Pekerjaan penulis sesungguhnya adalah guru dan sampai
saat ini masih bergelut dalam proses mencetak manusia unggul di masa depan.
Baik dari segi akademik maupun karakter. Penulis mengajar di SMAN 1 Pamboang.
Satu-satunya sekolah menengah atas di Kecamatan ini. Durasi mengajar di sekolah
menghabiskan waktu sekira 7 jam sehari. Kira-kira pukul 14.30 sudah ada di
rumah karena jarak dari rumah ke sekolah hanya sekira 5 menit. Cukup dekat.
Seperti lazimnya orang lain tentu menggunakan waktu-waktu luang untuk hal-hal
yang bermamfaat. Bagi nelayan tentu kembali melaut, untuk petani pasti kembali
ke kebunnya, selebihnya sebagai pedagang
tentu masih betah di lapak jualannya menunggu pembeli meskipun
kantuk menggoda. Di luar pekerjaan yang penulis sebutkan di atas berkerumun
anak-anak usia tujuh sampai 16 tahun di paru-parung (balai-balai), decker,
di bawah lampu jalan, dan tempat-tempat lainnya. Bisa ditebak aktivitas di
situ, jarinya sibuk memainkan gawai dengan berbagai game yang mampu
menghipnotis anak-anak itu sampai tak tahu siapa saja yang lalu-lalang di depannya.
Sekali
waktu penulis juga menyambangi tempat-tempat ramai di sekitar daerah ini.
Pelabuhan Pamboang, Lapangan Betteng, Pasar Pamboang sampai spot wisata
pantainya, Pantai Rewataa dan Taraujung. Sebenarnya sepintas, lumrah saja segala aktifitas yang tersaji di
tempat-tempat itu tak ada yang
aneh-aneh. Penulis hanya kaget karena
banyak berserakan bungkus-bungkus obat batuk (Komix) di berbagai tempat. Warnanya
begitu mencolok di antara daun-daun kering dan tumpukan sampah plastik yang
berhamburan. Hal yang penulis pahami kalau obat ini fungsinya hanya satu,
Pereda batuk saja. Lain itu tidak ada! Yang menjadi pertanyaan mendasar mengapa
sebanyak itu dan mengapa di tempat public? Bukankah orang sakit logisnya
tinggal di rumah dan berlindung dari cuaca sambil menunggu bugar kembali?
Penulis
tepat menghitung momen-momen itu, 2014 silam. Saya mencoba melakukan survey
kecil-kecilan tentang efek gawai dan pergaulan remaja kala itu. Kadang penulis diskusi dengan beberapa ibu rumah tangga di
kolong rumahnya tentang bagaimana perilaku anaknya. Keluhannya macam-macam.
Beberapa ibu berbincang kalau anaknya susah disuruh beli kebutuhan di pasar.
Jawabannya,”tunggu dulu, dikit lagi, Ma.” Ibu-ibu yang lain mengeluhkan tiap minggu beli kuota untuk
anaknya. Lebih banyak lagi berceloteh kalau anaknya pulang tengah malam dan
selalu terlambat ke sekolah.
Keluhan-keluhan
semacam ini penulis coba sandingkan dengan rekan-rekan guru yang mengajar di
sekolah dasar dan menengah. Komentar mereka hampir seragam. Banyak anak-anak
terlambat ke sekolah, beberapa susah fokus belajar, lainnya mengeluhkan kalau
jawaban tugas hanya copy paste dari internet. Nyaris tak ada pendapat
anak-anak sendiri di dalamnya.
Kalau
penulis mau sebut bahwa alasan di atas menjadi pokok utama Taman Baca
Masyarakat (TBM) Rumah Kata Pamboang didirikan tidak salah juga, Tapi ada
alasan pribadi yang lain yang
mendasarinya sehingga ini ada. Penulis ingin budaya membaca menjadi
kebiasaan anak-anak di rumah juga untuk
anggota keluarga yang lain. Penulis ingin ada aktivitas membaca di rumah di
saat waktu luang bersinergi dengan teh hangat dan pisang goreng kesukaan keluarga. Penulis
bermimpi kelak warisan abadi yang tertular ke anak-anak wujudnya ilmu yang
dikunyah dari buku-buku yang berjejer di dinding garasi pada ukuran tiga kali
lima meter di bawah sorotan lampu 40
watt. Penulis punya harapan ke depan, anak-anak merayapi lekuk dunia, melintas
negeri, bertarung jarak pedomannya adalah ilmu yang terserak di rak-rak
perpustakaan Rumah Kata.
