul  dengan saudara-saudaranya  di rumah. Sejauh ini tidak ada masalah. Tetapi  banyak  anak menghabiskan waktu  di rumah saja, nonton tv, baca buku, main game, dan bincang hanya dengan anggota keluarga di rumah saja. Anak-anak ini  sebelumnya terbiasa  keluyuran ke teman-temannya tapi  kini tidak  pernah, olahraga sore-sore jadi jarang, bantu tetangga bangun rumah atau kerja bakti jadi mikir, disuruh ke pasar beli sayur justru  menggeleng. Artinya, ada rentang jarak yang sangat jelas dalam interaksi sosial  ketika  anak-anak ini libur atau tamat sekolah. Padahal dulu waktu belum sekolah semua normal-normal saja.

Anak-anak yang disekolahkan ke tempat yang jauh dan meninggalkan rumah orang tuanya untuk jangka waktu  tiga sampai  enam tahun justru terasing ketika kembali menjejak  kampung halamannya. Ada masa pertumbuhan dan perkembangan untuk menutrisi pemikiran dan perilaku dengan budaya setempat justru hilang sama sekali. Bayangkan saja anak yang tinggal di daerah pesisir pantai tidak tahu di mana umpan ikan bisa didapatkan semisal udang sungai atau cacing. Belum lagi tidak tahu berenang dan mendayung sampan apatah lagi memancing ikan di ke dalaman tertentu. Padahal orang tua dan rumpun keluarga besarnya bermata pencaharian sebagai nelayan.

Pada kasus yang lain anak-anak yang tumbuh besar di tempat lain dengan alasan  bersekolah gagap dengan kebiasaan bertani dan beternak yang dilakoni orang tuanya. Pekerjaan mencangkul, menanam bibit, memupuk, menyiram tanaman justru tidak tahu kalau tidak kaku. Belum lagi cara beternak kambing atau  sapi yang menjadi sumber mata pencaharian keluarga justru tidak tertanam baik dalam diri anak-anak ini ketika kembali ke kampung halamannya.

Dalam beberapa fakta menunjukkan bahwa anak-anak yang merantau ke kota untuk menuntut ilmu dalam waktu lama cenderung mengikuti  budaya baru pada tempat yang baru. Misalnya, cenderung tidak peka dengan kehidupan sosial di kampungnya seperti budaya gotong royong, saling menyapa, dan  membantu yang susah. Justru ada budaya kehidupan kota yang tertanam dalam diri anak-anak ini seperti kurang  peduli, individual, persaingan bahkan menganggap diri lebih baik dari teman-teman sepermainannya di waktu kecil.

Idealnya anak-anak usia sekolah dasar  dan menengah  tidak perlu meninggalkan rumah beratus dan beribu kilometer untuk rentang waktu enam bahkan lebih   hanya untuk menuntut ilmu karena di sekitar tempat tinggalnya ada sekolah yang sama. Kalaupun berbeda kualitas  itu masih dalam ambang batas kewajaran. Bersekolah di tempat yang jauh justru ternyata sukses  merentangkan jarak anak dengan lingkungannya sosialnya. Mereka menjadi gugup dan  gagap dengan suasana kampungnya yang hangat dan penuh kekeluargaan.

Idealnya pendidikan anak di usia belia seirama dengan serapan budaya dalam lingkungannya sendiri sehingga mereka menyatu kuat di dalamya. Belajar, mengaji, bermain dan diskusi bersama. Anak-anak yang bertumbuh dilingkungannya tentunya akan paham bagaimana sumber daya alam yang tersedia di sekelilingnya seperti laut dengan potensinya, lahan pertanian dengan jenis tumbuhannya, peternakan dengan segala macamnya.

Bolehkah lanjut ke perguruan tinggi yang jauh dari tempat tinggalnya? Boleh saja. Ketika anak-anak ini selesai mengenyam pendidikan dasar dan menengah  di kampungnya barulah bisa   lanjut ke perguruan tinggi yang jaraknya beratus bahkan beribu kilometer. Hal ini memungkinkan karena jumlah perguruan tinggi lebih banyak di kota-kota besar  dengan kategori baik. Nilai plusnya adalah ke mana pun anak-anak ini lanjut pendidikan maka budaya dan kearifan  lokal akan tetap dianut dan terpelihara dengan baik.

Ada baiknya juga pemilihan jurusan di perguruan tinggi yang akan menjadi modal anak-anak untuk mandiri bersesuaian dengan  potensi sumber daya alam di lingkungannya yang belum terkelola secara maksimal selama ini. Misal pada sektor kelautan, para nelayan masih menangkap ikan dengan cara tradisonal berdasarkan pengalaman dan insting saja, bukan berbasis ilmu seperti penggunaan alat dan teknologi canggih yang bisa mengidentifikasi populasi  dan jenis ikan, arus dan kedalaman laut. Hasil tangkap yang hanya di jual ke pasar tradisional dan belum berorientasi ekspor misalnya. Tentu saja terdapat standar hasil tangkap yang harus dipenuhi sehingga diterima di pasar-pasar global disamping networking yang bagus.

Pada sektor pertanian juga begitu. Nyata sekali kalau masih banyak lahan pertanian yang belum dikelola secara professional. Jenis tanaman dalam satu lahan masih  beragam, minimnya penggunaan pupuk, pengetahuan tentang perawatan tanaman rendah. Apatah lagi pengetahuan tentang  jenis tanaman yang produktif melalui pembiakan okulasi, stek, cangkok dan lainnya yang bisa memamfaatkan waktu yang pendek dengan hasil yang melimpah.

Tentu saja tulisan ini bukan bermaksud membonsai cita-cita anak dan harapan orang tua. Masih sangat terbuka peluang pada sektor-sektor pekerjaan yang lain yang jauh dari tempat tinggalnya. Poinnya, anak-anak ini di mana pun dan ke manapun akan tetap tertanam budaya dan kearifan lokal dalam dirinya karena dipelajari dan ditanamkan sejak kecil dalam lingkungannya.  Begitupun dalam hal pekerjaan. Harapannya anak-anak ini setelah selesai pendidikan tingginya dengan bekal ilmu pengetahuan yang berakar pada sumber daya alamnya mampu mengefektifkan potensi yang tersedia di sekelilingnya. Semoga.

                                                 Wahyudi Hamarong, 13/04/2023

 

Posting Komentar untuk "Sekolah Jauh Menyisihkan Anak dari Budaya dan Kearifan lokal"