Prinsip
itu masih terus bergerak di dalam rumah. Saban waktu penulis mengingatkan
anak-anak agar tekun membaca. Membaca buku Pelajaran dan buku-buku yang menjadi
koleksi Rumah Kata. Menjadikan buku-buku itu sebagai referensi mereka dalam
belajar. Menalar dunia luar lewat asupan kata, frase, paragraph yang penuh
makna dari para penulis terkenal.
Jika
merentang waktu ke belakang, Rumah Kata penulis dirikan di 1 April 2017 di
Dusun Sappu Desa Tinambung Kecamatan Pamboang dengan memampaatkan satu ruang
terbuka di samping rumah seukuran tiga
kali lima meter. Bersama dengan istri dan dua anak, kami mencoba mengumpulkan
seluruh buku-buku yang ada di dalam rumah dengan berbagai genre bacaan. Mulai
dari komik, buku anak-anak, novel,
cerpen, ilmu pengetahuan, atlas, kamus, dan buku-buku sastra. Buku-buku itu
kami bersihkan satu demi satu dan
mencoba mengelompokkan sesuai genre pada lemari bekas yang tidak terpakai.
Kalau dihitung-hitung sekitar seratus lima puluhan koleksi buku yang terkumpul.
Hari itu keringat meleleh, debu menempel di wajah, dan kedua bocahku merengek
berhenti karena capek. Lepas dari itu semua, ada kepuasan tersendiri berhasil
mendirikan perpustakaan pribadi meskipun masih jauh dari kategori sebuah
perpustakaan. Nama Rumah Kata sendiri terinspirasi dari koleksi buku penulis
yang lebih banyak tentang sastra. Adapun tentang logo itu mendapatkan ‘ilham’
dari Rumah Baca Pinishi Nusantara 1986, bahkan sekali waktu saya messenger
foundernya, Basmawati Haris. Beliau tidak keberatan dan mengamininya.
Andai
ada yang bertanya sejauh mana aktivitas pengunjung ke Rumah Kata yang datang
untuk membaca di awal-awal buka? Berapa orang perhari dan buku-buku apa saja
yang mereka baca? Jawabannya nyaris tak ada. Satu hari, satu minggu, satu
bulan, bahkan beberapa bulan tak ada pengunjung yang datang khusus untuk
membaca dan meminjam kecuali anak-anak di rumah yang mulai bolak-balik komik
dan membawanya sampai ke kamarnya. Penulis mencoba menganalisis ala-ala
akademisi kampus. Penulis pernah membaca kalau versi PISA (Program the
International of Student Assesment) dipaparkan kalau kompetensi literasi masyarakat Indonesia itu
hanya 0,001%. Kurang lebih maksudnya dalam 1000 orang hanya 1 orang yang
membaca. Angkanya hanya bergeser sedikit seperti tahun 2019 Indonesia peringkat 62 dari 70 negara
yang terendah dalam hal literasi. Singkatnya, Indonesia menjadi 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi
rendah. Kalau dipikir-pikir ini masuk akal. Di sekolah, guru saja bisa dihitung jari yang membaca
buku di perpustakaan tiap harinya. Siswa juga begitu, lebih asyik dengan kotak
mungil ajaib itu (gawai). Bagaimana dengan warga di desa Tinambung sebagai
domisili penulis. Analoginya sederhana, di lingkup akademik saja nyaris sepi
literasi apatah lagi di lingkungan desa yang secara langsung dunia buku itu tak
bersentuhan langsung dengan pemenuhan kebutuhannya.
Penulis menyadari
tantangan-tantangan itu. Tak boleh menunggu pengunjung tentunya. Harusnya
jemput bola. Apatah lagi jarak rumah penulis dengan rumah warga lainnya berjauhan.
Tentu ini juga jadi kendala utama. Suatu
waktu di hari minggu, matahari sudah tergelincir ke barat. Jam di pergelangan
tanganku menunjuk angka 2. Penulis menaikkan
dua tas ke sadel motor dan membonceng anak perempuanku di belakang. Dia
sempat keheranan mau di bawa ke mana tas-tas di depannya itu. Sebuah
balai-balai yang menjadi tempat kumpul anak-anak jadi target lapak sore itu. Begitu
sampai, penulis menarik selembar tikar
dan melebarkannya. Buku-buku koleksi Rumah Kata
yang masih terbatas diatur seapik mungkin biar kesannya banyak. Beberapa
buku yang full colour ditempatkan di bagian depan. Tujuannya agar
anak-anak merasa tertarik dan paling tidak memegangnya beberapa waktu. Hal yang
paling lucu sebenarnya karena yang
datang berkerumun pertama kali bukan anak-anak dan remaja tetapi ibu-ibu rumah
tangga. Mereka pikir ada penjual cakar atau barang serba plastik yang
murah. Begitu mendekat dan tahu kalau itu lapak buku mereka hanya menyapa penulis seperlunya lalu
pergi menjauh. Setakat itu penulis tak patah arang. Bagi penulis tiga sampai
empat saja anak yang tinggal sebentar membolak-balik kertas-kertas itu apalagi
kalau membaca itu sudah cukup. Gelar lapak hari itu memberikan kesan tersendiri
bagi kami di Rumah Kata. Kegiatan ini menjadi rutin penulis lakukan dengan
anggota keluarga. Kami melintas ke beberapa dusun menyasar area pantai yang
jumlah warganya lebih banyak dari dusun lainnya. Kadang kami isi dengan
pemutaran video-video lucu sekadar memancing perhatian anak-anak.
Kegiatan-kegiatan ini dalam ingatan penulis berjalan efektif satu tahunan.
Terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan tersendiri dan belum dapat
teratasi secara maksimal.
Persoalan pertama yang menjadi
kendala yakni terbatasnya tenaga relawan yang siap membantu untuk menggelar
lapak baca. Kadang penulis mencoba mengedukasi beberapa remaja untuk bergerak
bersama agar kegiatan ini bisa rutin terlaksana. Tapi begitulah, kadang mereka
datang tapi kadang juga tidak dengan berbagai kesibukan seperti kuliah, bantu orang
tua, atau ada tugas sekolah. Penulis juga tentunya tidak bisa mengingatkan
karena tidak ada imbal jasa untuk mereka selain boleh pinjam buku di Rumah
Kata.
Kendala kedua yakni minimnya support
dari pemerintah desa. Penulis mencoba menyuarakan pentingnya literasi dibangun
di desa seperti mendirikan perpustakaan desa, membeli buku-buku, dan tenaga
perpustakaan untuk menggerakkan literasi. Penulis pernah membuka-buka lembar anggaran desa waktu itu tapi tak
selembar pun memasukkan program literasi desa dalam usulan program. Penulis
berkesimpulan bahwa program literasi desa kalah seksi dengan anggaran pembangunan
decker, saluran irigasi, jalan tani, program PKK, majlis taklim dan lain-lainnya. Meskipun di tahun
berikutnya usulan program ini diterima tapi lagi-lagi anggarannya sangat kecil.
Hanya ada untuk pengadaan buku-buku saja. Minus honor tenaga pustakawan,
operasional, dan biaya transport. Jadilah kegiatan itu seadanya saja.
Lama-kelamaan mati suri sampai akhirnya lenyap dan meninggalkan buku-buku yang
berserakan sebagai kenangan.
Pokok
masalah berikutnya menurut penulis karena belum maksimalnya Peraturan Daerah
tentang Literasi tereksekusi di seluruh desa. Maksud penulis belum adanya
keberpihakan anggaran yang memadai untuk menggerakkan literasi di desa dalam
memback up kegiatan-kegiatan literasi. Apatah lagi dengan monitoring
secara berkala dengan indikator dan instrumen yang terukur. Jika ini berjalan
dengan baik tentunya geliat literasi akan bergerak secara massif dan membawa
perubahan-perubahan yang baik ke depan untuk warga desa.
Terlepas
dari minusnya peran desa dalam menggeliatkan literasi di desa Tinambung, Rumah
Kata tetap ada dan masih eksis sampai saat ini. Kadang-kadang mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi yang sementara ber-KKN menyambangi perpustakaan
pribadi ini dan membuka-buka beberapa koleksi sambil ngajak ngobrol di teras
atau di halaman depan dengan rumput yang hijau. Biasanya mereka mengajukan
program yang berhubungan dengan literasi. Penulis tentu sangat senang karena
ada tenaga untuk berbagi. Penulis biasanya mempacking buku-buku yang
akan mereka pakai untuk menggelar lapak baca, menyiapkan baliho bekas dari
sekolah bahkan mengantarkan dus-dus buku itu ke titik kegiatan yang sudah
ditentukan.
Posting Komentar untuk "Catatan Kecil Literasi Kita"